Malam itu, Joshua pulang dari kencannya dengan Seungcheol ke Soonyoung yang duduk di sofa ruang tengah. Di pangkuannya, ada buku yang terbuka, namun jelas terlupakan untuk dibaca. Rumah kediaman Kwon Soonyoung yang megah itu sepi, selain alunan musik klasik yang memenuhi setiap celah dingin di sana. Para pelayan sudah bertolak ke bangsal masing-masing, meninggalkan majikan muda mereka duduk sendirian dalam cahaya remang-remang.
Pintu terbuka lagi dan, kali ini, adalah wajah-wajah yang amat dikenalnya. Jun masih bengong memandangi Xu Minghao, yang sekarang membawa seset sendok, garpu dan sumpit bernuansa kucing ke kasir. Nggak lupa bookmark yang tadi dia taksir. Pandangan itu harus bergeser ke sepasang cewek dan cowok yang baru datang dan langsung melipir ke mejanya.
Uji pacaran. Bang Cheol pacaran. Wonu au dah dimana kagak bales WA, kali lagi diculik sama si Kwon Soonyoung itu, diseret halan-halan. Sad. Sepi bener emang circle pertemanan kalo sana-sini dah ada gandengan, minwail yu stay single stay jombs.
Jun menyekrol history chat WA-nya yang super panjang. Padahal Jun temennya banyak lho sebenernya. Kagak paham aja kenapa hari ini, persis saat ini, lagi pada sibuk semuanya. “Aaaah...,” sekrol-sekrol-sekrol balik ke atas lalu, nggak sengaja, dia berhenti persis di chat dimana dia udah diblok sama pemilik nomor tersebut.
Sedikit saja kepalanya menyembul, hanya untuk melihat apakah ada orang yang dicarinya di bawah tangga di bagian belakang kampus itu. Begitu melihat sebuah punggung yang nampak familiar sedang berjongkok, anak Kwon serta-merta meloncat keluar dari balik tangga, tersenyum amat lebar, dan berseru, hampir berteriak,
Kamu menengadah menatap langit yang tengah menangis. Murid-murid lain lalu-lalang di lobi depan sekolah, masing-masing mulai membuka payung yang mereka bawa. Bersama teman atau sendirian, perlahan tapi pasti, kerumunan sore itu makin berkurang. Jam sekolah telah usai dan, mengingat betapa derasnya hujan yang turun, banyak ekstrakurikuler ditangguhkan, termasuk pertemuan klub membacamu.
Kalian sepakat bahwa membaca di tengah hujan begini paling nikmat di tempat yang lebih nyaman dan hangat daripada ruang kelas tak terpakai.
Sayangnya, impian tinggal impian. Karena kecerobohanmu, kamu lupa membawa payung. Menerjang hujan bisa membuatmu dimarahi ibumu dan potensi sakit pun membayang, tetapi kamu juga tidak tahu kapan hujan akan reda. Sementara itu, sekolah sudah terbilang sepi. Kamu enggan berlama-lama di gedung sekolah yang kosong.
“Nih, pake aja.”
Mendadak, ada suara seorang anak lelaki. Kamu menengok, namun, entah mengapa, anak lelaki itu sudah berlari menerjang hujan dengan menggunakan tasnya sebagai tameng. Kamu cuma bisa memandangi punggung seragam putihnya yang basah kuyup dan dengan cepat menjauh.
“See? See??” Minghao menyurukkan hape itu ke wajah kakak sepupunya. “Ganggu banget. Aneh banget. Sekarang dia nyetalk aku, Bang. Ini kenapa aku nggak suka nomerku disebarin tanpa ijin!”
“Uh...,” Soonyoung menelan ludah, merasa bersalah pake banget.
“Ah yes. Si Meng. Jadi gini, lo pergi ke belakang gedung B. Di situ bakal ada tangga besi. Lo ngintip aja ke bawah tangga itu. Si Meng pasti ada di situ.”
Menghela napas, Jihoon akhirnya mengunci hapenya dan memasukkannya kembali ke saku. “Dah beres,” ia kembali ke makan siangnya: seblak jeletot ala kantin kampus. Enak.
“Cewe lo marah?” Jun menghabiskan mie terakhirnya.