Hari ke-tujuh. Wonwoo dan Joshua bertandang ke tempat-tempat yang lama nggak mereka datangi. Dengan santai menyusuri kota di jam mendekati makan siang (karena, tentu, mereka baru bangun jam 9 pagi), mereka menaruh bokong mereka di restoran kecil namun populer di antara warga lokal. Memesan menu makan siang spesial hari itu, kedua sahabat itu pun bertukar cerita akan hal-hal remeh (“kemaren animenya kurang seru, besok-besok kita tonton judul lain!”) maupun hal yang mereka lewati karena sempat renggangnya tali silaturahmi mereka (“bukan, yang nikah itu anak dari adek sepupu nyokap gue, bukan si anu kok”). Mereka mengisi celah yang ada dan kembali, sekali lagi, menjadi dua orang sahabat sekaligus tetangga sejak kecil.
Mereka sedang di rumah Wonwoo. Ibunya memasak makan malam dan mengundang Joshua sekeluarga. Sekarang, orangtua mereka masih makan di dalam, sedangkan Wonwoo dan Joshua duduk-duduk di teras belakang. Dari sini, nampak kuburan Nyingnying yang dipenuhi bunga segar dari Joshua. Meski usianya pendek, Joshua harap kucing itu bahagia selama hidupnya.
Tepat pada detik itu, Wonwoo paham apa yang selama ini buku-buku jabarkan saat tokoh utama bertemu dengan soulmate-nya. Tanpa bertukar kabar sama sekali, semenjak WA terakhirnya tidak digubris Joshua dua tahun yang lalu, entah bagaimana bisa dan kenapa, berdirilah sesosok Joshua Hong di ambang pintunya seperti yang sudah-sudah. Seolah tahun-tahun yang hilang dalam hidup mereka nggak pernah ada.
Wonwoo seakan terlempar ke masa dua tahun lalu, ketika Joshua berdiri di ambang pintu depan rumahnya, tersenyum, dengan dua tangan masuk ke saku. Masih casual, walau senyumnya agak letih.
Namun, yang berbeda, ada seseorang di samping Joshua kali ini.
Masih bingung, Wonwoo menjabat tangan cowok itu. Tinggi, badannya besar dan lebar. Lebih besar daripada Wonwoo. Joshua nampak mungil dan ramping di sisinya. Dia pun menoleh ke arah Joshua.
“Temen?”
Joshua menggeleng.
“Cowok gue, Won.”
Dan kalimat itu bagai petir menyambar di siang bolong.
Rasanya aneh. Sumpah. Padahal itu temen lo sendiri yang berdiri di ambang pintu depan. Tetangga sejak kecil yang, kasarnya, udah tau borok-boroknya lo sejak lo bisa mengingat. Tapi, entah gimana, ngeliat Joshua tersenyum ceria padanya, dua tangan masuk ke saku jins dalam outfit gaya casual (hooded jumper, his favorite), Wonwoo ngerasa kalo tenggorokannya kering, seakan nggak ada kata-kata yang dia tau yang bisa dengan tepat mengungkapkan perasaannya saat ini, padahal Wonwoo banyak baca buku dan pemahaman kosakatanya luas.
Begitu sampai rumah, langkah Wonwoo terhenti. Ada onggokan sesuatu persis di depan pintu rumahnya. Warnanya hitam dan besar. Meneguk ludah, anak itu mendekat, mendekat...dan menemukan, bukan suatu benda, namun seseorang.
Joshua mengangguk. Mereka lagi makan siang di suatu restoran yang lagi nge-hits karena baru buka dan spot buat selfienya banyak. As usual, makanan di restoran ato kafe kayak gini rasanya standar aja. Dibilang nggak enak ya enggak, dibilang enak mah nggak nyampe. Tapi, harus Joshua akui, penyajiannya lucu-lucu. Instagrammable gitu.
Tiba-tiba tenggorokan Kwon Soonyoung terasa kering. Dia udah duga sih kalo makan bareng Uji dan Jun artinya bakal muncul topik soal Haohao karena emang masih anget-angetnya.
Mendengus puas, Kwon Soonyoung mendongak. “Udah ya, Jeon Wonwoo, barusan banget gue transfer—”
Berhenti, karena dilihatnya paras Jeon Wonwoo sekeras batu. Seketika itu juga, seluruh darah seolah surut dari wajah anak Kwon. Berdasarkan pengalaman, dia tau bahwa paras itu adalah tanda kalau semua akan berakhir runyam.
Handphonenya jatuh ke meja. Soonyoung menelan ludah, berpikir bahwa, ah, lagi-lagi, habislah sudah.
Kwon Soonyoung duduk diam, makan sundubu jjigae dengan seafood. Matanya tertuju ke apa yang lagi dimakannya, nggak sekali pun melihat ke arah Jeon Wonwoo.
Jeon Wonwoo duduk persis di depannya, memandangi anak Kwon dengan kernyitan sebelah alis. Aneh. Dia memang udah ngerasa Kwon Soonyoung (tambah) aneh sejak baca balasan Whatsapp anak itu tadi, tapi baru sekarang dia yakin kalo anak itu (tambah) aneh.