Ngantuk. Ngantuk banget. Tanpa ditonton, Joshua sengaja menghidupkan televisi sambil maenan hape, menunggu kedatangan Soonyoung. Kost-an Joshua adalah sebuah kamar sederhana. Begitu pintu dibuka, ada jeda kecil yang Joshua jadikan ruang menonton dan makan dengan menggelar karpet bulu imitasi serta bantal-bantal bundar di depan sebuah televisi kecil harga sejutaan. Tentunya nggak ada meja selain untuk menaruh televisi tersebut.
Maaf ya, Ma, Wonu baru hubungin Mama. Wonu takut, Ma. Takut Mama masih marah karena Wonu pergi dari rumah. Takut Papa juga bakal ngamuk kalo Wonu hubungin Mama. Maafin Wonu karena Wonu cuma berani nulis surat ke Mama. Maafin Wonu ya Ma.
Wonwoo terbangun oleh sentuhan halus di mukanya. Angin sepoi-sepoi membelai rambutnya dari jendela yang dibuka. Harum bunga di bawah siraman sinar mentari pun tercium. Ada suara kuyu seekor kucing, lalu pergerakan di bagian kaki tempat tidur, sebelum kucing itu melungkar, menaruh beban tubuhnya di sisi kaki Wonwoo.
Telapak tangannya lembab. Jantungnya berdentum keras. Hari pertama di kantor baru. Dia duduk bersama beberapa trainee lainnya di ruang meeting utama yang besar. Mereka semua direkrut secara bersamaan untuk posisi yang sama, sebagai MT. Dari awal mereka akan diajari, diolah di semua bidang agar bisa ditempatkan di departemen-departemen yang sesuai. Mungkin setelah satu tahun, Joshua akan ditempatkan di sales, atau di marketing, atau di mana saja sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Sebuah mobil berhenti di depan sekolah di kota lain. Darinya, turun seorang wanita dan seorang pria. Lalu, seorang anak lelaki. Remaja, menuju dewasa muda. Anak itu menatap dua orang lainnya, yang adalah orangtuanya, tepat di mata, lalu pandangannya turun ke sepasang sepatunya. Wajah anak lelaki itu penuh lebam biru bekas pukulan, juga tamparan. Miris melihat anaknya dalam keadaan seperti itu, sang ibu mengelus bahu si anak, air matanya mengancam untuk meleleh menuruni pipi.
Cericip burung menyambut pagi terdengar dari luar jendela Joshua. Matahari jatuh lembut di atas dua tubuh yang berbaring bersama dalam pelukan. Bahkan di dalam tidurnya, Wonwoo nggak melepaskan Joshua sedikit pun.
Mata Joshua membuka perlahan untuk menemukan Wonwoo dengan muka bantalnya, tersenyum malas padanya. Rambut hitamnya berantakan akibat ulah Joshua semalaman. Kacamatanya selamat di nakas samping tempat tidur. Lengannya menjuntai santai dari pinggang Joshua. Suaranya serak dan rendah. Ditimpa cahaya mentari pagi, Wonwoo tampak sangat indah.
Hari ke-tujuh. Wonwoo dan Joshua bertandang ke tempat-tempat yang lama nggak mereka datangi. Dengan santai menyusuri kota di jam mendekati makan siang (karena, tentu, mereka baru bangun jam 9 pagi), mereka menaruh bokong mereka di restoran kecil namun populer di antara warga lokal. Memesan menu makan siang spesial hari itu, kedua sahabat itu pun bertukar cerita akan hal-hal remeh (“kemaren animenya kurang seru, besok-besok kita tonton judul lain!”) maupun hal yang mereka lewati karena sempat renggangnya tali silaturahmi mereka (“bukan, yang nikah itu anak dari adek sepupu nyokap gue, bukan si anu kok”). Mereka mengisi celah yang ada dan kembali, sekali lagi, menjadi dua orang sahabat sekaligus tetangga sejak kecil.