91.

#wonshuashort

Cericip burung menyambut pagi terdengar dari luar jendela Joshua. Matahari jatuh lembut di atas dua tubuh yang berbaring bersama dalam pelukan. Bahkan di dalam tidurnya, Wonwoo nggak melepaskan Joshua sedikit pun.

Joshua yang bangun terlebih dulu. Dia diam di sana, memperhatikan wajah tidur Wonwoo dengan seksama. Mata mereka berdua sembab. Ada jejak air mata yang mengering di pipi Wonwoo yang Joshua kecup dan belai dengan lembut.

Kali kedua dia tidur dalam pelukan Wonwoo. Kali kedua dia merasa bersalah. Yang pertama, dia merasa bersalah karena dia menggunakan sahabatnya, Wonwoo-nya, orang paling berharga dalam hidupnya setelah orangtuanya, sebagai pelarian. Joshua nggak tau dia lari dari apa kala itu. Dia bingung setengah mati.

Dia punya pacar yang baik. Mingyu nggak pernah maksa dia sebelum-sebelumnya, pun ketika Mingyu mengeluh soal hubungan mereka, wujudnya berupa rengekan. Sesuatu yang bisa mereka selesaikan bersama dengan saling bicara, bukannya malah selingkuh, malah tidur sama Wonwoo.

Namun, yang membuat Joshua bingung, adalah hatinya. Hati yang menolak segenap tenaga ketika Mingyu hendak menyentuhnya lebih. Hati yang nggak berkata apa-apa, malah senang, saat Wonwoo mencium tahi lalat di belakang telinganya, sebelum menggigiti perlahan daun telinganya. Hati yang, seolah, menyuruhnya memilih Wonwoo.

Joshua bingung, apalagi ketika dia kembali ke sekolah dan kembali menghadapi pacarnya. Joshua, dirundung rasa bersalah yang hebat, meminta putus, namun Mingyu memohon. Dia mengiba. Dia menangis dan merintih. Dia memeluk Joshua begitu kuat seakan takut Joshua meninggalkannya. Dia memelas, berjanji nggak akan meminta Joshua tidur lagi sama dia. Berjanji, nggak akan membuat Joshua ingin putus darinya lagi. Mingyu mencintainya. Dia mencintai Joshua dengan tulus.

Joshua nggak bilang kalau dia sudah tidur sama Wonwoo. Mingyu nggak tau soal itu sama sekali sampai detik ini. Dia menyimpan fakta itu karena, entah kenapa, entah bagaimana, Joshua yakin kalau dia akan meninggalkan Mingyu pada akhirnya. Dia hanya perlu bersama Mingyu sampai keadaan lebih mumpuni, sampai Mingyu menemukan orang baru yang jauh lebih baik darinya atau sampai Mingyu lebih kuat untuk dia tinggalkan.

Wonwoo akan menunggunya. Dia akan selalu menunggunya. Dia bilang begitu pada Joshua dan Joshua percaya.

Joshua Hong hanya perlu waktu dan Jeon Wonwoo sanggup memberikannya.

Tapi...

Tapi.......

“Maafin aku...”

Kali kedua, Joshua merasa bersalah karena sudah menyakiti Wonwoo. Dia sadar ini semua salahnya. Dia yang bimbang. Dia yang menggantung kedua hati dalam genggamannya. Dia yang berada di tengah-tengah, ke kanan atau ke kiri, nggak tau harus ke mana. Rasa bersalahnya menyetirnya ke Mingyu. Hatinya menyetirnya ke Wonwoo.

Dan semua semakin runyam ketika satu momen impulsif merusak semuanya. Ciuman itu. Ciuman yang menghancurkan hidup sahabat yang paling dia sayangi di dunia.

“Won...”

Perlahan, Wonwoo membuka matanya. Joshua tau sudah beberapa menit berlalu sejak Wonwoo terbangun. Mereka bertatapan dalam diam, dalam jarak dekat dimana, satu tahun sebelumnya, akan langsung mereka tutup dengan ciuman karena bibir Wonwoo begitu adiktif. Bibir yang sama yang kini penuh bekas luka mengering akibat digigit kuat-kuat serta bekas membiru di ujungnya.

“Won, kita nggak bisa kayak gini,” perlahan, dalam bisikan, Joshua berkata. “Kita masih sekolah, Won. Kamu perlu orangtua kamu. Buat kuliah. Buat masa depan kamu.”

“Aku bisa kabur sama kamu. Aku bisa kerja.”

Joshua menggeleng. “Ini bukan cerita, Won. Bukan film, novel. Ini dunia nyata,” gelengannya putus asa. “Kita nggak bisa us against the world. Kamu butuh orangtua kamu.”

“Mereka udah buang aku...”

“Karena aku kan?” rasanya pedih sekali. “Orangtua kamu marah karena aku. Jadi...jadi...”

Rasanya pedih sekali.

“Aku bakal pergi dari kamu, Won.”

Refleks, Wonwoo menarik pelukannya. Takut. Sekujur bulu kuduknya berdiri. Panik. “Nggak,” napasnya tercekat. “Nggak. Jangan. Jangan tinggalin aku, Shua.”

Jika hati bisa ditikam tanpa belati, mungkin beginilah rasanya. Ditikam, lalu ditoreh sampai membelah terbuka, sampai darah bercucuran dan dia lebih memilih segera mati daripada sakit seperti ini.

“Aku nggak mau hidup kamu ancur karena aku. Sekarang, kalo kamu nggak balik ke orangtua kamu, gimana sekolah kamu? Gimana kuliah kamu? Kita udah kelas 3, Won, dikit lagi lulus. Kamu nggak boleh kabur dari orangtua kamu, terus di-DO. Jangan sampe hidup kamu ancur cuma gegara aku. Masa depan kamu masih panjang.”

“Aku nggak bisa, Shua. Mereka udah buang aku. Aku balik pun mereka nggak akan peduli sama aku.”

“Biar ortu aku yang coba ngomong ke mereka, Won. Aku juga bakal ngomong ke mereka. Aku bakal bilang kalo aku yang ngejebak kamu dan aku bakal ngejauhin kamu, biar kamu nggak kena pengaruh aku lagi.”

Wonwoo menggeleng. Dia menggeleng. Semua itu terdengar salah. Bukan begini. Bukan begini solusinya. Bukan begini.

Tapi, anak kelas 3 SMA, bisa apa? Wonwoo cuma anak-anak. Joshua cuma anak-anak. Mereka nggak bisa apa-apa. Begitu kecil di mata dunia.

“Joshua...enggak...”

“Aku harus ninggalin kamu, Won, buat kamu,” kini dia menangis. Seperti Wonwoo yang juga menangis lagi. “Kalo aku nggak ada, ortu kamu bakal mikir kalo kamu bisa mereka 'sembuhin'. Mereka bakal nerima kamu lagi.”

“AKU NGGAK SAKIT!” frustasi. Wonwoo ingin mengamuk entah pada siapa. Ingin melampiaskan. Ingin berteriak kencang hingga seluruh dunia tau, bahwa nggak ada yang salah dari menyukai seseorang. “Kenapa...kenapa jadi begini...aku cuma cinta sama kamu...”

“Dan aku ju—”

Joshua menggigit bibir.

(“Kamu udah putus sama Mingyu?”)

(“Kalo kamu udah bisa jawab pertanyaanku yang itu, baru aku tanya balik kamu sayang sama aku ato enggak.”)

Hatinya hancur. Hati Wonwoo pun hancur. Joshua kemudian memeluk erat Wonwoo, yang memeluk erat balik, berharap bahwa pelukan bisa membuat semuanya terasa lebih ringan. Mereka masih terlalu muda untuk dihancurkan oleh kejamnya realita.

“Aku pergi dulu, Won.”

Terisak. Wonwoo nggak bisa menjawab, cuma bisa menangis nggak berkesudahan.

“Aku pergi dulu..”

Tuhan...

”...dan kalo kita ketemu lagi, kalo, entah gimana caranya, kita ketemu lagi, tanyain aku ya, Won. Tanya aku apa aku sayang sama kamu.”

Tuhan...

...kenapa begini?

Aku cuma minta hidup bersama orang ini.

Apa aku minta terlalu banyak..?

“Maafin aku, Won...”

Tuhan...