44.

#wonshuashort

“Hai.”

Tepat pada detik itu, Wonwoo paham apa yang selama ini buku-buku jabarkan saat tokoh utama bertemu dengan soulmate-nya. Tanpa bertukar kabar sama sekali, semenjak WA terakhirnya tidak digubris Joshua dua tahun yang lalu, entah bagaimana bisa dan kenapa, berdirilah sesosok Joshua Hong di ambang pintunya seperti yang sudah-sudah. Seolah tahun-tahun yang hilang dalam hidup mereka nggak pernah ada.

Wonwoo tau kalau Joshua melanjutkan SMA di sekolah yang sama dengan SMP-nya dahulu. Pun masih di asrama yang sama. Yang dia nggak tau adalah fakta bahwa Joshua pulang berbarengan dengannya di liburan dua minggu ini.

Wonwoo mengerjap. Joshua berubah, tapi juga nggak berubah. Rambutnya masih selembut gulali kapas. Senyumnya masih manis. Tentu, dia bertumbuh. Badan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Bahu yang melebar. Tulang pipi meninggi akibat hilangnya lemak bayi. Jakun yang kentara. Suara yang mendalam. Bakal janggut nampak akibat cukur pagi yang kurang rapi. Alih-alih anak lelaki, Joshua Hong, perlahan tapi pasti, berubah menjadi lelaki.

Namun, di atas semua perubahan itu, masih ada di sana, orang yang sama. Joshua-nya.

“Hey.”

“So...gue pulang?” tawa Joshua garing. Di titik ini, bisa dibilang mereka hampir menyerupai dua orang asing. Joshua terlalu sibuk dengan sekolah, teman-teman, juga Mingyu. Wonwoo terlalu sibuk dengan hidupnya yang baru di kota yang baru. Terlalu sibuk berusaha melupakan perasaannya pada Joshua dengan mengisi waktunya bersama teman-teman baru.

Joshua dan Wonwoo, seperti semua orang, terseret arus waktu. Mereka berjalan menuju dua jalur yang berbeda. Punggung mereka berhadapan. Nggak searah.

Namun, di hari ini, kedua jalur itu menyatu, mempertemukan mereka lagi.

Mempertemukan dua sahabat sejak kecil yang terpisah oleh jarak dan lingkup pergaulan.

“Welcome back.”

Melihat Wonwoo menyambutnya dengan senyuman yang sama, Joshua pun ikut tersenyum lega.


Di hari ketiga kepulangan mereka, Joshua mengajak Wonwoo menonton netflix di rumahnya. Marathon anime, jelas anak itu. Orangtuanya sedang pergi dan baru akan pulang tengah malam nanti. Wonwoo berusaha keras menenangkan diri ketika Joshua memberitahunya saat dia memasuki rumah keluarga Hong.

“Nyingnying gimana? Sehat?” Joshua duduk mengangkat kedua kaki ke atas sofa. Semangkuk besar popcorn dalam pangkuannya. Televisi menampilkan iklan program yang ada kucingnya, membuatnya teringat akan kucing yang mereka berdua selamatkan bertahun-tahun lalu dari got.

“Gone. Tahun lalu.”

Hening.

“Sori, gue nggak tau...”

Wonwoo mengibaskan tangan. “Gue lagi di sekolah pas nyokap ngabarin itu. Gue ngurung diri di toilet terus nangis sampe sembab,” dia tersenyum miris. “Ketabrak motor tetangga, katanya. Kuburannya di halaman belakang rumah gue.”

“I'll be there tomorrow.”

Wonwoo menoleh. Joshua menatapnya dengan serius. Cemas membayang pada dua bola mata hitamnya yang indah. Mata yang, dia tau, akan berbinar cantik saat Joshua tersenyum bahagia.

Diam-diam, Wonwoo menelan ludah.

“Okay.”

So much for trying to forget your first love.

Mereka menonton sampai malam tenggelam, sampai kepala Wonwoo pening dan Joshua ketiduran di bahunya. Dia nggak berani bergerak. Televisi sudah dimatikan. Jam dinding di ruang keluarga Hong berbunyi monoton 'tok-tok-tok' dalam kesunyian sempurna.

Wonwoo bisa mendengar bunyi napas Joshua yang halus. Dadanya bergerak naik-turun dengan teratur. Dari jarak sedekat ini, hidungnya penuh dengan aroma Joshua. Parfum yang maskulin tetapi juga manis, seperti musk dibalur bunga lembut, dan juga harum sesuatu...harum familier Joshua Hong yang Wonwoo kenal betul bertahun-tahun lamanya.

22.35 malam. Wonwoo harus pulang.

“Shua...”

“He wants to have sex with me.”

Sentakan napas tiba-tiba. Wonwoo menarik napas dan lupa menghembuskannya lagi. Perlahan, dia menetralkan emosinya. Mengabaikan detak jantung yang semakin cepat, Wonwoo pun bertanya, “Maksudnya?”

“Mingyu,” Joshua bergumam. Matanya masih terus terpejam. “Gue lagi berantem sama dia, Won. Dia ngotot pengen tidur sama gue. Katanya, kita udah tiga tahun pacaran. Wajar kalo gue sama dia udah tidur bareng.”

Wonwoo nggak ngomong apapun. Dia nggak tau harus ngomong apa, tepatnya. Batinnya berkecamuk, antara cemburu pada pacar Joshua atau senang, karena Joshua belum disentuh orang lain. Meski dia nggak punya harapan, dia tetap senang akan fakta tersebut.

Wonwoo berdeham, membersihkan tenggorokannya agar kata-kata bisa meruak keluar dari sana. “Lo...emm, nggak mau tidur sama dia?” tanyanya, hati-hati.

Joshua nggak menjawab agak lama, sampai helaan napas terdengar kemudian. “Gue nggak merasa pacaran tuh harus tidur bareng, Won. Siapa yang nentuin itu semua? Siapa yang bilang kalo pacaran itu harus tidur bareng? Peraturan dari mana? Gimana kalo gue udah tidur sama dia, terus nggak cocok, terus dia bosen dan anggep gue 'udah kelar' terus putusin gue?” mengalir keluh-kesah tanpa sempat disaring lagi. “Nggak ada jaminan abis gue tidur sama dia, dia bakal terus sama gue kan?”

“Kenapa lo mikir cowok lo bakal ninggalin lo abis tidur sama lo?” penasaran. Alis Wonwoo menukik.

Joshua mendesah dan membetulkan posisi kepalanya di bahu Wonwoo. “Karena gue nggak berpengalaman di kasur? Karena gue mungkin cuma bisa diem and take it? Karena—”

”—karena lo nggak sepercaya itu sama cowok lo sendiri?”

Kalimat putus di tengah. Perlahan, Joshua menggeser kepalanya, mendongak. Matanya membulat, terpaku pada mata Wonwoo. Mata Wonwoo, yang kini mulai berisikan harapan. Setitik. Secuil. Namun, tetaplah harapan.

Debar jantungnya semakin kencang kala dia berbisik,

“Lo nggak cinta sama cowok lo, Shua?”

DegDegDegDegDegDeg—

“Udah malem,” Joshua menjauh. Jeda yang kemudian diisi dinginnya angin malam. Kehangatan tubuh Joshua begitu cepat menghilang. “Pulang gih, Won, ntar bonyok lo nyariin.”

Itu adalah pengusiran. Jelas sekali. Dan Wonwoo terlalu tau diri untuk segera bangkit, memeluk Joshua sekilas sebagai salam perpisahan, dan pergi dari rumah keluarga Hong.