Part 22
“Sayang?!”
“Sayang?!”
Gelas wine ketiga dan tubuh Joshua mulai menghangat.
Setelah melepas ibunya untuk bertemu empat mata dengan Ibu Suri (katanya sih cuma boleh dihadirin perempuan aja, Joshua juga nggak minat-minat amat sih, terlalu banyak perhatian dia dapat setelah pindah ke negara ini), anak itu melipir ke meja yang dijaga oleh seorang pelayan yang menuangkan minuman ke gelas para tamu. Kesepakatannya dengan ibunya sebagai syarat karena Joshua sudah merelakan hari ulang tahunnya adalah Joshua boleh ngelakuin apapun sepanjang malam itu. Ibunya cuma menghela napas, meminta anaknya untuk berhati-hati pas ibunya nggak ada di sisinya.
“Mingyu.”
Tuan Kim tersentak. Ingatannya akan malam di rumah Dokter Jeon pun buyar. Kejadian beberapa malam lalu setelah Tuan Raja memulangkannya dengan janji untuk perencanaan pesta dansa yang berakhir dengan dirinya membawa beberapa obat dari rumah pasangan tersebut.
“Pembedahan.”
Ialah jawaban Dokter Jeon ketika Tuan Kim bertanya sambil lalu kemanakah dirinya bertolak sebelumnya. Suatu pertanyaan yang tidaklah mengharapkan penjelasan. Ketika Tuan Kim mendapatkannya, ia hampir tersedak cacahan daging dalam rebusannya. Tuan Seo buru-buru menuangkan lebih banyak bir dingin ke gelas tamunya dengan raut cemas, sementara Dokter Jeon, yang tidak menyadari hal tersebut, melipat lengan di dada. Mata terpejam dan alis bertaut.
“Joshua.”
Nggak ada jawaban. Ibunya menunggu sampai hitungan ke-lima, sebelum dia menyerah dan menaiki tangga, melongokkan kepalanya dari pinggir pintu.
“Kamu udah siap belom, Nak?”
“Anak itu.”
Seluruh tubuh Kim Mingyu menegang. Di balik tirai dimana ia tidak sengaja ketiduran saat sedang bermain petak umpet dengan kakaknya, Seungcheol, ia diam tak bergerak. Napasnya ditahan oleh bekapan kedua tangan. Ia tidak menyukai pamannya dan para tetua. Mereka selalu memandangi dirinya dengan sinis, seperti sesuatu yang menjijikkan.
Jangan sampai ketahuan ia berada di ruangan yang sama dengan mereka saat ini...
Suara ketukan terdengar tiga kali dalam ketenangan malam.
“Masuklah.”
Daun pintu kemudian terbuka.
“Selamat siang, Hong,” Yoon Jeonghan tersenyum.
Berdiri di ambang pintu, Omega itu bagai malaikat turun dari langit. Cantik, polos. Tampak seperti seseorang yang hidupnya dipenuhi bulu burung dan bebungaan. Tapi, Joshua lebih dari sekadar tahu kalau Yoon Jeonghan—persetan dengan kata orang di luar sana—itu pedang bermata dua. Sebut saja instingnya yang berbicara.
Adikku Tersayang,
Aku menulis surat pendek ini untuk mengabarkan berita baik padamu. Sesuai janjiku, aku membicarakan hal yang kita diskusikan sebelumnya pada Ibunda dan para tetua. Dengan sangat bahagia aku memberitahumu bahwa permintaan kita telah dikabulkan.