Part 18
Part 18 #gyushuaabo
“Terima kasih.”
“Terima kasih, Nyonya Jang. Semoga cepat sembuh.”
Tling!
“Oh, maaf, kami sudah tutup untuk hari i—”
“Tuan Seo.”
“Oh. Tuan Kim!” buru-buru, Tuan Seo mengitari konter, keluar dari kukungan kayu yang merupakan meja kerjanya. “Apakah ada yang bisa saya bantu?”
“Maafkan kelancangan saya karena datang di luar jam kerja Anda,” senyuman sang Alpha lemah namun lembut, membuat Tuan Seo menggeleng segera. Ia tidak pernah segan bila Tuan Kim yang bertandang. “Tapi saya perlu bertemu dengan suami Anda.”
Seo Myungho berkedip. Dengan beret di kepala, lelaki Beta itu nampak begitu muda. Tapi, ah, memang ia masihlah muda, bukan? Berapa tepatnya usianya...? Tuan Kim mencoba mengingat-ingat, meski pada akhirnya gagal jua.
“Oh,” setelah beberapa saat, anak muda itu seolah tersadar bahwa ia belumlah menjawab pertanyaan tamunya. “Umm, dia sedang tidak di tempat, Tuan Kim, bila Anda mempunyai pesan, saya bisa—”
Tling! Brak!
“Myungho! Sayang! Aku pulang! Myung—”
Langkah lelaki Beta itu terhenti di depan konter apoteknya. Alisnya mengernyit sesaat oleh refleks semata. Alih-alih menemukan suaminya sedang merapikan toko sebelum mereka mengunci pintu, mematikan lampu dan bertolak ke tingkat dua dan tiga bangunan tersebut, dimana mereka tinggal sehari-harinya, ada seseorang di sana. Punggung lebar, lebih tinggi darinya beberapa senti. Alpha. Namun, saat sosok itu berbalik, lelaki itu menghela napas.
“Oh. Anda, Tuan Kim. Saya kira siapa.”
“Dokter Jeon,” Tuan Kim membungkuk sedikit sebagai sapaan, yang dibalas persis sama oleh lelaki yang ia sapa. “Maaf saya mengganggu malam Anda berdua.”
“Ah, tidak apa-apa. Apa Anda ingin ikut makan malam bersama kami?” Tuan Seo sudah berjalan ke belakang suaminya, membantunya melepaskan mantel panjang musim dingin yang dikenakannya. Mantel itu kemudian menemukan jalannya ke tiang di sebelah pintu depan. Tuan Seo sekaligus mengunci pintu tersebut, karena mereka menggunakan pintu belakang bila malam telah turun. “Kebetulan, saya tadi menitipkan stew daging buatan saya pada Myungho sebelum pergi. Mungkin sekarang sudah siap?”
“Sudah,” suaminya mengangguk membenarkan. “Masih hangat. Baru saja diangkat tadi sebelum Nyonya Jang datang.”
“Tapi, saya tidak ingin menggang—”
“Ah. Tepat sekali momennya, kalau begitu. Terima kasih, Sayang,” disibaknya sisi poni suaminya, membuat pipi Tuan Seo memerah. Di balik kacamata rim bulatnya, tatapan Dokter Jeon pada suaminya begitu lembut. Tuan Kim perlu berdeham sekali untuk menyadarkan mereka.
“Maafkan saya. Mari, Tuan Kim.”
“Dokter Jeon, tapi saya—”
“Saya sungguh lapar.”
Melihat bagaimana Tuan Kim menghela napas sebagai tanda menyerah, Tuan Seo terkikik perlahan, lalu mengikuti suami dan tamu mereka menuju dapur di lantai dua.