Part 20

#gyushuaabo

“Mingyu.”

Tuan Kim tersentak. Ingatannya akan malam di rumah Dokter Jeon pun buyar. Kejadian beberapa malam lalu setelah Tuan Raja memulangkannya dengan janji untuk perencanaan pesta dansa yang berakhir dengan dirinya membawa beberapa obat dari rumah pasangan tersebut.

(Dokter Jeon memberikannya sambil mendumal tanpa henti, hanya memperbolehkan 1/3 dari resep seharusnya. Tuan Kim menerima gerusan obat tersebut dari Tuan Seo dan baru dilepaskan setelah dipaksa berjanji untuk menggunakannya hanya dalam kondisi darurat.

Janji seorang Alpha terhormat semacamnya tidak akan sanggup diingkari atas harga dirinya.)

Tuan Kim menoleh, menemukan kakaknya di sana. Dalam seragam militer kebesaran, ia tampak gagah. Tuan Raja adalah Alpha yang amat memukau. Meski Tuan Kim lebih tinggi darinya, namun bahu kakaknya lebih lebar dan tubuhnya lebih berisi. Sekali lihat, semua orang tahu lebih baik daripada mencari kerusuhan di depan batang hidung Tuan Raja.

Beliau hampir-hampir mengintimidasi, kalau tidak karena senyumannya yang selalu lembut, apalagi jika sudah bersama Omega terkasihnya.

“Kau sudah siap?”

“Seragam militer,” kernyitan alis sang adik membuat sang kakak tertawa. “Aku rasa kau masih punya banyak setelan formal yang lebih pantas untuk sebuah acara pesta dansa, Kak, ini kan bukan acara koronasimu...”

“Ah, adikku, bagaimana aku mengatakannya padamu tanpa membuatmu jengah,” ia berkedip sebelah mata. “Kekasihku akan memasuki masa estrusnya dan dia menyukai seragam militer, lebih daripada setelan manapun. Jika kau paham maksudku.”

Wajah Kim Mingyu pun segera memerah.

“Kak! Ap-apa—”

Tuan Raja tertawa makin lepas. Betapa pemalunya. Betapa manisnya. Adiknya dari kecil hampir tidak berubah. Masih Kim Mingyu yang mudah sekali merona jika digoda sedikit saja.

Ah, ah. Yang Mingyu butuhkan adalah Omega yang bisa mengimbanginya. Jika apa yang dikatakan Jeonghan benar, bahwa Omega yang ditaksir adiknya itu tidak serapuh yang orang-orang pikirkan, mungkin memang Tuan Hong adalah jawabannya.

Merasa puas dengan pemikiran tersebut, Sang Raja kemudian merangkul bahu adiknya. Tuan Kim memandanginya heran, tapi membiarkan dirinya ditarik ke dalam setengah pelukan.

“Apakah Ibunda senang bertemu denganmu?”

Pandangan turun, Tuan Kim perlahan mengangguk.

“Begitukah? Lalu kenapa semalam aku mendengar teriakan dari kamarnya?”

Pandangan semakin turun.

“Kau pasti berkata hal yang konyol lagi, sampai-sampai aku mendengar Ibunda membawa namaku,” ujarnya santai. Lalu, Tuan Raja menepuk-nepuk pundak adiknya. “Mingyu. Aku menganggapmu sebagai adik kandungku. Tidak pernah kurang dari itu. Aku senang kau datang ke istana. Setelah kau datang, mendiang Ayahanda lebih banyak tertawa. Ibunda memeluk kita lebih sering. Dan aku pun punya banyak teman yang baik karena kau yang membawa mereka padaku.

Apakah kau tahu, Mingyu, kalau aku dan Jeonghan selamanya berhutang budi padamu?”

Mata Tuan Kim berkedip. Kakaknya tersenyum makin lebar.

“Jika kau tidak datang ke istana dan mengajak Jeonghan bermain di halaman kala itu, aku tidak akan mengenal kekasihku saat ini. Aku mungkin masih sendirian dan kesepian, sampai Ibunda merasa perlu mencarikan jodoh untukku.”

Kini, Tuan Kim menatap wajah kakaknya.

“Kebahagiaan kami adalah hadiah yang berharga darimu, meski mungkin kau tidak menyadari apa yang sudah kau lakukan,” Seungcheol menekan kening adiknya dengan keningnya sendiri. “Dan sekarang, giliran kami yang membantumu untuk bahagia.”

Tidak sepatutnya dada Tuan Kim membuncah oleh rasa haru yang luar biasa ketika ada pesta dansa megah menanti mereka di bawah. Di sini, seorang anak pungut, berasal dari jalanan di bagian kota yang kumuh. Anak yang ditelantarkan karena ibunya tewas dan ayahnya menghilang entah ke mana. Anak yang hampir mati dengan tulang-belulang melekati kulitnya di sisi sungai yang membelah kota menjadi dua.

Anak yang tidak pernah merasa dirinya pantas mendapatkan cinta dari orang-orang paling terpandang di kerajaan ini.

Tapi, di sini, sang raja justru berkata sebaliknya.

Orang-orang ini...kerajaan ini...

Kerajaan yang damai. Militernya kuat dan tangguh. Penduduknya berbahagia dan menikmati hidup. Para petani tidak kelaparan di atas ladang mereka sendiri. Para pedagang berjualan dengan ceria. Pesta-pesta dansa yang indah. Pesta rakyat yang meriah.

Baginda Ratu Ibu Suri yang lembut dan penyayang. Calon Pangeran Pendamping, sang Omega, yang cerdik dan bijaksana.

Dan kakaknya, Baginda Raja, Alpha yang bijak dan berhati mulia. Yang kuat berwibawa, namun begitu hangat.

Kim Mingyu berpikir betapa beruntungnya dirinya.

“Jangan menangis,” Seungcheol meringis, menghapus tangis yang tertahan sebelum tumpah dari mata adiknya. “Kalau kau yakin bahwa hatimu berada pada Omega itu, maka dia adalah Omega yang akan berbahagia di dunia, karena dia dicintai oleh Alpha semenakjubkan dirimu.

Jangan menangis, adikku sayang. Malam ini jauh lebih baik bila kau tertawa.”

Mingyu terisak. Ia menunduk dalam-dalam. Diambilnya tangan kakaknya, ditangkupnya, mencoba berterima kasih dengan seluruh hatinya. Berterima kasih akan keluarga yang telah kakaknya bagi padanya, si anak yang tak memiliki siapa-siapa.

Seungcheol menghela napas, lalu menyandarkan kepalanya ke ubun-ubun sang adik.

“Ibunda...”

“Hmm?”

“Ibunda juga mengatakan hal yang serupa...”

“Oh?”

“Aku bilang pada Ibunda semalam kalau aku hanya berpikir untuk kembali ke tempat dimana seharusnya aku berada. Aku...aku sadar asalku dari mana,” Mingyu menelan ludah. “Tapi, Ibunda marah padaku. Katanya tempatku seharusnya berada adalah di sampingnya dan di sampingmu...”

Seungcheol mendengus geli. “Benar. Ibunda benar sekali,” angguknya setuju. “Makanya, hentikanlah pemikiran konyolmu itu, Mingyu, dan kembalilah tinggal bersama kami.”

”...”

“Kembalilah ke istana. Bawalah Omegamu. Aku dan Ibunda dan Jeonghan menanti kalian.”

Kim Mingyu kemudian bungkam. Kembali ke istana...terdengar begitu berat. Memang betul, ia tinggal di kediamannya itu untuk menghapus omongan buruk terhadap keluarga raja, menghindari darah kotornya menetesi aliran darah biru murni mereka, namun sekarang, setelah Mingyu menyicipi nikmatnya kebebasan sebagai anonim di luar istana, ia tidak merasa ingin untuk buru-buru kembali.

Tidak diketahui sebagai salah satu kerabat raja membuatnya bebas berteman dengan siapa saja dan ia menyukai itu.

Pun, ia tidak ingin Tuan Hong mengetahui hal tersebut. Ia yakin Tuan Hong adalah Omega terhormat, hanya saja keegoisan Kim Mingyu ingin Tuan Hong mengenalnya sebagai dirinya, Kim Mingyu. Ia ingin, apabila, puji Tuhan, Tuan Hong, entah bagaimana caranya, jatuh hati padanya, itu karena ia adalah Kim Mingyu. Alpha yang bukan siapa-siapa, hanya dirinya.

Tapi, tentu saja, itu hanyalah harapan kosong seorang Kim Mingyu.

Bagai pungguk merindukan bulan...

“Aku rasa aku tak punya harapan dengan Tuan Hong, Kak...”

Tuan Raja menaikkan alis. Kedekatan mereka buyar karena Tuan Raja melepaskan diri.

“Apa maksudmu?”

“Masalah pertama, usianya terlalu muda.”

Alis Tuan Raja naik lebih tinggi lagi.

“Mingyu,” ucapnya kemudian. “Kau sadarkah betapa konyolnya ucapanmu itu?”

“Aku serius, Kak. Tuan Hong bahkan belum berusia 20!” celotehnya. “Maksudku, kau dan Tuan Yoon baru bertunangan sekarang, meski aku tahu kalian saling mencintai sejak lama.”

“Oh. Apa karena itu saja?”

Tuan Kim terhenyak. Parasnya bertanya-tanya. Ia nampak begitu bingung hingga Tuan Raja tertawa lagi.

“Adikku sayang,” kekeh sang raja. “Aku dan Jeonghan memang menunggu lama untuk mengikat hubungan kami atas dasar kesepakatan bersama. Kekasihku tidak mau mengurusi kerajaan sebelum dia selesai mengurusi keluarganya dan dirinya. Dia adalah anak lelaki sulung keluarga Yoon. Adalah tanggung jawabnya menjadi tulang punggung keluarga.

Tahun lalu adiknya yang paling muda lulus pendidikan tertinggi, dan katanya adiknya yang tertua juga sudah menemukan calonnya, seorang Beta yang begitu menyayanginya. Ayah dan ibunya sudah pensiun bekerja dan tinggal dengan tenang di pinggir kota yang nyaman.

Karena itulah, dia baru menerima pinangan dariku. Tidak ada alasan lain.”

Kepala Tuan Kim rasanya kopong. Di dalamnya, terngiang jawaban Dokter Jeon ketika ia bertanya apakah dirinya tidak merasa berdosa karena menikahi anak yang begitu muda.

(“Tuan Kim, sebelumnya saya minta maaf bila saya berbicara terus terang, tapi pertanyaan Anda sungguh tidak pada tempatnya. Untuk apa saya merasa berdosa, Tuan, jika yang saya lakukan hanyalah menikahi orang yang saya cintai?

Saya dan Myungho tidak dipaksa siapapun saat kami mengikat janji. Meski saya mengenalnya jauh sebelum itu, saya tidak sebegitu rendahnya untuk mengiminginya dengan cinta ketika dia masih belia. Justru dia yang datang pada saya setelah hari ulang tahunnya yang ke-19 dan menodong saya untuk menikahinya, karena dia sudah tidak sabar untuk membagi lembaran hidupnya dengan saya.

Saya meminta restu orangtuanya. Saya meminta restu orangtua saya. Dan, saya meminta restu dirinya untuk saya dekati. Teman-teman kami memberi kami selamat. Para tetangga tersenyum melihat kami.

Jadi, ijinkan saya bertanya balik, Tuan Kim, dimana letak dosa yang Anda sebutkan tadi?“)

......

”...Begitukah?”

“Bila tidak ada kesepakatan itu, kami mungkin sudah menikah ketika Jeonghan menginjak usia 18. Kami bahkan bertengkar soal nama anak-anak kami ketika dia masih 15,” kenang sang raja dengan mata berbinar-binar.

Tuan Kim diam seribu bahasa. Aneh. Begitu aneh. Seakan jagat raya menyuruhnya untuk merawat perasaannya pada Tuan Hong. Apakah dirinya yang benar di sini? Apakah kakaknya, Tuan Yoon, Dokter Jeon dan suaminya yang benar di sini?

Pemikirannya yang semrawut tersebut membuat Tuan Kim melupakan satu hal paling krusial.

Benar.

Semua ini tidaklah penting bila Tuan Hong tidak tertarik pada dirinya.

Omega itu telah terlepas satu kali dari genggamannya selepas berdansa. Apa, demi Tuhan, yang membuat Kim Mingyu begitu yakin kalau Tuan Hong masih sudi berdansa dengannya lagi?

Tidak ada.