Part 19

#gyushuaabo

“Pembedahan.”

Ialah jawaban Dokter Jeon ketika Tuan Kim bertanya sambil lalu kemanakah dirinya bertolak sebelumnya. Suatu pertanyaan yang tidaklah mengharapkan penjelasan. Ketika Tuan Kim mendapatkannya, ia hampir tersedak cacahan daging dalam rebusannya. Tuan Seo buru-buru menuangkan lebih banyak bir dingin ke gelas tamunya dengan raut cemas, sementara Dokter Jeon, yang tidak menyadari hal tersebut, melipat lengan di dada. Mata terpejam dan alis bertaut.

“Mereka mengamputasi kaki seorang pasien laki-laki dan mengundang pembedahan terbuka. Yang mengatasi kali ini adalah Dokter Park. Saya...kurang menyukai cara kerjanya.”

Dokter Jeon menaikkan kacamatanya. Suaminya diam, melanjutkan makan, karena sudah mengetahui mengapa pernyataan itu datang. Lain halnya dengan Tuan Kim.

“Mengapakah, jika saya boleh bertanya?”

“Menurut saya kurang ahli,” Dokter Jeon menghela napas. “Sepuluh menit terbuang percuma karena kerjanya kurang efisien. Darah yang terbuang terlalu banyak. Pemotongan dagingnya tidak rapi. Harusnya tulangnya bisa digergaji lebih cepat tapi, oh entahlah, mungkin alatnya terlalu tumpul untuk—”

“Wonwoo.“

Dokter Jeon menoleh. Suaminya mengernyitkan alis, nampak tidak senang. Tuan Kim agak memucat, tidak menyangka akan mencoba menelan daging rebus ditemani cerita morbid dari dalam ruang operasi. Dokter Jeon pun segera meminta maaf pada mereka berdua. Kebiasaan buruknya adalah mudah hanyut dalam profesinya. Ia biasa berceloteh serupa dengan rekan-rekan kerjanya, sehingga kekadang terbawa hingga ke rumah. Untungnya, Tuan Kim maklum, meski ia harus menelan potongan dagingnya agak susah payah.

“Yah, intinya, mengamati tindakan pembedahan yang buruk membuat hati saya tidak enak. Saya menyukai metode Dokter Yang. Pasiennya diatasi dalam 50 detik. Semua rapi dan cepat. Tentu saja tetap menyakitkan, namun sakit selama 50 detik lebih baik daripada sakit selama 10 menit,” dipotongnya daging dan kentang di piringnya. “Cukup mengenai saya. Ada keperluan apakah Anda datang ke rumah kami yang sederhana ini, Tuan Kim?”

“Ah,” sang Alpha menghapus noda di bibirnya dengan serbet linen. “Begini. Mengenai, eh, resep obat saya—”

“Oh.”

Dokter Jeon berhenti bicara. Sudah paham dari satu kata semata.

“Apakah...Anda kambuh lagi?”

Dengan sedih, Tuan Kim mengangguk.

“Apakah Anda belum melakukan yang saya anjurkan, Tuan Kim?”

Tuan Kim menunduk, enggan bertatap mata. Dokter Jeon mundur untuk bersandar pada kursinya. Matanya yang awas mengawasi Alpha di seberang.

“Tuan Kim, sungguh saya tidak ingin memberikan Anda lebih banyak obat,” dengan helaan napas, ia pun mengakui. “Anda sudah hampir melewati dosis aman. Lebih dari ini, nyawa Anda bisa jadi taruhannya.”

“Tapi, Dokter, Alpha saya—”

”—Alpha Anda, Tuan Kim,” sang dokter mendadak maju. Telapak tangan pada taplak meja. Parasnya serius, hampir-hampir marah. Punggung Tuan Seo menegang. Suaminya bisa terlalu tenggelam dalam perannya sebagai dokter, sehingga kerap memarahi pasien yang berpotensi membahayakan dirinya sendiri. Tuan Seo yakin itulah persisnya yang terjadi saat ini. “Alpha Anda sudah cukup bersabar dengan baik selama ini. Sudah saatnya Anda yang mendengarkan Alpha Anda. Bagaimanapun, Alpha Anda adalah Anda sendiri. Ia tahu apa yang ia dan Anda inginkan.”

Tuan Kim membuka mulut, hendak protes kembali, namun kalah cepat oleh lontaran Dokter Jeon.

“Omega. Apa Anda sudah mencarinya seperti yang saya anjurkan?”

Lidahnya bak ditusuk seribu jarum.

“Saya menganjurkan Anda untuk berhenti menolak Alpha di dalam diri Anda dan mulai mencari Omega atau Beta yang Alpha Anda inginkan. Tidak baik terus-terusan menekan hasrat Alpha Anda menggunakan obat-obatan. Yang Anda perlukan sebenarnya sederhana saja: temukanlah pasangan yang Alpha Anda inginkan, dekatilah, gigitlah, dan Anda tidak perlu obat-obatan itu lagi.

Anda hanya perlu mengikuti insting Alpha Anda, Tuan Kim. Seharusnya itu bukanlah hal yang sulit.”

”...”

Kim Mingyu tidak berkata apapun. Tuan Seo merasa pembicaraan di meja makan tersebut sudah berganti menjadi konsultasi di ruang praktek suaminya di lantai satu, sehingga Beta muda itu pamit undur diri untuk bersiap pergi tidur. Ia mengangkat piring dan gelas kosong, namun suaminya mengatakan bahwa ia yang akan mencucinya nanti. Tuan Seo mengangguk, menaruh semua piring kotor di bak cuci, lalu naik ke lantai tiga, ke kamar tidur mereka.

Begitu bunyi pintu atas ditutup terdengar, Tuan Kim menghela napas panjang.

“Kenapa, Tuan Kim? Kenapa Anda membuat susah diri Anda dan Alpha Anda sendiri? Anda tampan. Anda begini santunnya, bahkan pada saya dan suami saya yang hanya dokter dan apoteker biasa. Saya rasa tidak sulit menemukan pasangan bagi—”

“Dokter Jeon,” sang dokter segera bungkam. Meski tipis, ada nada memerintah seorang Alpha di kalimat tersebut. Bahkan Beta sepertinya bisa terpengaruh. “Saya...Saya bukannya tidak mau, tapi...”

Hening. Suara jam besar di ruangan itu mengisi kekosongannya.

”...Tapi?”

”...Dokter. Suami Anda,” mata sang dokter melebar. “Berapakah usianya?”

“Apa...,” kebingungan, jelas sekali. “Apa hubungan Myungho dengan ini?”

“Berapakah usianya?”

“21. Suami saya berusia 21, Tuan Kim.”

“Dan Anda sudah menikah selama...?”

“Dua tahun,” kernyitan kening Dokter Jeon semakin dalam. “Tuan Kim, saya tidak paham—”

“Berapa usia Anda, Dokter?”

“Saya? Saya 33 tahun ini, tapi—”

“Jadi Anda menikahi suami Anda di usianya yang ke-19 dan Anda 31?”

“Benar?”

“Apakah,” Tuan Kim menelan ludah. “Apakah Anda tidak merasa, ah, berdosa?”

.........

“Oh,” sebuah pemahaman. “Jadi rumor mengenai Anda itu benar adanya.”