1.2
Mingyu menghela napas setelah meneguk wine. Di sisinya, terduduk Minghao dalam jubah tidur menimpa piyamanya, dengan kedua kaki diangkat dan menekuk di atas kursi. Ia terus saja tersenyum memandangi bulan.
“Kenapa, Ma?”
“Hmm?”
Mingyu menghela napas setelah meneguk wine. Di sisinya, terduduk Minghao dalam jubah tidur menimpa piyamanya, dengan kedua kaki diangkat dan menekuk di atas kursi. Ia terus saja tersenyum memandangi bulan.
“Kenapa, Ma?”
“Hmm?”
Minghao meneguk teh hangatnya.
“Terus Mama sama Papa nikah?” pertanyaan anak lelakinya membuat Minghao hampir tersedak teh.
“Jadi, sekarang gimana?”
Setelah semua lebih tenang, mereka berpindah ke ruang keluarga. Minghao membuatkan anak itu secangkir cokelat panas. Seluruh keluarga Kim duduk di sana dengan perasaan masing-masing. Mereka menunggu sampai Minghao sendiri duduk dan mulai menjelaskan.
“Selamat pagi.”
Minghao mengerjap, kemudian tersenyum. “Selamat pagi,” meski ia tidak mengenal anak berambut hitam dan bermata sipit itu, namun tetap ia sapa dengan ramah. Anak itu kira-kira seumuran dengan anak-anaknya. Mungkin teman salah satu dari mereka.
Begitu sambungan telepon diputuskan, Wonwoo langsung beranjak dari sofa dan mengambil barang-barangnya, bagai orang kesetanan. Tentunya ini membuat Mingyu kian cemas.
“Gue kira lo kenapa, Gyu, Gyu...tetau gegara tolol aja...”
“Kok lu anjing, Won?? Gue serius ini!! Surat dari siapa itu?? Kenapa dia nggak ngasih tau gue?? Biasanya dia selalu cerita apapun ke gue??”
(“Pa. Papa inget surat yang Mama terima?”)
(“Kakak ngeliat Mama nyium surat itu, Pa, kayaknya Mama seneng banget...”)
(“Pa...surat itu....surat dari siapa....?”)