47.

#gyuhaoparents

Begitu sambungan telepon diputuskan, Wonwoo langsung beranjak dari sofa dan mengambil barang-barangnya, bagai orang kesetanan. Tentunya ini membuat Mingyu kian cemas.

“Won, Soonyoung kenapa?? Dia nggak apa-apa kan?? Nggak ada masalah kan??” ia sendiri ikut berdiri, mengambil tas Wonwoo yang ditaruh di dekat kakinya, lalu menyerahkannya.

“Gyu, gue bakal jadi papa!”

“Eh?”

“Nyong hamil, Gyu! Dia tadi ke dokter! Gue bakal jadi papa!” sumringahnya lebar. Mata Wonwoo berbinar-binar. Tangannya mengambil handphone dan kunci mobil untuk dimasukkannya ke dalam saku. “Gyu, sori ya, gue balik dulu. Lo mau gue telponin Mas Seok buat jemput lo? Lo jangan bawa mobil ya, nanti gue diamuk Hao kalo dia tau.”

“No prob, nanti gue telpon dia. Congrats, bro!” dengan senyuman tak kalah lebar, ia memeluk Wonwoo.

“Thanks, bro,” ditepuk-tepuknya punggung Mingyu. “Lo juga ya, cepet lurusin ini semua sama Hao. Aneh banget liat lo bedua berantem. Berantem itu bagian gue sama Soonyoung, lo sama Hao bagian mesra-mesra aja.”

Keduanya tertawa. Lalu, Mingyu melepaskan Wonwoo untuk mengantarnya pergi.


Ketika ia pulang, keadaan rumah sudah gelap. Rumah dua lantai bergaya modern itu sunyi sepi, hingga suara jam dinding mampu tertangkap telinganya. Kim Mingyu memandangi rumah yang mereka berdua bangun dari rancangannya sendiri, sementara Minghao mengambil andil dalam segi interior, terutama tekstilnya.

Dibandingkan kemegahannya dalam kesederhanaan, rumah itu berarti bagi Mingyu karena kenangannya. Bagaimana ia dan Minghao pertama bercinta di kamar mereka. Bagaimana Minghao menimang bayi mereka di kursi goyang di teras belakang rumah. Bagaimana, setiap hari, ia menghabiskan waktu di dapur, memasak demi anak-anak mereka...

Selipan lengan di sekeliling pinggang membangunkan Minghao sedikit.

“Mmh...?”

“Sst, tidur lagi, Hao....,” dikecupnya leher sang suami. Minghao mengerang dalam kantuk, mengulet sejenak, sebelum kembali terlelap. Mingyu telah mandi dan memakai celana training juga kaos hitam polosnya. Ia menaruh ibuprofen dan segelas air minum di nakas samping bagian kasurnya, berjaga-jaga apabila ia bangun dengan sakit kepala luar biasa.

Dalam pelukannya, Minghao kembali tertidur. Tenang. Tentram. Bagai tak ada rahasia yang ia pendam.

Mingyu ingin mempercayai. Ingin sekali. Ia selama ini yakin kalau Minghao mencintainya. Dari gerak-geriknya. Perhatiannya. Ucapannya.

“Tuhan...”

Wonwoo, kamu salah. Ini bukan kecemasan tidak berarti.

Ini ketakutan.

Ketakutan luar biasa kalau Minghao, tanpa ia sadari, perlahan terlepas dari genggamannya, meninggalkannya, meninggalkan anak-anak mereka, bahkan mendorongnya untuk hampir berbuat bodoh dengan Wonwoo.

Gelap mata dan setan lewat.

”...maafin aku...”

Suaranya serak. Pelukannya mengerat. Ia mengerucut, semakin membentuk fetus. Keningnya bersandar di bahu Minghao.

”...maaf...”

Maaf, karena aku hampir mengkhianati kamu.

Tuhan...belum pernah Kim Mingyu merasa seperti ini...