54.
Minghao meneguk teh hangatnya.
“Terus Mama sama Papa nikah?” pertanyaan anak lelakinya membuat Minghao hampir tersedak teh.
“Kakak, kalo Mama sama Papa nggak nikah, kalian nggak akan ada kan?” tawanya.
“Tapi, kalo kalian nikah kayak gitu,” anak gadisnya menyela. “Gimana caranya aku sama Kakak bisa ada?”
Pertanyaan bagus. Xu Minghao tersenyum sebelum melanjutkan.
“Papa kalian baik banget. Kadang, Mama masih heran, kenapa orang sebaik ini mau milih Mama, mau jadi pendamping hidup Mama,” di sampingnya, Mingyu menunduk. Wajahnya merah padam. Tumben-tumbenan Minghao memujinya begitu di depan anak-anak mereka. “Sesuai janjinya, Papa kalian tetap jadi temen Mama. Kita nggak ngapa-ngapain di malam pengantin...ah, Adek sama Kakak udah gede lah ya, tau kan maksud Mama?”
Kedipan mata jahil. Anak gadisnya hanya mendecak ketus, sementara anak lelakinya, seperti ayahnya, menunduk malu. Menggemaskan sekali.
“Abis nikah, perusahaan Mama pun mulai pulih. Papa kalian bener-bener support perusahaan Mama sampe bisa dilepas dan berdiri sendiri. Proyek Papa juga banyak yang gol. Rumah ini Papa yang bangun. Katanya, dia punya mimpi kalo dia bakal bangun rumahnya sendiri buat pasangan hidup dan anak-anaknya kelak.
....Sebenernya, tadinya Mama mau tolak. Mama nggak yakin mimpi sepenting itu pantas diwujudkan dengan pernikahan bisnis macam itu dan dengan pasangan hidup kayak Mama, yang nikahin Papa kalian tanpa cinta. Tapi, Papa kalian kayak yakin banget kalo dia mau wujudin mimpinya itu, jadi yah, rumah ini kebangun setahun kemudian.”
Mengambil napas, senyuman Minghao menjadi semakin lembut.
“Selama setahun itu, Mama jadi kenal sama Papa kalian. Hidup bersama itu artinya tau sisi yang sebelumnya nggak pernah Mama ketahuin. Mama tau Papa kalian itu orang yang setia, tapi Mama nggak nyangka dia sesetia itu. Dia nggak pernah sentuh Mama ngelewatin batas sebagai teman. Dan dia baikkk banget. Walo sebenernya Mama ada utang budi sama Papa kalian, dia nggak pernah manfaatin itu. Jelek-jeleknya pun Mama jadi tau. Yang tukang ngambek, yang ceroboh suka rusakin barang, yang nggak tau kapan harus berhenti ngomong...semua Mama jadi tau.”
Minghao menoleh ketika Mingyu menyenggol sikunya. Dilihatnya suaminya itu manyun. “Tuh kan. Ngambekan kamu,” gemas, dikecupnya pipi Mingyu. “Ini sih yang bikin aku jadi sayang...”
Mingyu kaget, “H-Hao, kita di depan anak-anak-”
“Biarin ah. Sampe mana tadi?” meringis jahil, Minghao bersandar ke sisi tubuh suaminya lalu melanjutkan cerita nostalgianya. “Kayaknya nggak usah Mama bilang kalo Mama jadi jatuh cinta sama Papa kalian. Jujur sih, pas masih bingung sama perasaan Mama, sempet Mama iri sama Om Wonu. Kepikiran. Gimana kalo Papa kalian masih sayang sama Om Wonu? Mama nggak bakal bisa saingan sama mantan pacar yang hampir dinikahin. Mama udah mau nyerah. Putus asa. Mama jatuh cinta sama suami Mama sendiri, yang mungkin nggak pernah ngeliat Mama lebih dari temen.”
Sesaat, ruangan itu senyap.
“Terus...?” anak gadisnya bergumam.
“Pas lagi galau gitu, rumah ini pun selesai dibangun. Mama sama Papa pindah ke sini. Malam pertama kami di rumah ini, Mama nggak bisa tidur. Mama duduk di balkon, minum anggur, sendirian. Mikirin banyak hal. Mama masih inget bulan pas malem itu. Indah. Warnanya kuning lembut. Papa kalian tetiba nemenin Mama.
Duduk aja gitu di balkon. Diem. Waktu itu, kondisi jalan depan belom serame sekarang, dan masih ada lahan kosong, jadi Mama inget ada samar-samar bunyi jangkrik. Damai banget. Duduk di sebelah Papa kalian, Mama ngerasa lagi di rumah.”
Rumahnya. Kim Mingyu seorang.
“Terus...?”
“Terus,” Mingyu berdeham, mengambil alih. “Terus Papa cium Mama kalian.”
Alis kedua anaknya terangkat. Terkejut.
“Dan, yah, emm, ya gitulah. C-cium, terus Papa gendong Mama ke kamar, terus mm-”
Minghao lagi-lagi meringis jahil.
“Mingyu. Di depan kita anak-anak SMP lho. Kamu mau umbar pengalaman kamar kita di depan mereka? Really? Ini pelecehan lho,” selorohnya.
“K-kan tadi kamu bilang nggak apa-apa mesra-mesraan, gimana sih?!” protes suaminya itu, padahal wajahnya sudah seranum tomat matang.
“Tapi bukan adegan lapan belas coret juga, Kim Mingyuuu,” Minghao tertawa terbahak-bahak. “Yah, intinya, wajar kalo kalian bisa lahir. Kayaknya malah Mama hamil Kakak tuh nggak ada sebulan dari situ. Sasuga emang Papa kalian...”
“Mah, udah sih. Kasian tuh Kakak, hampir pingsan,” decak anak gadisnya.
“Wah?” anak lelakinya betulan semaput karena malu. Benar-benar deh. Like father, like son. “Oke, oke. Nah dari situ, baru deh Mama bisa jujur ke Papa. Setelah hamil Kakak pun, Papa selalu jaga Mama, bikin Mama tambah cinta. Begitu juga pas hamil Adek. Pas kalian lahir.....”
Minghao maju, mengusap lembut pipi anak perempuannya dengan mata berkaca-kaca.
”....Andai Mama bisa kasih unjuk ke kalian gimana Papa mandang kalian yang masih bayi merah dibalut kain rumah sakit di ruang persalinan. Itu pemandangan paling indah yang pernah Mama liat, Nak. Mama bersyukur terlahir di dunia ini untuk bisa kasih Papa kalian kebahagiaan itu. Bisa ngebuat orang yang paling Mama sayangin bahagia...”
Serodotan ingus terdengar. Basah terasa di jari-jemari. Anak perempuannya telah menangis lagi, namun dengan alasan yang jauh berbeda. Diam-diam, anak bernama Lee Chan yang ikut mendengarkan di kursi di samping Kakak pun ikut menangis.
”....Mah,” itu anak lelakinya. “Mama belum jawab pertanyaan Kakak di WA waktu itu.” Anak lelakinya tersenyum lebar dengan mata mati-matian menahan haru.
“Mama sayang sama Papa?”
Xu Minghao melepas elusannya dari pipi Adek. Ia menoleh ke samping, ke suaminya dengan tatapan lembut yang sama semenjak belasan tahun yang lalu. Kim Mingyu punya banyak sekali cinta untuk diberikan, berkebalikan dengan Minghao yang tidak pernah paham apa faedah kata 'cinta' itu sebelumnya. Mereka berbeda. Polar opposites. Kutub A dengan kutub B.
Namun,
“Papa kalian segalanya buat Mama...”
justru itulah tepatnya mengapa.
Anak lelakinya mendengus geli. Jawaban yang sama dengan jawaban ayahnya. Ah...ia puas. Dengan ini jelaslah sudah.
Tak ada lagi keraguan.
“Hao. Aku boleh ngaku satu hal, nggak?”
Minghao menelengkan kepala, bertanya-tanya.
“Sebenernya, pas aku ngajak kamu nikah,” diambilnya kedua tangan Minghao. “Aku deg-degan banget. Takut kamu nolak. Takut aktingku sok cuek, sok santai, gagal total. Takut kamu malah marah. Kamu seenggak ketebak itu sih, jadi aku takut rencanaku rusak.”
“Rencana?” kerutan alis.
“Iya. Sebenernya, aku udah tau kondisi perusahaan kamu dari awal minggu itu. Aku tau kamu butuh bantuan finansial buat pertahanin perusahaan kamu. Aku tau kamu akan lakuin apapun demi perusahaan itu. Waktu aku cerita ke Bang Cheol, dia bilang sambil becanda, 'lo nikahin aja, Gyu, jadi bisa kasih harta lo ke dia. Kebetulan kan tuh, ada kesempatan.' Dan aku pikir, bener juga.”
“Sebentar,” kerutan alis Minghao makin dalam. “Kebetulan? Kesempatan?”
“Iya,” telapak Mingyu basah oleh keringat gugup. Diteguknya ludah. Pipinya memerah. “Iya. Itu, eng, aku pas ngajak kamu nikah....itu...beneran. Aku udah jatuh cinta sama kamu jauh sebelum itu.”
Bola mata Minghao melebar.
“J-j-jadi aku pikir k-kalo aku bisa jadi suami kamu, apapun alasannya—”
“Tapi...,” Minghao bergumam. Masih takjub. “...kalo aku nggak jatuh cinta ke kamu dan malah minta cerai ke kamu waktu itu...gimana?”
”......”
”....Yah, mungkin bakal kamu lepasin kayak sebelumnya—”
“Aku nggak akan cerein kamu,” gamitan Mingyu pada tangannya mengerat. “Walopun kamu nggak jatuh cinta sama aku, itu nggak masalah. Aku udah biasa nunggu. Setahun, sepuluh tahun, lima puluh tahun. Aku akan buat kamu jatuh cinta padaku, Xu Minghao.”
Napas Minghao bagai tertahan di kerongkongan.
“Kamu yang bilang sendiri, kan, kalo suatu hari, orang yang bakal bareng aku selamanya bakal muncul.”
Dibawanya tangan Minghao ke bibir untuk dikecupnya di punggung tangan.
“Aku udah nemu orang itu, and like hell I will ever let him go in this life...”
Rona, menjalar hangat dengan tenang dari pipi hingga ke ujung telinga Minghao. Ia baru tahu seberapa posesifnya suaminya itu. Ngeri, sekaligus senang.
“Xu Minghao,” dikecupnya tangan itu lagi. “Will you marry me?”
Minghao tergelak. Ringan dan tanpa beban. Betapa absurdnya ini semua. Betapa bodohnya mereka. Betapa konyolnya. Di sana, di ruang keluarga rumah dua lantai mereka, disaksikan kedua anaknya yang sudah beranjak remaja dan seorang anak dari sahabat lamanya, dalam senyuman lebar yang cantik sekali, Xu Minghao menjawab pinangan suaminya sendiri.
“Yes, Kim Mingyu.”