51.

#gyuhaoparents

“Selamat pagi.”

Minghao mengerjap, kemudian tersenyum. “Selamat pagi,” meski ia tidak mengenal anak berambut hitam dan bermata sipit itu, namun tetap ia sapa dengan ramah. Anak itu kira-kira seumuran dengan anak-anaknya. Mungkin teman salah satu dari mereka.

“Om yang namanya Xu Minghao?”

Kernyitan alis. “Iya...?” bingung terpancar di mimiknya.

“Saya Lee Chan, Om.”

“Oh. Halo. Emm, kamu temen anak saya—”

“NGAPAIN LO DI SINI?!”

Kaget, Minghao berbalik. Berderap galak mendekati ibunya yang tengah menyambut tamu di ambang pintu depan, anak perempuannya tidak pakai basa-basi langsung menggamit kerah anak lelaki itu dan mendorongnya hingga punggung membentur pintu. Ekspresinya marah besar.

“Adek??” Minghao panik. Kenapa ini, pagi-pagi begini?

“Special delivery for you, Ms. Kim,” Lee Chan meringis. Tak gentar akan ancaman terang-terangan tersebut. Diambilnya sebuah amplop dari saku jaketnya untuk ditunjukkannya ke depan batang hidung anak perempuan itu. “Ato gue kasih langsung ke nyokap lo?”

Anak perempuannya menoleh cepat ke belakang. Ia bisa melihat kedatangan kakak dan ayahnya yang terpanggil oleh suara gaduh tak biasa.

“Or should I say, nyokap kita?”

“Eh?” bola mata Minghao melebar.

”...DIEM!”

BRAK!

Didorongnya sekali lagi anak lelaki itu.

“DIEM, DIEM, DIEM! ITU NYOKAP GUE! BUKAN NYOKAP LO! GUE ANAK BOKAP GUE SAMA NYOKAP GUE! LO DIEM, BANGSAT, DIEM!” angkara, mengalir keluar bersama seluruh ketakutannya. Pegangan pada kerah ia lepas agar ia bisa menghajar anak itu bertubi-tubi, walau ia yakin kepalan tangannya terlalu lemah untuk menimbulkan luka berarti. Sambil menangis tersedu-sedu, anak perempuan itu tidak berhenti memukuli Lee Chan. “DIEM! DIEM! KENAPA LO HARUS MUNCUL? NYOKAP GUE, NYOKAP GUE—”

“ADEK!” sepasang lengan memeluk dan menarik pinggangnya, menjauhkan anak perempuan itu dari Lee Chan. “Sayang, kenapa? Siapa ini? Kenalan Adek? Kenapa berantem??”

Suara itu milik ibunya, yang cemas menonton kejadian di depan matanya. Kucuran air matanya tak jua berhenti, malah semakin tak tertahankan.

“Mama... hiks...Adek anak Mama sama Papa, kan...? Adek anak Mama sama Papa, kan, bukan-hiks-Mama sama orang lain...? Mama sayang sama Papa kan...?” kalimat yang keluar dari mulut anak gadisnya begitu pilu hingga menyayat hati Xu Minghao. “Mama...Mama...”

Dibaliknya anak itu agar ia bisa memeluknya dengan benar.

”.....Kamu siapa?” matanya bertemu dengan Lee Chan. Kelembutannya menguap begitu cepat. Bagai induk yang tengah melindungi bayinya, tatapannya pada anak lelaki itu tegas dan tajam, persis seperti Minghao sebelum ia menikah dengan Mingyu, seorang pria yang terkenal sarkastis dan bertangan dingin sehari-harinya.

Lee Chan, meskipun begitu, tidak goyah sama sekali.

“Salam kenal, Om. Nama saya Lee Chan. Saya temen sekelas anak perempuan Om, baru pindah dari Bandung,” ia mengangguk sopan sebagai salam perkenalan. “Walau saya nggak tau apa saya benar anaknya, tapi nama ibu saya Lee Jihoon. Dan nama ayah saya Wen Junhui.”

Senyuman anak itu terkembang manis ketika mengulurkan sepucuk surat.

“Ini ada surat buat Om dari ayah saya. Pacar gelap Om.”

Mingyu menarik napas mendadak. Urat di lehernya sama tegang dengan rahangnya. Tangannya terkepal otomatis. Anak lelakinya yang melihat perubahan pada ayahnya, mulai cemas.

“Pah...,” bisiknya, sambil memegang lengan ayahnya.

Minghao diam seribu bahasa. Diterimanya surat itu dan dibacanya. Rumah besar itu begitu hening sampai suara jam di dinding bisa terdengar nyaring. Tak ada seorang pun yang berani angkat bicara sampai Minghao selesai membaca.

”.....Jadi kamu yang ngirimin surat-surat ini, Nak?”

Lee Chan mengangguk.

“Dan dari surat ini, kamu nyimpulin Om sama Papa kamu selingkuh?”

Sekali lagi, ia mengangguk.

“Terus terang ya, Om. Ini jawaban yang selama ini saya cari,” ia mulai menjelaskan. “Selama ini, rumah saya dingin. Ayah saya kerja terus siang dan malam, ngebiarin ibu saya urus anak sendirian. Ayah saya nggak pernah nunjukin kalo dia sayang ibu saya dan saya. Selama ini saya selalu cari alasannya, kenapa ayah saya begitu?”

Lee Chan menunjuk surat itu.

“Ternyata, jawaban yang saya cari ada di laci meja kerja ayah saya, disimpen rapi di sana,” ia terkekeh geli. “Bodoh banget kan? Wajar Ayah saya nggak pernah sayang ibu saya, kalo dia punya selingkuhan selama ini.”

Dihelanya napas.

”....Tadinya, saya nggak mau kirim surat-surat itu. Karena penasaran pingin lihat kayak gimana sih selingkuhan ayah saya, saya pernah dateng ke rumah ini sekali. Cuma mau lihat aja.

Tapi...yang saya temuin malah keluarga harmonis. Ayah yang ngejar anak-anaknya dengan kotak bekal di kedua tangan. Orangtua yang pelok dan cium pipi mereka sebelum berangkat sekolah...”

Ia mati-matian menahan tangis, teringat rasa kesal yang berkecamuk dalam dadanya saat itu.

“Kenapa....kenapa keluarga Om bahagia? Kenapa saya nggak bisa seperti anak-anak itu? Kenapa ibu saya selalu mandang saya seakan dia minta maaf, padahal ini semua bukan salah dia? Kenapa ayah saya nggak bisa sayang ibu saya? Kena—”

Suaranya mendadak berhenti.

”...Adek.”

Tidak ada jawaban.

“Adek. Pukul lagi anak itu.”

”? Mah?”

“Pukul terus, sampe dia nangis,” pelukannya pada anak gadisnya ia lepas. “Sampe dia nangis dan ngeluarin semua yang dia simpen sendirian selama ini.” Ia berjalan dan, kini, berdiri di depan anak lelaki bernama Lee Chan itu.

”?!”

Mendadak, ia memeluk anak itu.

“Nangis.”

Perintahnya, membuat anak itu makin panik, mencoba mendorong dan melepaskan diri. Meski begitu, ia tak bisa kemana-mana. Tenaga Xu Minghao terlalu kuat baginya.

“Ayo, nangis,” diusapnya belakang kepala anak itu. “Kamu udah berjuang selama ini. Anak baik. Anak baik.”

Usap, usap

Pandangan mata Chan mulai buram akan air mata yang menggenang di sana.

“Kamu sayang Papa sama Mama kamu kan?”

Tangisnya pun turun, diam-diam, membuat basah pipi dan baju Xu Minghao.

“Anak baik...”

“Hng-”

Kemudian, Lee Chan balas memeluk orang itu. Orang yang ia benci. Orang yang mengambil andil dalam membuat hidupnya dan ibunya menderita. Orang yang telah mencuri ayahnya dari mereka.

“UUUWWWWAAAAAAAAAAHH!!!”

Orang yang pelukannya sehangat ini.