49.

#gyuhaoparents

“Pah?”

“Hmm?”

“Papah lagi ngapain kok malem-malem di balkon gini?”

Dengan jaket tersampir di atas piyamanya, anak lelakinya menutup pintu geser menuju balkon agar angin dingin tidak masuk lebih banyak. Ia menempatkan diri di sisi ayahnya yang sedang menumpu lengan pada pegangan.

“Lagi liat bulan nih,” ringis ayahnya. “Bagus.”

“Papah ngerokok lagi?”

“Jangan bilang Mama.”

“Bukannya Papa udah berhenti?”

“Hmm...,” Mingyu menghisap batang putih itu dalam-dalam sebelum dihembuskan. Kemudian, ia mematikannya di asbak di atas meja bundar kecil.

“Papa lagi banyak pikiran, Nak,” akunya dengan jujur. “Kakak nggak tidur? Besok kan sekolah?” Saat itu, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam.

Tentunya anak itu tidak bisa mengatakan pada ayahnya bagaimana ia tadi menemani adiknya yang menceritakan isi Whatsapp yang ia dapat dari 'anak selingkuhan mama' sambil terisak-isak. Ia tak bisa mengatakan pada ayahnya bagaimana ia memeluk adiknya, menenangkannya, mengelusi punggungnya, menjanjikan perlindungan dan keutuhan keluarga mereka padanya, sampai adiknya jatuh terlelap.

(“Ini-hiks-ini pasti karma kan, Kak? Gara-gara aku. Gara-gara aku ngarepin Papa sama Mama selingkuh. Beneran dikabulin. Gara-gara aku.”)

(“Adek! Mama tau kok Om Wonu itu mantan pacar Papa! Papa nggak selingkuh! Kan Kakak udah cerita ke kamu jawaban Mama soal Om Wonu! Lagian, inget kan, Papa tadi pagi cerita ke kita kalo Om Soonyoung hamil? Om Wonu sama Om Soonyoung saling cinta, Dek, Papa sama Mama juga—”)

(“Tapi Mama selingkuh.”)

(“Adek...”)

(“Kalo Mama nggak selingkuh, surat-surat itu nggak akan pernah ada, Kak. Chan juga nggak bakal nongol ke depan kita. Gara-gara aku. Aku bilang Mama Papa mungkin selingkuh, ternyata beneran selingkuh—”)

(“Adek...Dek...besok...besok kalo suratnya dateng, kita baca sama-sama ya?”)

Anak lelakinya hanya menggeleng. Mingyu tidak mendorong lebih jauh lagi. Mereka berdiri bersisian dalam diam dengan kepala mendongak menikmati keindahan malam. Amat disayangkan, di tengah kota besar macam ini, hampir tak ada bintang terlihat, pancaran mereka kalah oleh penerangan buatan manusia. Namun, bulan putih tetap menggantung di sana, sendirian, tanpa ragu, tanpa takut merefleksikan cahaya ke bumi.

Seberapa cepat pun waktu berlalu, ia akan tetap ada di sana, memerhatikan manusia di bawahnya.

“Pah.”

“Hmm?”

“Papah sayang Mama?”

Mingyu tersenyum. Diusreknya kepala hitam berantakan khas anak lelakinya. Lalu, tatap mereka bertemu.

“Pah?”

Anak lelakinya memaksa untuk balas tersenyum, berusaha keras menyembunyikan kegetiran dalam dada karena ayahnya tak langsung menjawab. Diteguknya ludah diam-diam.

Mereka tidak salah, kan? Setidaknya...setidaknya ayah mereka menyayangi ibu mereka...kan?

”....Kakak,” Kim Mingyu menangkup pipi anaknya dengan lembut. Tatapnya lurus dan tulus. “Jujur, Papa nggak tau harus jawab apa.”

Ia melanjutkan.

“Soalnya, kata 'sayang' aja nggak cukup buat jelasin perasaan Papa ke Mama kamu.”

Rasa syukur. Berterima kasih. Kelegaan. Rasa dimiliki dan memiliki. Bertukar pikiran. Persahabatan. Kenyamanan. Kebahagiaan. Keinginan melindungi. Keinginan dilindungi. Tempat bermanja dan berbagi canda. Pertengkaran sebagai warna. Kawan lama. Partner bisnis. Teman hidup.

Rasa cinta.

Cinta, cinta, cinta.

Menjadi satu dengan pori-porinya. Dalam tiap tarikan napasnya. Di setiap tutur katanya dan doa kecil dalam hatinya.

Hao...

“Mama kamu itu segalanya bagi Papa, Nak.”

Dan, tumpah. Anak lelakinya menangis, deras mengucur, memeluk ayahnya secara mendadak. Ikut terharu, Mingyu balas memeluk. Matanya sendiri mulai berkaca-kaca, meski ia tidak paham alasan anaknya sampai menangis.

“Kakak, kok nangis?” tawa rendah terdengar. Dalam pelukan ayahnya, anak itu menggeleng kuat-kuat, terus saja air matanya mengalir. Mingyu mengecup puncak kepalanya. “Sayang Papa, buah hati Papa, jangan nangis~“

Mantra yang dahulu sering ia dengar diucapkan ayahnya ketika ia masih kecil dan cengeng.

Adek, batinnya, sambil mengeratkan lengan di punggung ayahnya yang lebar. Adek. Seenggaknya, Papa kita sayang Mama, Dek. Adek jangan takut.

Keluarga kita nggak apa-apa, Dek.