Mobil sedan hasil modifikasi suaminya itu menembus malam yang benderang. Jakarta tidak pernah terlalu sepi, meski di jam 11 malam ini, jalanan tidak lagi macet. Seungkwan duduk diam di samping suaminya yang tengah menyetir. Hansol adalah tipe penyetir yang hati-hati, tidak pernah terburu-buru satu kali pun, bahkan ketika ia sedang mengejar pesawat pagi ke Cengkareng.
“Lo ngomong kayak gitu lagi ke dia, gue kebiri lo! Pegang omongan gue ini ya!”
Joshua terbangun dari tidurnya akibat suara gaduh. Ia memutar badan perlahan. Sambil mengucek mata, ia memerhatikan Jeonghan mengumpat penuh amarah pada siapapun yang berada di sisi telepon seberang sana.
Sepulang dari dokter, Mingyu tidur terus. Dari siang hingga menjelang malam. Meski tidak tega, Minghao mau tak mau membangunkannya untuk makan malam. Ia membantu lelaki itu agar duduk, setengah merosot, bersandar lunglai pada kepala ranjang.
Setelah memastikan Seungkwan terselimuti dengan nyaman di kamar tamu lantai bawah, Wonwoo menutup pintu sambil tersenyum tepat setelah teman Beta-nya itu menggumamkan nama suaminya dalam tidur. Meski mereka bertengkar karena hal sepele, Wonwoo yakin mereka berdua tetap saling mencintai.
Rasa aman seperti itu...Wonwoo ingin memilikinya juga...
Senin pagi itu, Seokmin sengaja datang agak terlambat dari biasanya. Bercerita tentang Joshua selalu membuatnya bermimpi di malam harinya. Bukan, bukan mimpi buruk, melainkan masa ketika mereka masih bahagia. Ia selalu suka melihat senyum Joshua. Yang manis, yang ceria. Ia terbangun dengan rasa hangat merebak di dadanya.
Kalo kamu baca ini, artinya aku udah di tempat yang lebih bahagia. Gimanapun juga aku percaya ada kehidupan setelah mati, walo kamu keukeuh kalo itu semua cuma cerita bohong. Agree to disagree!
“Itu surat dari Joshua buat Seokmin. Seokmin bilang ke saya buat kasih ke kamu,” Wonwoo memberitahunya lebih lanjut saat Mingyu hanya diam membatu dengan amplop di kedua tangannya. “Tapi bukan buat kamu. Nanti dibalikin ke dia. Jadi jangan dirusak ya, Gyu.”