225.

#minwonabo

Mingyu sudah sejam duduk di mejanya memandangi Wonwoo bekerja. Dari sudutnya, ia bisa berlama-lama memerhatikan setiap perubahan ekspresi wajah Omega-nya. Bagaimana alisnya berkerut serius saat menekuni tombol-tombol di mesin kopi. Bagaimana ia membelalak penuh kekaguman karena mesin tersebut mengeluarkan uap panas mendadak, kemudian bertepuk tangan, berseru “Wooah...woaaahh...” begitu kencang hingga para pelanggan menengok.

Mingyu tertawa geli melihat tingkah Wonwoo. Lucunya...

Jika dipikir kembali, ia belum pernah jatuh cinta sedalam ini. Sungguh aneh, memang, yang namanya hidup. Belum ada enam bulan semenjak perkenalan mereka (yang masih membuat Mingyu malu kalau mengingat detailnya), namun rasanya ia sudah mengenal Wonwoo selamanya.

Ia ingin...dengan kedua tangannya...memeluk Wonwoo, menjadi tumpuan ketika Omega itu membutuhkannya, bermanja-manja padanya saat ia butuh kasih sayang. Ia ingin...melindungi Wonwoo dari apapun yang bisa menyakitinya, memberikan segala yang Omega itu inginkan. Ia ingin...membagi derita Wonwoo berdua dengannya, mengurus rumah, membangun keluarga, anjing besar yang ramah, kucing yang pendiam, dan anak bermata seperti Wonwoo dan bertaring sepertinya...

Ia ingin...hidup bersama Wonwoo sampai akhir dunia nanti...

Ingin, ingin...

“Bukan begitu, Kak. Begini, begini!”

Mingyu mendongak.

“Nih. Diputer keras kayak gini. Biji kopinya biar jadi serbuk halus,” tangan-tangan Alpha muda itu menggengam lengan Wonwoo dari belakang. Dadanya menempel ke punggung sang Omega. “Ayo keluarin tenaganya!” Wajahnya di sebelah wajah Wonwoo, cerah dalam tawa santai.

Terlalu dekat...

Mingyu menggeram. Seketika, atmosfer cafe itu pun berubah. Bukan hanya Alpha muda tersebut, tetapi juga para pengunjung lainnya merasakan perubahan tersebut. Beberapa Omega mulai gelisah di duduknya, sementara Alpha mereka meremas tangan maupun memeluk untuk menenangkan mereka. Beberapa Alpha yang lebih agresif menggeram balik, namun tak berani turut campur karena target utama Alpha itu bukan mereka, melainkan seorang Alpha muda di belakang konter yang sedang bersama seorang Omega.

“Mingyu...?” menyadari ada keganjilan, Wonwoo lalu bertanya. Alisnya berkerut.

Chan, lebih cepat nalarnya dari Wonwoo, serta-merta melepas pegangannya dan menjauh. Kedua telapak tangan terpampang ke sang Alpha, yang segera beranjak dari duduk dan berderap gusar ke arah mereka, sebagai wujud perdamaian. “A-ampun, Mas, sumpah saya nggak ada niat,” ujarnya cepat.

“Chan...?” Wonwoo mengernyit, masih tak paham. Keburu lengannya digamit Mingyu dengan kasar.

“Sakit!”

“Pulang.”

“Mingyu, saya masih kerja—”

Pulang.

Nada perintah itu lagi. Wonwoo benci ketika Mingyu menggunakan nada Alpha padanya atas dasar egoisme semata. Dirudung kesal, ia pun menurut karena memang tak ada pilihan bagi Omega kecuali menuruti perintah Alpha-nya ketika nada itu digunakan. Mingyu, mengabaikan bau masam yang lemah tercium dari Omega-nya yang marah, menariknya keluar paksa dari cafe tersebut.