154.
.....Tidak ada apapun di mejanya pagi itu. Minghao terhenyak. Biasanya, begitu ia sampai, sarapan sudah tersaji cantik di mejanya, terkadang dengan makan siang.
Pagi itu, nihil.
narrative writings of thesunmetmoon
.....Tidak ada apapun di mejanya pagi itu. Minghao terhenyak. Biasanya, begitu ia sampai, sarapan sudah tersaji cantik di mejanya, terkadang dengan makan siang.
Pagi itu, nihil.
”.....”
Panas. Terik menyelekit, membuat Wonwoo diam-diam membuka kancing kedua kemeja putihnya yang longgar. Asisten Mingyu bernama Seokmin itu berbaik hati memakaikan topi dan kacamata hitam pada sang Omega sebelum turun dari mobil tadi, paham bahwa kebanyakan Omega tidak kuat dijemur di bawah mentari siang hari bolong. Apalagi akhir-akhir ini Jakarta panas banget, liek, P-A-N-A-S banget, ngebakar sampai ke kulit, nggak paham lagi, ya Allah...
Terlebih lagi, menilik di mana mereka berada sekarang...
“Selamat pagi jantung hatiku.”
Minghao tidak mengindahkan sapaan itu. Masih terkantuk-kantuk, separuh sadar, ia melipir ke Jun yang sedang memotongi daun bawang. Kepul uap melayang dari periuk tanah liat di atas kompor. Aroma bubur tercium kentara di dapur mereka. Alpha-nya memasak sarapan dengan celemek bergambar kucing gemas.
Nyaman. Hidup bersama Jun...nyaman.
“Mingyu...”
Mingyu memeluk Minghao yang menangis sejadinya dalam pelukan. Alisnya mengernyit penuh penyesalan. Giginya digertakkan.
Perhatian, perhatian. Api telah menjalar dari lantai 5. Api telah menjalar dari lantai 5. Mohon mengikuti instruksi evakuasi dari para petugas lantai dan harap tetap tenang. Bagi tenant di lantai 11 dan 21, harap turun sekarang—
Selamat pagi dan siang sekaligus, Hao. Maaf ya saya buatin makan pagi dan makan siangnya barengan, soalnya siang nanti saya bakal keluar kantor. Mungkin nanti bisa Hao hangatkan makan siangnya di microwave? Semoga Hao suka ya. Maaf sekali lagi > <
“O-oh gitu....”
“Tapi percuma, Kak,” lagi-lagi, Mingyu terkekeh. “Dia ngeliat ke gue juga enggak. Cuma abang gue aja yang dia liat. And somehow, gue jadi kebiasa. Gue pikir, ya sudahlah, kalo gue nggak bisa jadi pacar dia, gue bantu dia jadian sama abang gue aja. Yang penting dia bahagia, Kak.”
Rinai hujan semakin deras di luar.
“Kak...”
Desau napas.
“Don't. Let me tell the story instead.”
Bunyi televisi. Setelah acara berita berlalu, program talkshow entah-apa menyambungnya. Jarum jam di dinding tepat di atas set televisi. Di luar, tetes hujan mulai membentur kaca jendela kamar kost Mingyu.