โAku udah bunuh dia, Won. Kalo aku nggak terlalu tolol, terlalu buta, kalo aku bisa nangkep mereka pacaran...Joshua nggak perlu meninggal...dia nggak perlu meninggal...,โ kerongkongannya terasa kering. โDan Seokmin nggak tau sampai sekarang kalo aku yang bunuh Omega-nya...โ
Wonwoo mendorong piringnya yang telah kosong. Kini ia berjuang menghabiskan segelas besar parfait. Seokmin hanya menontonnya, tertawa kecil ketika mendapati Omega itu begitu serius akan makanannya.
Wonwoo diam-diam berterima kasih karena Seokmin mengajaknya makan di kafe terdekat. Cuaca terlalu panas di tanah segersang kuburan, dan meski ia tak keberatan menemani sang Alpha bernostalgia, Wonwoo juga tidak ingin pingsan terpanggang matahari. Seokmin memesan segelas es teh dengan mint dan sepiring pasta berkrim. Dibiarkannya Wonwoo memilih untuk dirinya sendiri, karena dia bukan Omega-nya Seokmin. Tidak ada hak baginya memilih makanan untuk Wonwoo.
Mingyu dan Seokmin adalah teman sejak kecil. Ayah mereka berteman sejak masih kuliah, sampai mereka sukses, menikah dan memiliki anak. Walau sama-sama Alpha dan pemilik perusahaan besar, industri yang mereka kuasai toh berbeda sehingga tak ada persaingan di antara mereka. Bisa dikatakan, tak ada yang menghalangi hubungan kekerabatan kedua keluarga. Mingyu tumbuh bersama Seokmin, berbagi tawa dan kenakalan bersama.
Sampai datanglah hari itu. Hari dimulainya keretakan hubungan mereka.
Jeonghan menangkup wajah itu. Ia sudah menyerah untuk mencoba menghapus segala jejak basah di pipi Joshua ketika mata yang sama terus saja mengucurkan tangis tanpa tanda-tanda akan berhenti.
Ibu jari seseorang mendadak mengusap lelehan tangis dari sudut matanya. Kaget akan keberadaan orang lain yang telat disadarinya, perlahan, dengan lemah, Joshua pun menoleh.
Ketika matanya membuka, langit-langit gelap lah yang pertama ia lihat. Kepalanya kopong. Tetesan infus dan bunyi bip-bip teratur terdengar. Bau yang asing. Kasur yang asing. Ruangan yang asing.