195.

#minwonabo

Wonwoo diam-diam berterima kasih karena Seokmin mengajaknya makan di kafe terdekat. Cuaca terlalu panas di tanah segersang kuburan, dan meski ia tak keberatan menemani sang Alpha bernostalgia, Wonwoo juga tidak ingin pingsan terpanggang matahari. Seokmin memesan segelas es teh dengan mint dan sepiring pasta berkrim. Dibiarkannya Wonwoo memilih untuk dirinya sendiri, karena dia bukan Omega-nya Seokmin. Tidak ada hak baginya memilih makanan untuk Wonwoo.

Setelah menentukan pilihan yang sulit antara parfait stroberi jumbo dan souffle pancake dengan es krim dan saus mangga (iya, dia pesan dua-duanya), Wonwoo mengaduk limun dingin dengan jeruk yuzu di tangannya, menunggu dengan sabar akan kesiapan Alpha tersebut. Orang yang ingin bercerita akan bercerita, terlepas kau bertanya atau tidak.

Dan benar saja, Seokmin bersandar ke kursi. Satu kaki menumpang di lutut lainnya. Gerak-gerik Alpha itu begitu santai, padahal orang-orang yang melewati mereka mengernyit, sebab Wonwoo bau Alpha lain dan itu bau yang berbeda dari Alpha yang tengah duduk di hadapannya.

“Mau tau lanjutannya?” Seokmin tersenyum.

Wonwoo tidak menjawab apapun selain dengan satu kali anggukan.

“Yah, intinya, Omega Mingyu sama gue tidur bareng di belakang dia,” Wonwoo membeku di tempat. Ini tak luput dari perhatian Seokmin, yang terus saja tersenyum. “Gue mau bilang ke Gyu. Gue mau jujur. Gue sama dia udah temenan lama dan gue yakin kok kalo Mingyu nggak akan semarah itu. Gue rasa sebenernya dia juga tau kalo gue naksir Joshua sejak ketemu dia.”

Pelayan datang membawakan dua piring. Seokmin mengucap terima kasih, lalu melirik piring Wonwoo.

”...Lo makan gituan doang?”

“Ini enak tau!” Wonwoo melotot balik. Alisnya mengerut sebagai tanda protes, sementara garpu ia gigit. Seokmin hanya mengangkat bahu sambil lalu, lalu menyuap pastanya. Setelah beberapa suapan, ia melanjutkan.

“Tapi Joshua nggak mau. Dia nggak mau Mingyu tau. Gue pikir itu percuma, toh pada akhirnya, Mingyu bakal tau juga. Cuma, apa boleh buat. Demi Joshua, gue rela jadi simpenan,” mendengar kelakar sarkastisnya sendiri, Seokmin terkekeh. “Setahun gue sama dia begitu terus. Berkali-kali gue mesti nahan buat nggak gigit dia, klaim dia jadi milik gue, apalagi pas dia heat. Gue pikir, suatu hari, suatu hari semua akan jadi jelas. Gue bisa pegang tangan dia. Bisa cium dan pelok dia. Nggak perlu lagi sembunyi-sembunyi, ketakutan kalo Mingyu tau...”

Wonwoo berhenti menusuk pancakenya. Pandangan jatuh ke tangannya di paha.

“Terus kabar itu keluar. Pertunangan resmi mereka bakal digelar. Tanggal 18 Februari, ulang tahun gue,” Seokmin berdeham. “Emang sialan si Mingyu itu. Sengaja milih tanggal barengan ultah gue buat ngiket Joshua jadi punya dia. Fuck abis emang.” Dilahapnya sesuap pasta.

“Tanggal 17-nya, Joshua diem-diem dateng ke rumah gue. Pagi buta. Dia bawa ransel dan ngajak gue pergi. Yang jauh. Berdua doang. Gue cuma bisa nurut karena gue juga mau begitu. Mau pergi yang jauh. Jauh, dari keluarga gue, keluarga Joshua, dari Mingyu... Jauh, sampe nggak ada lagi yang bisa ngenalin kita berdua. Gue sama dia ngobrol banyak pas kita istirahat. Kita bakal beli rumah di tempat yang jauh itu. Bangun rumah tangga bareng. Gue cium bibir dia sebelum pergi kerja. Bikin keluarga. Anak-anak yang punya mata mirip dia dan senyum mirip gue...”

Seokmin hilang. Dari sorot matanya, Wonwoo menyadari kalau sang Alpha tidak berada di kafe itu bersamanya, melainkan melayang ke suatu waktu di suatu masa, saat semua harapan dan rencana masih terasa mungkin, di pinggir sungai di bawah jembatan itu.

“Dia bilang dia mau main seharian penuh. Minta ke pantai karena dia mau liat laut, padahal cuaca lagi panas-panasnya. Dia nolak pakai topi dan pelindung apapun. Joshua hari itu ceria banget, beda dari Joshua yang gue kenal, lari-larian mirip anak anjing. Dia bilang kalo...dia cinta laut...”

Jeda.

“Dari pantai, kita makan siang di taman. Terus dia nyeret gue ke taman bermain. Sepanjang siang ke sore kita main. Pas banget ujan sore harinya dan, yah, kita keujanan. Gue pikir mendingan nginep, manapun oke lah buat neduh, numpang mandi. Dan well,” Seokmin menggaruk bagian belakang kepalanya. “Boleh dibilang kita nggak tidur sama sekali.”

Omega di depannya menunduk malu. Anehnya, Seokmin tidak memiliki dorongan untuk menyaring kata-katanya agar Wonwoo merasa sedikit nyaman. Dia ingin Wonwoo mendengar seluruh kisahnya.

“Dia beda banget. Kayak, apa ya, lepas. Nggak ada beban. Gue sama dia bercinta semaleman. Joshua nggak kayak Joshua pokoknya. Penuh vigor, semangat hidup...mungkin gue juga kepengaruh sama feromonnya, gue pun knot dia berkali-kali. Kayak...kayak gue tanpa sadar berharap apa yang kita lakuin ini berbuah. Gue mau dia hamil. Dan gue berusaha hamilin dia malam itu. Biar dia, mau nggak mau, jadi milik gue. Karena Alpha kayak Mingyu nggak akan sudi nikah sama Omega yang udah hamil anak dari Alpha lain.”

Mendengar nama Mingyu disebut dalam kalimat itu, Wonwoo menyipitkan mata. Lalu, ia membuang pandangan, meneruskan makannya sambil tetap memasang telinga.

“Paginya, pas gue bangun, dia masih tidur. Gue kira kecapean, gue sempet biarin. Gue mandi. Ke minimart beli sarapan. Gue tunggu sampe agak siang, tapi dia nggak sadar-sadar. Gue berusaha bangunin dan dia diem aja. Gue panik. Gue bawa dia ke rumah sakit paling deket. Rupanya dia emang lemah...

...di jantung.”

Seokmin menangkup gelasnya yang sudah mulai menghangat. Suaranya kian merendah

“Dokter nggak bisa berbuat apa-apa. Penyakitnya jauh lebih serius dan fasilitas, keahlian dokter di rumah sakit itu nggak memadai. Gue perlu pindahin dia, dapet perawatan lebih intensif. Tapi ke mana? Penyakit jantung butuh cek rutin. Joshua pasti punya dokter langganan. Tapi siapa?”

Dihelanya napas. “Gue nggak tau apapun soal dia. Dia nggak pernah cerita. Gue sama Mingyu nggak pernah tau dia punya penyakit itu. Belakangan gue nyadar kalo orangtuanya juga nggak pernah ngasih tau ke pihak keluarga Mingyu, cuma wanti-wanti kalo Joshua nggak boleh kecapean, karena mereka nggak mau pertunangan itu batal. Omega lemah dan penyakitan biasanya nggak diinginkan Alpha, karena nanti keturunannya berpotensi sama lemahnya. Ini satu-satunya kesempatan mereka nikahin anaknya dengan Alpha yang superior kayak keluarga Kim.”

Seokmin mendengus geli.

“I fucking hate our second genders sometimes...“

Piringnya telah tandas, sementara piring Wonwoo masih agak penuh. Ia tak bilang apapun, tidak juga menyuruh Omega itu untuk menghabiskan makanannya. Alih-alih, Seokmin menyeruput sisa minumannya sampai habis. Ia mendesah setelahnya.

“Gue nggak punya pilihan. Gue telepon Mingyu. Nangis-nangis minta dia ke sana. Gue udah nggak bisa mikir. Otak gue konslet. Yang gue pikirin cuma Mingyu. Keluarga Mingyu juga punya rumah sakit yang terkenal lengkap dan profesional. Dia bisa nolong Joshua. Joshua. Yang gue pikirin cuma Joshua.

Pas Gyu dateng, dia nggak bilang apapun. Joshua langsung dia pindahin ke rumah sakit keluarganya. Gue tau dia tau gue sama Joshua abis ngapain, soalnya Joshua bau gue. Tapi dia nggak permasalahin itu. Fokus dia dan gue sama, harus nolong Joshua.”