128.
Pintu kamar terbuka dan keluarlah Kim Mingyu. Kaus hitam pas di badan, celana training hitam, dan handuk bertengger di kepala. Rambutnya kusut masai serta masih basah.
“Udah mesen makanannya, Kak?”
narrative writings of thesunmetmoon
Pintu kamar terbuka dan keluarlah Kim Mingyu. Kaus hitam pas di badan, celana training hitam, dan handuk bertengger di kepala. Rambutnya kusut masai serta masih basah.
“Udah mesen makanannya, Kak?”
“Sori ya, Kak, berantakan.”
Yang mana adalah kebohongan besar. Mungkin ini kost cowok terapi yang pernah Minghao masuki, tentunya selain tempat tinggalnya sendiri. Tak ada yang serapi dirinya.
Wonwoo bermimpi. Di dalam mimpinya, ia bisa melihat dirinya sendiri, mengguratkan jari-jemari hingga kuku-kukunya patah dan mememarkan darah di tembok yang dingin dan kokoh. Mengemis, memukul, mendorong, namun tembok itu bergeming. Di dalam mimpinya, ia menangis dan menangis.
Dan menangis.
“Lama.”
Soonyoung nyengir. Dia menyelip duduk di samping Jihoon yang tengah menyantap steak untuk makan malam, tentunya dengan dua mangkuk nasi sebagai pengganti kentang. Diremasnya tangan Jihoon di atas meja sebagai gestur memohon ampun.
Soto yang dia minta enak banget. Makan soto memang seharusnya pakai kondimen yang disesuaikan selera. Minghao bersyukur ada beberapa potong jeruk nipis, cabai, sedikit kecap, sedikit garam, irisan daun bawang dan bawang goreng disediakan.
“Mmh...”
“Nih, Kak.”
Boneka kodok itu ditaruh di atas mejanya. Minghao mengerjap, terpaku di duduknya. Bola mata hitamnya berkilauan saat menatap tak lepas dari mata boneka itu. Pipinya merona. Beberapa detik berlalu damai seperti itu saja.
Siapa?
Satu kata, berputar dalam benaknya. Seharusnya dia yang melihat pengirim post-it di tangannya itu, bukan Seokmin. Bukankah dia lebih berhak untuk tahu? Siapa—