Sepanjang ingatan Wonwoo, semenjak anaknya dinyatakan sebagai Omega sampai ia masuk ke liang kubur, ibunya selalu ketakutan. Wonwoo tidak paham apa yang ibunya itu takutkan. Dia tidak pernah dibiarkan keluar rumah barang sejengkal langkah pun, kecuali pergi bersama mereka.
Terlahir sebagai anak tunggal dari generasi milyuner bisa menjadi beban tersendiri, apalagi terlahir sebagai Omega. Andaikata ia terlahir sebagai Alpha, mungkin segala hal akan jauh lebih mudah. Ayahnya akan dengan bangga memparadekan putra Alpha-nya ke rekan bisnis dan para pegawainya, mengenalkan mereka pada calon penerus segala kekayaan turun-temurun itu. Ibunya akan sedikit merepotkan dengan mencarikan Omega yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya, namun selain masalah kecil itu, hidupnya akan bebas.
Dia sama syoknya dengan sang Omega. Setelah mengucap namanya, mendadak tenggorokan Jun terasa kering. Lidahnya pun kelu. Dia hanya bisa berdiri di depan pintu, terdiam memandangi wajah yang selama ini hanya muncul dalam kenangan.
“Mingyu? Kenapa ke sini? Bang Hani sama Bang Cheol di belakang kan, di luar?”
“Hmm,” Alpha-nya tidak menjawab apapun, membuat Wonwoo mengerutkan kening. Meski begitu, ia patuh pada ajakan Mingyu, tahu bahwa tak ada bahaya mengancamnya di depan. Bahaya paling dekat hanyalah kemungkinan ia dan Mingyu terlambat mengikuti upacara pernikahan dan Jeonghan marah pada mereka. Hanya sebatas itu.
Ketika Seungcheol keluar dari kamar mandi, dilihatnya Jeonghan sedang mondar-mandir di ruang tengah kamar hotel mereka yang amat mewah. Entah Mingyu itu boros kuadrat atau cinta setengah mati sama kakak-bukan-kandungnya, sampai-sampai ia membooking kamar hotel president suite untuk kedua calon mempelai selama di Bali. Lebih gilanya lagi, untuk besok malam hingga seminggu ke depan, Alpha itu menyewa honeymoon bungalow lengkap dengan pantai privat yang sangat indah (dan sangat mahal tentunya) juga mobil sport merah dengan dua tempat duduk.
Setelah mandi dan berganti baju, kini mereka berdua berbaring di kasur Mingyu. Lampu tetap dipadamkan. Hanya pias lampu dari jalanan menjadi satu-satunya sumber penerangan di kamar tersebut.
Dengan tubuh menghadap samping, mereka saling bertatapan. Hanya menatap. Lama.
Ketika Jihoon membawa Minghao kembali, Mingyu segera mendekapnya. Dia menangkap mata Minghao yang sembab dan ujung hidung yang memerah dalam sekali tatap dan dia langsung paham.
Menyusuri arah lari Minghao tadi, Jihoon menemukan dua pilihan. Belok ke kanan, maka akan sampai ke pintu depan. Belok ke kiri, maka akan sampai ke area outdoor yang tidak dipakai untuk pesta, karenanya area itu gelap dan sepi. Tanpa berpikir, ia berbelok ke kiri.