309.
“Wonu...?”
Dia sama syoknya dengan sang Omega. Setelah mengucap namanya, mendadak tenggorokan Jun terasa kering. Lidahnya pun kelu. Dia hanya bisa berdiri di depan pintu, terdiam memandangi wajah yang selama ini hanya muncul dalam kenangan.
narrative writings of thesunmetmoon
“Wonu...?”
Dia sama syoknya dengan sang Omega. Setelah mengucap namanya, mendadak tenggorokan Jun terasa kering. Lidahnya pun kelu. Dia hanya bisa berdiri di depan pintu, terdiam memandangi wajah yang selama ini hanya muncul dalam kenangan.
“Mingyu? Kenapa ke sini? Bang Hani sama Bang Cheol di belakang kan, di luar?”
“Hmm,” Alpha-nya tidak menjawab apapun, membuat Wonwoo mengerutkan kening. Meski begitu, ia patuh pada ajakan Mingyu, tahu bahwa tak ada bahaya mengancamnya di depan. Bahaya paling dekat hanyalah kemungkinan ia dan Mingyu terlambat mengikuti upacara pernikahan dan Jeonghan marah pada mereka. Hanya sebatas itu.
Minghao mengernyitkan alis. Setelah mengirim renceng tanda tanya ke grup wiskul, meminta Jeonghan menjelaskan maksudnya, mendadak dunianya gelap.
“Guess who?”
Ketika Seungcheol keluar dari kamar mandi, dilihatnya Jeonghan sedang mondar-mandir di ruang tengah kamar hotel mereka yang amat mewah. Entah Mingyu itu boros kuadrat atau cinta setengah mati sama kakak-bukan-kandungnya, sampai-sampai ia membooking kamar hotel president suite untuk kedua calon mempelai selama di Bali. Lebih gilanya lagi, untuk besok malam hingga seminggu ke depan, Alpha itu menyewa honeymoon bungalow lengkap dengan pantai privat yang sangat indah (dan sangat mahal tentunya) juga mobil sport merah dengan dua tempat duduk.
Setelah mandi dan berganti baju, kini mereka berdua berbaring di kasur Mingyu. Lampu tetap dipadamkan. Hanya pias lampu dari jalanan menjadi satu-satunya sumber penerangan di kamar tersebut.
Dengan tubuh menghadap samping, mereka saling bertatapan. Hanya menatap. Lama.
Ketika Jihoon membawa Minghao kembali, Mingyu segera mendekapnya. Dia menangkap mata Minghao yang sembab dan ujung hidung yang memerah dalam sekali tatap dan dia langsung paham.
Jihoon menghapus air mata Minghao dengan kedua ibu jarinya. Sebulir berlinang, dihapus, lalu sebulir lagi.
“Do you love him?”
Menyusuri arah lari Minghao tadi, Jihoon menemukan dua pilihan. Belok ke kanan, maka akan sampai ke pintu depan. Belok ke kiri, maka akan sampai ke area outdoor yang tidak dipakai untuk pesta, karenanya area itu gelap dan sepi. Tanpa berpikir, ia berbelok ke kiri.
Tatapnya masihlah nanar karena kepala penuh informasi baru yang belum bisa ia cerna dengan benar. Mingyu, menangkap ribuan tanda tanya berputar di dalam kepala kekasihnya itu, terkekeh, lalu mengecup bibirnya lagi, mencoba menenangkan Minghao sebelum menjelaskan lebih lanjut.
”....Gyu?”
Suara itu membuat Mingyu menoleh dan, bagai pancaran matahari, seluruh gesturnya melonjak penuh semangat.