Soonyoung merengut. “Tapi kan enak...,” protesnya.
“Tiga puluh rebu perak buat roti, dikit daging sama sayuran. Buang-buang duit aja,” Jeon Wonwoo berdecak. Ia berkata seolah ia tidak menghabiskan Spicy Bulgogi Toastnya dalam beberapa menit.
Wonwoo duduk di satu sisi. Soonyoung duduk di satu sisi. Di tengah-tengah mereka, ada meja persegi. Meja itu berisikan satu roti panggang (Crispy Chicken Mentai, katanya) dalam tempat karton dan satu cup plastik isi minuman (susu dan...entahlah, warnanya hijau). Selain itu, ada sekantung besar plastik dengan banyak boks putih bertuliskan merk dagang mereka. Plastik yang buru-buru disingkirkan Soonyoung ke kursi lain ketika Wonwoo datang dengan mata menyipit curiga.
Gusar, Jihoon melempar headphonenya. Ditendangnya pintu kamar, berderap marah menuruni tangga menuju pintu depan. Untunglah rumah barunya cukup kecil untuk ditinggali seorang diri sehingga ia tak butuh lima menit untuk menyusurinya.
Seokmin tersenyum, mengecup nisan itu meski matahari sedang terik-teriknya dan membuat segala batu bagai terpanggang. Ia duduk di depan makam Joshua seperti biasa. Ditaruhnya buket bunga segar setelah ia menyiangi rerumputan hama yang tumbuh di makam seiring berjalannya waktu. Sudah dua minggu ia lalai menjenguk Omega-nya akibat kesibukan duniawi dan ia berusaha menebusnya dengan memastikan makam kekasihnya kembali rapi dan bersih.
Bagaimanapun, Joshua lebih suka bila semua tertata apik.
Ia terbangun duluan dan menatap sebentuk wajah, sembab oleh tangis, di sebelahnya. Di luar, kicau burung terdengar. Terlalu ceria baginya. Mentari pagi pun terlalu terang untuk suasana hatinya saat ini.
Lee Jihoon memandang wajah kekasihnya yang masih tidur dalam keheningan. Memperhatikan dengan seksama bagaimana dada Beta itu naik-turun secara teratur. Bagaimana ia menyusut hidung. Bagaimana kantung matanya membesar karena kebanyakan menangis semalam. Bagaimana di pipi kekasihnya masih nampak jejak air mata.
Wonwoo, mendengar suara datangnya mobil, langsung berlari menuruni tangga, khawatir kalau-kalau Mingyu terlalu payah untuk berjalan memasuki rumah. Ternyata kecemasannya terbukti berlebihan. Sebab, begitu pintu depan ia buka, Mingyu menangkup wajahnya dan mencium bibirnya dengan ganas.
Bisa dikatakan Rut Mingyu datang dengan tenang, meski terlalu tiba-tiba.
Memang, ia sudah mulai risih sejak pagi tadi. Kerahnya terasa mencekik. Kemejanya gatal di kulit. Sebagaimana serigala di dalamnya meraung protes, ia harus menahan diri untuk tidak merobek bajunya dan berlari kencang mencari tempat sepi, mencakar dan mengamuk di sana.
Dengus geli, meski tidak pada tempatnya, pun keluar dari sang Alpha. “Rupanya yang posesif bukan cuma aku ya?” ringisnya. Dia pun menitikkan air mata dari pelupuknya seperti sang Omega. “Wonu....dengerin aku dulu, Sayang?”
Diusapnya tangis di pipi Wonwoo. Dikecupnya bibir merah itu satu kali sebelum ia memulai ucapannya.