”...Bayi kita...saya membunuhnya. Gara-gara saya. Gara-gara saya...,” ia terisak.
“Won, Wonnie...,” Jun mengecup ubun-ubunnya. Lalu sisi keningnya. Bau peppermint sang Alpha dikeluarkan, namun masih tak mampu mengimbangi bau Mingyu yang melekat lebih kuat di sekujur tubuh sang Omega. Meskipun begitu, bau nostalgis sang Alpha agak membuatnya lebih tenang. Omega di dalam tubuhnya kenal bau itu. Familier.
Satu hari menjadi dua. Dua menjadi tiga. Empat, lima, enam hari. Seminggu.
Dua minggu.
Dua minggu Alpha itu tidak menyelinap lagi melalui jendela kamarnya. Wonwoo mulai cemas, pun ketakutan. Ia mengkhawatirkan keadaan Alpha-nya. Apakah ada hal buruk terjadi pada Junhui? Apakah orangtua Junhui mengetahui persoalan ini dan mengurungnya? Apakah orangtuanya tahu mengenai Junhui dan menyingkirkannya?
Begitu ia melompat ke balkon, Wonwoo sudah melemparkan dirinya ke pelukan Junhui. Sang Alpha tertawa, dengan bahagia memeluknya balik. Ia mendesah puas. Omega yang ia sayangi nyaman di dalam pelukannya.
Ibunya mengetuk pintu kamar mandi, lalu masuk. Parasnya agak panik saat menemukan anak lelakinya muntah-muntah di kloset. Dielusi punggungnya perlahan sampai habis isi perut Wonwoo, tak ada lagi yang bisa dikeluarkan. Menarik napas dengan susah payah, Wonwoo menyeka sisi dagunya.
Entah kapan tepatnya Wonwoo merasakan desir aneh itu.
Mungkin ketika ulang tahunnya yang ke-17 tinggal menghitung hari. Ketika mereka mulai menanggalkan segala keburukan rupa masa puber. Ketika lemak bayi berkurang dan Junhui berubah dari anak lelaki menjadi seorang lelaki.
Wonwoo baru selesai sarapan dan sedang mempersiapkan pelajaran paginya sebelum guru privat datang saat ia mendengar percakapan kepala pelayan dengan tukang kebun.
“Kenapa?” ia menelengkan kepala, mendekati mereka.
Sepanjang ingatan Wonwoo, semenjak anaknya dinyatakan sebagai Omega sampai ia masuk ke liang kubur, ibunya selalu ketakutan. Wonwoo tidak paham apa yang ibunya itu takutkan. Dia tidak pernah dibiarkan keluar rumah barang sejengkal langkah pun, kecuali pergi bersama mereka.
Terlahir sebagai anak tunggal dari generasi milyuner bisa menjadi beban tersendiri, apalagi terlahir sebagai Omega. Andaikata ia terlahir sebagai Alpha, mungkin segala hal akan jauh lebih mudah. Ayahnya akan dengan bangga memparadekan putra Alpha-nya ke rekan bisnis dan para pegawainya, mengenalkan mereka pada calon penerus segala kekayaan turun-temurun itu. Ibunya akan sedikit merepotkan dengan mencarikan Omega yang pantas untuk menjadi pendamping hidupnya, namun selain masalah kecil itu, hidupnya akan bebas.