Jun menunggu respon Wonwoo. Jihoon, juga, diam, tak berkata apa-apa. Seperti terbalik, keadaan saat ini, sekarang Wonwoo yang memegang bola. Penerimaannya yang dinanti mereka. Ia bisa menjadikan ini awkward atau menjadikan ini kelegaan.
Which, we all know the one he's gonna choose, anyway.
Wonwoo menguap sampai matanya berair, lalu ia seka agar kembali kering. Seharusnya ia tau lebih baik daripada mulai membaca buku baru (yang, sialnya, seru) di jam 10 malam. Kalau bukan karena ia memaksakan diri untuk tidur saat jam di dinding bilang sudah pukul 1 pagi, mungkin Wonwoo bakal terlambat ke sekolah untuk pertama kalinya, memecahkan rekor sempurnanya selama setengah tahun.
“Nguap mulu lo,” Jun, sambil ketawa, menepuk buku notes perlahan ke belakang kepalanya.
Pipi Wonwoo sedikit memerah. Baru saja vidcall ngerjain pr bareng-barengnya selesai. Vidcall yang seancur biasanya kalau mereka berempat sudah berkumpul. Grup gesrek, tapi, yah, menyenangkan.
“Mana Abang?”
“Kamar,” Mingyu menguap. Dengan santai, ia duduk di sebelah Wonwoo di sofa ruang keluarga.
Hari pertama di sekolah baru, kelas baru, tingkat baru—
—dan Jeon Wonwoo menaikkan kacamatanya, memperhatikan omongan wali kelasnya dengan saksama. Tidak tertarik untuk membuka dirinya agar terasa lebih ramah. Tidak tertarik untuk beramah-tamah, malah. Anak yang mulai menjulang tinggi semenjak pubertas SMP terlewati itu memilih untuk diam seribu bahasa. Sebagian karena baru hari pertamanya di SMA, masih banyak kesempatan untuk mulai mencari teman.
(Pada akhirnya, Wonwoo akan membutuhkan teman, minimal untuk mengerjakan tugas kelompok bersama-sama).
Di atas kepala mereka, bulan purnama seakan berbinar-binar. Langit cerah tanpa arakan awan membuat bumi langsung benderang. Bayangan Wonwoo dan Seungcheol yang sedang duduk bersisian di ayunan di taman depan blok perumahan mereka berwarna hitam pekat meski dunia sudahlah gelap. Seungcheol mengayun pelan sesekali, sementara Wonwoo diam saja, menjulurkan kakinya yang panjang.
Seungcheol ada di dalam kamarnya. Pas Wonwoo sampai rumah (dan membawa kecap titipan ibu mereka), abangnya itu membuka pintu dan mengajak Wonwoo masuk. Wonwoo ragu-ragu karena ia tidak ingin mengganggu Seungcheol dengan siapapun yang ada di dalam kamarnya saat itu. Ia bahkan tidak mau mengetahui siapa. Mungkin Soyoung yang namanya sesekali keluar di pembicaraan antara Seungcheol dengan Joshua dulu, sebelum ia berangkat ke Amerika setahun lalu. Mungkin gadis lain. Entahlah.
Tapi, ah, Wonwoo masihlah bocah kelas 3 SMP yang lemah akan sorotan mata memelas abangnya. Seungcheol terlalu jago dalam memanfaatkan kelebihannya itu.
Wonwoo menunjuk ke kedua lengan Joshua yang membuka lebar. Persis ketika ia menapak naik ke lantai dua, dimana kamarnya dan kamar Seungcheol berada, Joshua sudah berdiri di ujung tangga, memblokir jalan Wonwoo.
Lamunan Wonwoo buyar oleh keluhan Joshua dan suara tawa Seungcheol. Anak itu diam-diam menggelengkan kepala, membuang memori yang tanpa dinyana mengambil alih isi kepalanya.
Ada sebab kenapa Wonwoo kini menghindar dari abangnya dan sahabat abangnya itu.
Pertama Seungcheol membawa Joshua pulang ke rumah adalah ketika Wonwoo duduk di kelas 3 SD. Melihat orang asing di meja makan keluarganya membuat Wonwoo diam seribu bahasa. Menutup, bagai tumbuhan putri malu. Bahkan saat ibunya menyuruhnya berkenalan dengan Joshua, anak itu diam seribu bahasa. Hari pertama mereka bertemu, Wonwoo hanya mencuri pandang persis tiga detik sebelum mata Joshua menangkap pandangannya. Anak itu refleks menunduk dan lanjut makan.