“Tapi percuma, Kak,” lagi-lagi, Mingyu terkekeh. “Dia ngeliat ke gue juga enggak. Cuma abang gue aja yang dia liat. And somehow, gue jadi kebiasa. Gue pikir, ya sudahlah, kalo gue nggak bisa jadi pacar dia, gue bantu dia jadian sama abang gue aja. Yang penting dia bahagia, Kak.”
Bunyi televisi. Setelah acara berita berlalu, program talkshow entah-apa menyambungnya. Jarum jam di dinding tepat di atas set televisi. Di luar, tetes hujan mulai membentur kaca jendela kamar kost Mingyu.
Pintu kamar terbuka dan keluarlah Kim Mingyu. Kaus hitam pas di badan, celana training hitam, dan handuk bertengger di kepala. Rambutnya kusut masai serta masih basah.
Yang mana adalah kebohongan besar. Mungkin ini kost cowok terapi yang pernah Minghao masuki, tentunya selain tempat tinggalnya sendiri. Tak ada yang serapi dirinya.
Soto yang dia minta enak banget. Makan soto memang seharusnya pakai kondimen yang disesuaikan selera. Minghao bersyukur ada beberapa potong jeruk nipis, cabai, sedikit kecap, sedikit garam, irisan daun bawang dan bawang goreng disediakan.
Boneka kodok itu ditaruh di atas mejanya. Minghao mengerjap, terpaku di duduknya. Bola mata hitamnya berkilauan saat menatap tak lepas dari mata boneka itu. Pipinya merona. Beberapa detik berlalu damai seperti itu saja.
Satu kata, berputar dalam benaknya. Seharusnya dia yang melihat pengirim post-it di tangannya itu, bukan Seokmin. Bukankah dia lebih berhak untuk tahu? Siapa—
Kali ini sebuah mangkuk kertas dan sebuah sendok plastik yang ia temukan di atas meja. Sudah tak asing lagi, Minghao duduk dan membuka tutupnya. Kepul uap dan aroma sedap langsung menguar.