131.
“O-oh gitu....”
“Tapi percuma, Kak,” lagi-lagi, Mingyu terkekeh. “Dia ngeliat ke gue juga enggak. Cuma abang gue aja yang dia liat. And somehow, gue jadi kebiasa. Gue pikir, ya sudahlah, kalo gue nggak bisa jadi pacar dia, gue bantu dia jadian sama abang gue aja. Yang penting dia bahagia, Kak.”
Minghao menggigit bibir bawahnya. Mulutnya membuka, menutup, untuk beberapa detik, sebelum membuka lagi.
“Kata lo, abang lo mau nikah..”
“Oh. Iya,” tawanya. Belakang leher Mingyu bersandar di tepi sandaran sofa, masih menatap langit-langit. “Suatu hari, nggak ada angin, nggak ada ujan, abang gue ngenalin calonnya ke keluarga gue. Pas banget Josh lagi nginep di rumah.
....dia nangis, Kak, semaleman, di pelokan gue.”
Mingyu mengangkat tangan, memperhatikan telapaknya di bawah sinaran lampu. Dia masih ingat bagaimana kecil dan rapuhnya punggung Joshua di dalam pelukannya.
“Gue pengen ngelindungin dia, Kak. Gue pengen dia nggak nangis lagi, pengen bikin dia senyum terus. Gue pengen bahagiain dia.”
“Y-ya, lo rebut aja, kan udah nggak ada saingan lagi...?”
Mingyu tersenyum miris.
“I told you kan, Kak? Percuma. Sekeras apapun gue mau ngasih dia hati gue, dia nggak mau. Dia nggak butuh hati gue. Terakhir...terakhir gue tidur sama dia, itu pas gue udah kenal sama lo, Kak, dan buat terakhir kali gue tanya ke dia, mau nggak dia nikah sama gue.”
Minghao meneguk ludah.
“Terus...?”
“Ya lo liat aja, Kak, dia sekarang ada di sini, nggak?” Mingyu tertawa. Tawa yang hampa, malah menggurat hati yang mendengarnya. Tawa yang kemudian hilang menjadi sebuah degukan kencang.
Minghao menoleh dan melihat Mingyu sudah menutup lagi mukanya dengan kedua tangan. Punggungnya merebah agak turun, sehingga, dalam keadaan duduk, Minghao sedikit lebih tinggi dari kepalanya.
”...Fuck,” decak Mingyu.
Tatapnya tidak teralihkan dari Mingyu.
”...Sori, Kak, gue nggak maksud kasar kayak gitu barusan...it's okay kalo lo jijik sama gue sekarang, I mean who the fuck in their right mind to sleep with—”
“Gyu.”
Kalimatnya terputus, ketika ia merasakan tangan Minghao mengelus kepalanya.
“Gyu...”
Lembut. Elusannya. Suara yang memanggil namanya.
“Gue nggak akan jijik sama lo. Please stop saying that...”
Perlahan, tangan Mingyu meninggalkan mukanya. Rupanya dia tidak menangis, meski bola mata hitamnya berkaca-kaca dan ada secercah rasa berdosa di sana. Kini, ia balas menatap Minghao.
Tangan Minghao sendiri tidak berhenti mengelusi kepala Mingyu, menyusuri rambutnya yang halus.
”.......,” Minghao menutup mulut, berpikir, lalu membukanya lagi. “Thank you for telling me...”
Deg.
Mingyu pun memejamkan mata. Ketika tangan Minghao mengelus keningnya, turun ke kelopak mata, ia menduselnya. Dengan sengaja, Mingyu semakin menyenderkan wajahnya ke telapak tangan Minghao. Ekspresinya nampak nyaman, agak merona, seolah apapun yang membebaninya sebelumnya seketika lenyap tak berbekas.
Deg.
Saat Minghao menyentuh pipinya, Mingyu menahan tangan itu tetap di sana dengan tangannya sendiri. Dua pasang mata terkunci. Dua wajah yang terlalu dekat.
“Hao...”
Deg!
__
TLILILILILILILILILILILILILILITT—
“Halo! Eh, i-iya, Pak, sori bentar ya, Pak. Bapak di lobi?” Mingyu mengambil dompet dari atas meja. Hampir melompat, ia, dari sofa lalu buru-buru ke luar kamar. “Masuk ke lobi aja, Pak, kan ujan?! Bentar, saya lagi turun, Pak—”
Meninggalkan Minghao merosot perlahan dari sofa ke lantai. Seluruh wajahnya merah padam dan jantungnya berdebar tak karuan.
Apa itu tadi....?
Bukan ini. Bukan ini yang ia harapkan akan terjadi di antara mereka.
(“Ya udah, di kostan lo aja.”)
(“Kakak...serius?”)
”...Jadi ini maksudnya,” Minghao merenggut poninya, penuh frustasi. Ia melempar kepalanya ke belakang hingga bersandar ke ujung sofa. “.....fuck you, Kim Mingyu....”
Fuck.
Tolol lo emang nggak ada obat, Hao...