239.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sambut seorang wanita berparas ramah di teras depan, membukakan pintu untuknya. Ketika wanita itu tersenyum, Wonwoo langsung tahu ia tengah berhadapan sama siapa. “Ini Wonwoo Wonwoo itu ya?”
narrative writings of thesunmetmoon
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” sambut seorang wanita berparas ramah di teras depan, membukakan pintu untuknya. Ketika wanita itu tersenyum, Wonwoo langsung tahu ia tengah berhadapan sama siapa. “Ini Wonwoo Wonwoo itu ya?”
“Selamat sore, Om, Tante.”
Mendengar sapaan Mingyu, Wonwoo berdiam diri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku jaketnya. Dia berdiri di belakang sang Alpha yang membawa dua buket bunga, masih bingung kenapa Mingyu mendadak menanyakan tempat ini di perjalanan pulang dari rumah sakit tadi. Karena memang searah jalan pulang, jadi, yah, apa boleh buat, dia pun menunjukkannya.
“Ma...”
Wanita itu menoleh, lalu tersenyum ceria saat melihat siapa yang datang. “Mingyu!” serunya. Di ruangan besar berwarna krem dan putih itu, jendela dibuka lebar. Tirai menari-menari ditiup angin siang hari. Persis di sebelah jendela kamar ibunya, ditanam bebungaan cantik beraneka warna di perkarangan rumah sakit. Sengaja, atas perintah Mingyu.
Sekerjap mata, Joshua diseret ke arah panggung. Jeonghan mengetuk microphone, menyita fokus semua keluarga dan kerabatnya di sana.
Sorak sorai ceria. Ledakan kembang api yang begitu banyak mewarnai langit malam. Terompet berkumandang dari segala arah.
“Wiken kemarin...aku tidur sama Mingyu...”
“Won...”
Mereka berbaring bersama. Wonwoo di dalam pelukan Mingyu. Satu lengan sang Alpha melingkari perutnya, lengan yang lain menyusup di bawah bantalnya. Dada Mingyu di punggung Wonwoo dan bibirnya menciumi tengkuk. Bisikannya terasa hangat.
“Besok ketemu ibuku, mau?”
Joshua memandang langit malam. Tangan masih di tuts, meski lagu telah usai. Ia berusaha menetralkan emosi yang membuncah dalam dada. Tidak. Anak itu tidak menangis. Hanya dada naik turun, mengambil napas dalam-dalam.
Senyap.
“Mungkin ada rikues dari audience, nih? Ato dari Tante?” senyum Joshua merekah. Geliginya terpampang sempurna. “Nyanyi juga boleh lho, Tan. Mungkin bosen denger suara saya aja dari tadi.”