248.
Mingyu tidak tahu kenapa Minghao ingin bertemu dengannya setelah kejadian itu. Dia pikir dirinya akan diamuki, dihajar atau perlakuan setimpal lainnya. Dia tahu dia salah, tapi dia tahu, jauh di dalam hati, dia juga tidak menyesalinya.
Dia ingin mencium Minghao. Bahkan jauh sebelum lelaki itu menceritakan kejadian dengan Seokmin.
Jauh, sebelum tangannya menggamit tangan Minghao di bioskop...
Mungkin sejak itu...
“Halo, kenalin, Kak, nama saya Kim Mingyu!” ringisan lebar.
Lelaki yang duduk di sebelahnya memandangnya seolah ia kotoran di ujung sepatu, mengangguk satu kali, lalu membuang muka.
Sejak hari pertama itu, Xu Minghao sudah menggelitik keingintahuannya. Senior galak yang seumuran dengannya. Mukanya jutek. Pelit senyum. Kebalikan 180 derajat dengannya.
Awalnya, ia hanya ingin menjahili. Lelaki seperti Minghao pasti belum pernah jatuh cinta. Belum pernah dijadikan target PDKT. Di balik topeng galaknya, Mingyu yakin dia akan mudah jatuh ke dalam pelukannya. Tentu, ia akan menolaknya jika itu terjadi. Hanya untuk senang-senang di kantor baru, tidak lebih.
Sampai topengnya dirobek tanpa ampun di depan mukanya.
Seseorang yang bisa melihat langsung ke balik senyuman manisnya.
Ia ingin mengenal orang itu.
Orang yang kini duduk tenang, agak kopong, di depannya. Mingyu sekali-sekali mencuri pandang, menanti Minghao membuka percakapan. Dirasa terlalu lama, ia hendak membuyarkan keheningan, namun tepat saat itulah, lelaki itu bergerak.
Ia mengeluarkan handphone dan ditaruhnya di atas meja.
“Buka.”
Perintah Minghao. Mingyu kini menatap bolak-balik antara handphone dan Minghao. Masih tak ada senyum di wajah kuyu itu.
“Buka dan tonton videonya.”
Walau agak ragu-ragu, Mingyu menurut. Disentuhnya layar dan memencet tombol play. Tidak ada suara selain dari video tersebut, yang ditonton Mingyu tanpa praduga apapun.
. . .
Perlahan, tapi pasti, air muka Mingyu berubah. Berkerut jelek. Tidak enak. Matanya membelalak penuh kengerian. Keringat dingin dan telapaknya mulai basah. Giginya menggertak kuat-kuat. Ia mengepalkan tangan hingga buku-bukunya memutih.
BRAKK!!
Dan, di satu momen, tak tahan lagi, Mingyu menelungkupkan handphone tersebut. Mematikan suara-suara memuakkan. Ia membekap mulutnya, menahan mual yang amat sangat.
“Kenapa?” Minghao berkata tenang, membuat Mingyu mengangkat dagu, memandangnya tak percaya. “Tonton aja sampe abis.”
“Are you fucking kidding me?!” Mingyu tidak ingin membentak, tapi perintah Minghao bagai lelucon tak lucu saat ini.
“Tonton.”
“Nggak.”
Mingyu menggeleng, pelan, kemudian menguat. Dia melirik jijik pada bagian belakang handphone tersebut. Minghao menekannya terus, sampai satu momen, Minghao berdiri dan menarik kerahnya, membentaknya tidak kalah keras kepala.
“CEPET TONTON!”
“NGGAK!” Mingyu memejamkan mata kuat-kuat. Berharap tidak pernah mengetahui keberadaan video laknat itu.
“THAT WAS—
HOW CAN YOU TELL ME TO WATCH THAT, HAO??
THAT WAS A VIDEO OF YOU.
BEING RAPED!“