Part 98

#gyushuaabo

Sepanjang perjalanan dalam kereta kuda, gelagat sang Alpha semakin aneh. Biasanya mereka bercengkerama akan banyak hal. Separuh benar, karena Joshua tetaplah Joshua—bercerita akan si kembar dan kejadian lucu saat Mingyu keluar dari kamar. Mingyu biasanya menanggapinya, mengubah percakapan menjadi dua arah seperti seharusnya, namun kali ini, sang Alpha bungkam total.

“Eng...Mingyu, ada apaan sih?”

“Hmm?”

“Kamu dari tadi diem aja,” si anak manyun. “Aku doang yang cerita.”

“Teruskanlah,” senyuman sang Alpha merebak, membuat jantung si anak makin cepat berdetak. “Saya senang mendengarkan suara Anda...”

“Jadi kamu nggak dengerin ceritaku ya?? Cuma dengerin suaraku aja??” 😡

Sang Alpha lalu tertawa. Joshua, meski sebal, diam-diam menarik sedikit ujung bibirnya hingga membentuk senyuman simpul. Senang, karena telah berhasil membuat Alphanya ceria walau sedikit saja.

Kereta kuda pun akhirnya berhenti di depan kediaman keluarga Hong. Mingyu mengantar Joshua hingga ke depan pintu. Langit masih senja kala itu. Mereka tidak menghabiskan banyak waktu di istana kali ini. Bunyi kunci pintu dibuka kemudian terdengar.

“Ayo mampir dulu.”

“Maaf, tapi saya rasa saya lebih baik pulang,” tolaknya halus.

“Oh...,” Omeganya bahkan tidak menyembunyikan fakta bahwa dirinya kecewa. Alpha di dalam Mingyu hampir mendengking, tidak tenang melihat Omeganya begitu. “Emm, kalo gitu, kalo ke istana lagi, ajak aku ya? Aku mau main lagi sama—”

“Maaf, tapi lebih baik tidak.”

Ucapannya dipotong. Joshua, jika boleh jujur, sangat kaget. Mingyu belum pernah memotong ucapannya setegas itu.

“Untuk sementara ini, saya tidak akan kembali ke istana dulu. Anda juga lebih baik begitu. Hiduplah sebagaimana seharusnya kita berdua. Rakyat biasa.”

...Aneh, batin si anak. Aneh banget, sumpah. Kakaknya bilang apa sih ke Mingyu?? Jeonghan juga. Semuanya aneh.

Joshua diam. Mingyu juga diam. Setelah lama bertatapan, sang Omega pun bertanya,

“Aku nggak boleh tau kenapa?”

”...Maafkan saya,” sang Alpha menarik ujung topinya. Gestur berpamitan. “Saya tidak bisa mengatakan apapun, namun kebaikan Anda dan saya lah yang ada dalam setiap tindakan saya.”

Joshua rasanya ingin mendengus. Alih-alih, Omega itu menghela napas.

“Baiklah. Kalau begitu, saya permisi dulu—”

“Hmm.” 😙

Anak itu pun mendongakkan wajah. Matanya terpejam dan bibirnya monyong.

...

“K-kenapa Anda memajukan bibir begitu...?” 🤨

“Lho? Kamu mau pamit pergi kan?” 😗

“Betul...?” 🤨

“Ya udah,” dimonyongkannya lagi bibirnya 😙 “Cium.”

...........

“J-Joshua— Ap—” kalang kabut, sang Alpha. Debar jantung dan kulit merah merona.

“Ih, cepet,” protesnya 😗

Melihat bibir ranum itu, tentu siapa yang tak tergoda. Namun, mereka tidak sendirian di sana. Rumah keluarga Hong menempel menjadi satu dengan rumah-rumah lainnya, secara langsung bersisian tembok dengan tetangganya. Mereka membentuk rumah deret yang merupakan bentuk lazim perumahan kota. Saking dekatnya, bisa saja saat ini ada yang mengintip mereka di balik tirai jendela. Belum lagi kusir kereta kuda yang menunggu dirinya...

”........,” Mingyu menunduk, menahan malu. “...Maaf. Terlalu banyak orang. Tidak pantas bagi saya untuk—”

Sebuah tarikan di tangan. Sang Alpha mengedip satu kali dan, tetau, mereka sudah melewati pintu. Berdiri di ambang dengan berkas cahaya dari celah pintu yang tidak menutup sempurna. Joshua mengalungkan lengannya ke leher Alphanya dan melekatkan bibir mereka.

“Joshua, tu—mmh.”

Ciuman lagi. Mingyu sempat memejamkan mata, sama seperti Omeganya, dan mata keduanya baru membuka lagi ketika ciuman itu terlepas.

“Udah enakan?”

”...Apa maksud Anda?”

“Kamu keliatan aneh banget,” sang Omega mengernyit ketika Mingyu menempelkan ujung hidung mereka. “Kayak ada yang kamu pikirin.”

”...Maaf.”

“Nggak apa. Kalo kamu bisa ceritain ke aku, kamu pasti udah cerita,” Omeganya meringis. “Tapi aku jadi cemas liat kamu kayak sedih gitu. Makanya aku pikir, kamu bakal seneng lagi kalo aku cium, soalnya aku selalu seneng kalo kamu cium.”

Ehe ☺️

Alphanya tertegun memperhatikan sang Omega. Joshua malah bingung. Ia menelengkan kepala, hendak bertanya kenapa Mingyu terdiam begitu.

Alangkah kagetnya sang Omega saat Alphanya memajukan wajah dan mencium bibirnya.

Rasanya aneh. Mingyu menciumnya seperti ingin melumat bibirnya. Alpha itu menariknya ke dalam pelukan erat. Lengan Mingyu pada pinggang dan punggungnya. Lengan Joshua pada leher sang Alpha. Ia bahkan tidak sempat melepas ciuman mereka sejenak karena Mingyu tidak membiarkannya.

Saat gigi sang Alpha menangkap bibir bawah Joshua dan menariknya, anak itu mengerang pelan. Aneh. Takut. Penasaran. Senang. Berbagai perasaan berkecamuk dalam dada sang Omega, membuncah menjadi satu kesatuan.

Oh—”

Lidah. Ia bisa merasakannya. Sensasi ganjil sesuatu yang lunak beradu dengan lidahnya sendiri, lalu menggeliat masuk, menyentuh bagian dalam mulutnya. Bunyi basah kentara—yang membuatnya ingin kembali ke sarang untuk bersembunyi karena malu—memantul di dinding-dinding ruang depan kediaman keluarga Hong, bercampur dengan desah dan tarikan napas. Lidah sang Alpha mengalirkan feromon dalam liurnya, membuat kepala Joshua semakin pening.

Tanpa sadar, ia sudah diangkat ke dalam gendongan dan didudukkan di buffet kayu terdekat. Anak itu bisa merasakan tubuhnya menghangat dalam pelukan kekasihnya, jantungnya berdentum dalam dada, dan sendinya melemas. Feromon mereka saling menempel, tumpah ruah tak terkendali. Cairan tubuhnya pun mengancam untuk menetes dari bagian belakangnya di sana.

Joshua tak sanggup berpikir selain menyerah pada hasratnya dan hasrat Alphanya. Mingyu belum pernah menciumnya seperti ini. Seperti seorang Alpha yang siap melahap Omeganya saat itu juga...

Joshua mengerang lagi. Namun, kali ini, Mingyu tersadar. Ciuman ia putuskan secara tiba-tiba. Ia mengambil napas dengan terburu-buru. Dilihatnya Joshua terduduk dengan pandangan nanar dan kulit putih yang memerah. Bekas liur menempel di sisi bibirnya yang membengkak dan basah. Keringat bercucuran, menempel lekat di kulit mereka berdua.

“S-saya...”

Oh Tuhan...apa yang sudah kulakukan...?

”...M-maafkan saya...”

Joshua, alih-alih marah, malah menarik kerah kemeja sang Alpha dan menyatukan bibir mereka kembali. Lidah kecil yang menyelinap masuk membuat Mingyu terkesiap.

”...Mama lagi nggak ada di rumah...,” bisiknya ke bibir sang Alpha.

Omega.

Omegaku.

Milikku.

Keringat dingin, seketika itu juga, menuruni kening Mingyu. Itu suara Alphanya. Suara binatang buas dalam tubuhnya. Suara binatang buas yang telah diberikan lampu hijau untuk menyantap hidangan lezat di hadapan—

TIDAK!

Mingyu langsung menjauhkan mereka dengan mendorong kedua pundak Joshua. Susah payah, ia menolak tawaran Omeganya untuk menghabiskan malam bersama.

“Saya tidak—tidak bisa—s-saya—” teguk ludah. Kerongkongannya terasa kering. “Saya tidak akan menyentuh Anda sebelum kita menikah...”

“Kalo gitu, ayo nikah,” Joshua masih di atas awan. Insting Omeganya yang berbicara. Rindu akan kedekatan mereka. “Besok.”

“Joshua!”

“Alpha kamu,” tangkupan tangan pada pipi membuat sang Alpha menahan napas. “Alpha di dalam kamu. Aku mau ketemu sama dia.”

“Joshua, jangan...”

“Mingyu. Lepasin dia,” matanya menghipnotis, tak sekalipun berkedip. Bulu kuduk Mingyu agak berdiri dibuatnya. “Omegaku mau ketemu sama Alphamu. Lepasin dia.”

”...,” Kim Mingyu lalu menggeleng. “Tidak. Jangan. Belum saatnya. Kalau saya melepaskannya sekarang, dia pasti menyakiti Anda.”

“Terus kapan?”

“April. Musim semi tahun depan,” menjawab rengekan Omeganya, sang Alpha menggamit rahang dan memasukkan ibu jarinya. Lidah Joshua refleks menjilat ibu jari tersebut. Feromon Alphanya sontak menguat. “Estrus saya berikutnya. Jika Anda sudah benar-benar yakin, saya akan mengatur pernikahan kita di musim semi tahun depan.”

Joshua menggigit pelan ibu jari Alphanya, sebelum dilepaskannya.

“Asal kamu janji satu hal sama aku.”

“Ya?”

“Pas estrus, kamu lepasin Alpha kamu seutuhnya. Jangan kamu kekang lagi dia, Kim Mingyu,” Joshua maju untuk berbisik di telinga kekasihnya. “Bukan cuma kamu, Alpha kamu juga punyaku.”

...

Oh Tuhan. Ia akan mati karena cinta.