Part 90

#gyushuaabo

Ketika Tuan Hong kembali ke kapel, Tuan Kim sudah berdiri di depan pintu yang tertutup. Mereka saling tersenyum. Para hadirin yang diundang secara khusus telah berkumpul di balik pintu itu. Keluarga raja, keluarga tunangannya, para tetua, juga semua sahabat lama kerajaan dari negara-negara kecil terdekat.

Tuan Kim dan Tuan Lee masuk lebih dahulu untuk mendampingi Tuan Raja berjalan menuju altar. Ketika pengawal mengumumkan kedatangan raja mereka, para hadirin langsung berdiri menyambutnya. Sang raja berjalan tenang seperti biasa, menyusuri karpet merah indah dengan penuh wibawa. Dalam seragam kemiliteran, ia nampak begitu gagah. Di kiri dan kanannya, agak di belakang, dua orang Alpha yang tidak kalah tampan berjalan sama tegapnya.

Setelah ketiga Alpha hilang dari pandangan dan pintu menutup lagi, barulah Tuan Yoon muncul. Tuan Hong harusnya berjalan menemani Tuan Yoon bersama adik perempuan sang Omega, namun Tuan Yoon memberitahunya bahwa adiknya jatuh sakit dan akan digantikan seseorang. Meski bertanya-tanya, Tuan Hong mengangguk. Ia tengah sibuk sendiri dengan manset pada kemejanya yang terlepas saat mendengar sebuah suara.

“Maaf, saya terlambat.”

“Tidak apa-apa,” jawab Tuan Yoon. “Kau sudah siap?”

Tuan Hong mendongak. Lalu, wajahnya mencerah.

Sekali lagi, pintu dibuka. Sekali lagi, pengumuman diucapkan lantang dan hadirin kembali berdiri. Jantung sang raja berdenyut ketika ia menoleh ke arah pintu.

Kekasihnya. Indah dalam balutan kemeja dan setelan serba putih. Buket bunga lily putih dengan pita satin di tangannya. Tidak ada tudung yang menghalangi pandangan mereka sehingga ia bisa melihat bagaimana Omeganya tersenyum manis selama berjalan menuju dirinya. Luwes, tanpa beban.

Kedua matanya berseri-seri di balik bulu mata hitam yang lentik. Bagian atas pipinya yang menonjol sewarna apel segar. Bibirnya mekar, ranum seperti mawar merah.

Dan sang raja, hari ini, jatuh hati lagi.

“Hei...,” bisiknya, saat kekasihnya berada tepat di hadapannya.

“Hai...,” malu-malu, sang Omega membalas.

Selesai mengantar kedua calon mempelai ke altar, Tuan Lee mengulurkan sikunya pada pengganti adik Tuan Yoon. Ia tidak berbicara selain menerima tawaran tersebut dengan menyelipkan tangannya di sana. Mengikuti gestur sang Alpha, Tuan Kim melakukan hal yang sama. Omeganya tersenyum persis seperti Tuan Kim saat mengalungkan tangan ke siku Alphanya.

Berpasang-pasangan, mereka berjalan kembali ke pintu. Perhatian para hadirin kini berpusat pada calon mempelai yang berdiri di depan altar dengan tangan yang berpegangan dan senyuman di wajah masing-masing.

“Kupikir kau tidak akan pulang,” saat uskup agung memulai upacara, Tuan Lee berbisik. Di sebelahnya, Tuan Boo dengan tenang menonton prosesi pernikahan. “Kukira kau sudah muak denganku dan memutuskan untuk meninggalkanku di sini.”

“Memang itu niat awal saya, Yang Mulia,” sang Beta balas berbisik. “Tapi Tuan Yoon mengirimi saya tiket kereta untuk jadwal pergi kemarin dan saya baru tiba hari ini.”

“Kenapa?”

“Karena adik Tuan Yoon, pendamping Anda, sakit.”

“Adiknya tidak mungkin sakit dari kemarin, Kwannie. Akal-akalan Kak Jeonghan apa lagi yang dilakukannya kali ini?”

Tuan Boo mendengus. “Justru menurut saya, yang mengusir seseorang tanpa penjelasan apapun lah yang harus ditanyakan kewarasan otaknya,” ketusnya sengit. “Bagaimana saya tidak salah paham kalau Anda menyuruh saya pulang begitu saja!”

Nada bisikan mereka meninggi, membuat hadirin di bangku bagian belakang mulai terganggu. Tuan Lee berdeham perlahan. Tuan Boo pun kembali diam. Sesaat, mereka berusaha mengontrol emosinya. Sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk bertengkar.

Tuan Lee kemudian menaruh telapaknya di atas tangan Tuan Boo di sikunya. Sang Beta perlahan menoleh.

“Maafkan aku,” ucap Tuan Lee. Mata mereka pun bertemu. “Aku tidak berpikir panjang waktu itu. Ibumu sepertinya rindu sekali padamu, jadi aku langsung menyuruhmu pulang. Terus terang, aku pikir kau sudah tahu darinya.”

“Yang Mulia...”

“Tapi itu bukanlah alasan. Aku yang bersalah di sini. Maafkan aku.”

Sang Beta mendengus lagi.

“Maukah kau kembali ke sisiku, Kwannie?”

“Anda benar-benar merepotkan...,” keluhnya. “Yah, baiklah. Baiklah. Sepertinya, bila bukan saya, tidak ada yang tahan dengan Anda yang semenyusahkan ini. Saya akan kembali menjadi pengawal pribadi Anda.”

“Tunggu. Siapa yang bilang kau kembali sebagai pengawalku?”

Tuan Boo nampak terkejut. Tuan Lee malah menyengir lebar.

“Kau akan kembali ke sisiku sebagai suamiku, tentu saja.”

Sudah terbiasa kena hajar setiap ia menggoda Tuan Boo, Tuan Lee refleks mengangkat lengannya satu lagi untuk menahan serangan yang akan datang. Namun, kepalan tangan maupun tamparan tak kunjung datang. Alih-alih, ketika Tuan Lee membuka matanya, mengintip Tuan Boo, napasnya tersentak.

Sang Beta menunduk. Seluruh wajahnya, dari belakang telinga sampai leher, memerah hebat. Terpukau, lidah Tuan Lee kelu. Jantungnya berdegup semakin kencang.

“K-Kwannie...apakah...”

Tuan Boo menunduk makin dalam.

Tanpa disadarinya, Tuan Lee membekap wajah bagian bawah dengan tangan yang bebas, menahan rasa malu yang meronai wajahnya sendiri.

“Setelah upacara ini selesai,” bisiknya cepat. Ia merapatkan siku, menarik Tuan Boo mendekat hingga bahu mereka saling bersentuhan. “Kita akan membicarakan hal ini. Jangan kabur lagi dariku.”

Jantung keduanya berdebar tak karuan.

“Kumohon...”

Tidak tahu harus berkata apa, Tuan Boo hanya bisa mengangguk malu-malu.