Part 89

#gyushuaabo

“Tuan. Saya telah memanggil Tuan Hong.”

Tok, tok.

“Tuan.”

Tok, tok, tok.

Pelayan itu berbalik menghadap Joshua. Melihat kernyitan alis di wajah sang Omega, dia merasa sungkan.

“Maafkan saya, Tuan. Tadi benar Tuan Yoon memanggil Anda. Saya—”

Tiba-tiba, pintu terbuka dan, dari celahnya, muncul lengan yang menarik baju Joshua.

Sekedip, si anak mendadak menemukan dirinya di dalam ruang pribadi Yoon Jeonghan, kepisah dari si pelayan. Pintu pun ditutup. Di depan matanya, Yoon Jeonghan menyengir lebar.

“Hai, Hong.”

Kernyit alis Joshua makin dalam.

“Uh...hai?” nadanya nggak yakin. Dia memperhatikan Yoon Jeonghan sambil merapikan lagi jas dan kemejanya. Omega itu mengenakan kemeja berkerah renda terbuat dari satin putih dan setelan jas yang juga berwarna putih. Buket bunga lily putih tergeletak di meja dekat cermin besar. Rambutnya ditata sedemikian rupa hingga jatuh dengan indah di sekitar wajahnya. Riasan sederhana menonjolkan tulang pipi dan bibir mungilnya yang manis.

Yoon Jeonghan ultra cantik hari ini, di hari pernikahannya.

“Kamu cakep banget,” puji Joshua dengan jujur.

“Trims,” kekehnya sambil duduk perlahan supaya jasnya nggak kusut. “Kau juga, Hong. Tapi bibirmu kurang merah.”

“Oh ya?” serta merta, si anak menatap ke cermin. “Aku disuruh Mama pake lipen ini. Apa kurang keluar ya warnanya?”

“Minta Kim merahin saja.”

“Hah?”

“Bibirmu.”

Sedetik-dua detik, lalu muka si anak sukses merona setelah paham maksudnya.

“Ap—kena—kamu!”

“Oh? Belum ya?”

Joshua nggak mau jawab ih bodo amat!! 😡

Yoon Jeonghan tertawa. Dagu ditopang oleh sebelah lengannya. Geliginya terpampang rapi sempurna. Harum bunga Freesia dan buah pir memenuhi ruangan itu. Namun, setelah Joshua mengendus lebih dalam, dia mencium bau lain. Sesuatu yang kurang enak yang seharusnya nggak menyelip di sana.

Bau Omega dalam keadaan stress.

Joshua nggak berkata apa-apa ketika dia mendekati Jeonghan untuk duduk di sampingnya.

“Kamu...oke?”

Omega yang ditanya nggak langsung menjawab. Bau stress semakin kuat menguar darinya. Wajah cantiknya mengernyit. Dia menggenggam tangannya sendiri yang agak gemetar.

“Hong...”

“Hmm?”

“Menurutmu...apa aku sudah mengambil keputusan yang benar?”

Joshua berkedip. “Maksudmu?” tanyanya.

“Pernikahan ini. Kerajaan ini. Cheol. Semua,” nada yang getir oleh emosi. Selaksa keraguan yang diperjelas dengan feromon yang tercemar. Pekat dan agak menyesakkan. “Aku tidak menginginkan ini. Aku—aku selalu bermimpi keluar dari negara ini. Pergi melang-lang ke hutan dan danau. Aku ingin memanjat gunung dan berteriak keras sesampaiku di puncak. Aku ingin melihat laut, lengkap dengan pasir putih yang panas di bawah kakiku.

Aku—”

Perlahan tapi pasti, Yoon Jeonghan meredup.

“—ini kesalahan. Aku tidak bisa menikah. Aku tidak bisa menjadi pendamping seorang raja di negara ini. Di sini bukan tempatku. Aku—”

Kemudian, Joshua dengan kencang menangkup kedua pipi sang Omega, bisa dibilang agak menamparnya. Kaget, Jeonghan berteriak.

Stop.”

Muka Omega yang lebih muda itu merengut galak (ato berusaha galak karena lebih ke arah imut ehe).

“Stop. Stop. Stop,” ulangnya. “Apa nih? Yoon Jeonghan got cold feet? Yoon Jeonghan? Yang kemarin bilang dengan pedenya 'aku nggak bisa bayangin nggak nikah sama Cheol'?”

Nada menyindir itu membuat Yoon Jeonghan mengalihkan pandangan, tapi Joshua memaksa memutar wajahnya sampai mereka bertatapan lagi.

“Aku nggak ngira hari ini aku harus cegah calon pengantin buat nggak kabur ninggalin Alphanya di altar, but here I am. Lucu juga hidup ini kalo dipikir-pikir,” kekeh si anak. “Yoon Jeonghan. Berapa tahun katamu kalian nunggu pernikahan ini?”

”...Tiga puluh—”

TIGA PULUH TAHUN KAMU NGAPAIN AJA KALO GITU??” bentakan Joshua bikin Jeonghan menyentak kaget. “Nih ya. Kalo aku punya waktu 30 tahun nyuruh Mingyu nungguin aku, aku bakal keliling dunia nikmatin banyak hal sendirian! Puas-puasin masa lajang!

Kamu punya 30 tahun buat ngelakuin semua yang kamu bilang itu! Ke gunung, ke laut! Tapi kamu nggak ke sana! Terus salah pernikahan ini, gitu?”

”...Bukan ya?”

“YA BUKAN LAAAH!” Joshua gemes banget dah elah. “SALAH KAMU! GIMANA SIH??”

Mulut Jeonghan membuat huruf 'O' besar.

“Salah sendiri kamu nggak ke sana dalam 30 tahun itu! Mamam siah! Lagian ya, emang yang bilang kamu nggak bisa ke sana pas udah nikah siapa?? Kamu tinggal manja-manja aja sama suami kamu nanti. 'Ayank aku mau ke pantai yaaa' aja gitu, palingan Alpha kamu langsung booking semuanya,” si anak melipat lengan di dada. “Kayaknya Alpha kamu tuh sama aja kayak adeknya. Bucin akut.”

Tapi asik juga sih. Bayangin deh kalo Joshua tinggal nemplok Mingyu tiap mau sesuatu. Wow, hidup makmur. Ih Joshua baru ngeh kalo nikah sama Mingyu lumayan juga—

”...Pfft.”

Derai tawa. Joshua berkedip sementara Yoon Jeonghan terpingkal-pingkal sampai bulir tangis muncul di sudut matanya. Melihat Omega itu ketawa puas, Joshua jadi ikutan senyum.

Setelah mereda, Jeonghan menyeka tangis yang timbul.

”...Haha...dimarahin adik ipar sendiri... Aku jadi malu...”

Hampir Joshua mau membantah, tapi nggak jadi. Dia hanya tersenyum semakin lebar.

“Udah sadar kamu?” tanyanya.

“Hmm,” Yoon Jeonghan balas tersenyum. “Maaf ya.”

“Jadi nggak perlu aku bantuin kabur kan?” godanya.

Jeonghan meringis hingga geliginya nampak. “Nanti aku kaburnya bersama Alphaku saja,” godanya balik. Sebelah mata mengedip pada Joshua, membuat anak itu memutar bola mata.

Udara menjadi lebih ringan setelahnya. Jeonghan bertanya apakah dia datang bareng Mingyu. Joshua membenarkan. Mingyu menunggu di ruang kakaknya. Jeonghan kemudian sadar kalau semua orang tengah menantinya. Dia berbalik ke cermin, mengecek apakah ada riasan yang rusak karena kejadian barusan.

Ketukan pintu lalu terdengar. Nona Nam datang lagi untuk mengumumkan bahwa semua sudah siap dan calon pengantin dipersilakan masuk ke kapel.

“Buket kamu!” Joshua buru-buru mengingatkan.

“Oh iya!” segera disambarnya buket bunga lily putih itu.

“Jeonghan, bentar!”

”?”

Joshua berdiri lalu merapikan renda di kemeja sang Omega.

”...Aku belum bilang ini ke kamu,” gumamnya. “Makasih ya, karena udah ngenalin Mingyu ke aku di pesta dansa waktu itu.”

Bola mata sang Omega melebar.

“Kalo nggak karena kamu, aku nggak akan kenal Mingyu. Nggak akan jatuh cinta sama dia. Aku juga nggak akan sebahagia ini sekarang.”

Joshua selesai merapikan kemeja Jeonghan. Ditepuk-tepuknya pelan di sana.

“Kamu orang pertama yang negur aku. Kamu temen paling pertamaku di sini. Walo aku jarang nunjukin, tapi aku seneng banget jadi temen kamu. Kalo nggak karena kamu, mungkin aku nggak akan kenal semua orang di sini.

Jadi kamu harus, harus, haruuusss jadi orang paling bahagia di dunia ini, soalnya kamu udah ngasih kebahagiaan ke banyak orang. Ke aku. Ke Mingyu. Ke Alpha kamu—”

Tes.

“—UWAAAHH!! K-KENAPA—”

Tes, tes.

“TISSUE! ADUH, NANTI MAKE UP KAMU RUSAK! Sori, sori! Kenapa kamu jadi nangis dah??”

“Tuan?? Apa ada yang bisa saya bantu??”

“Aahh, Mbak! Eh, siapa—itu tolong ambilin tissue!” Joshua balas berteriak. “Jeonghan, jangan nangis dong! Soriii, aku nggak maksud, beneran deh!”

Sang Omega terkekeh sambil terus menangis. Senang atas perkataan sahabat satu-satunya itu. Ia malah mendusel hidung Joshua dengan hidungnya, menimbulkan kebingungan di wajah sahabatnya.

Ah. Bukan.

Keluarganya.