Part 38

#gyushuaabo

Raut anak itu berubah masam ketika melihat siapa yang ada di sana.

“Joshua,” ibunya memanggil. “Tuan Kim datang untuk berbicara denganmu.”

”...Ngapain?” anak itu membuang muka. Susah buat ngeliat wajah Tuan Kim kalo baru beberapa saat lalu, dia mengendusi kemejanya lagi.

(Dan, saat bau itu semakin samar, Omeganya merengek. Tentu aja, Joshua melakukannya tanpa sadar.)

“Oh, saya membawa hadiah untuk Anda,” Tuan Kim bangkit dari duduk untuk membawa tumpukan kecil kotak berbagai bentuk dan warna, dengan pita satin membalut masing-masing kotak. “Maafkan saya, saya baru tahu Anda berulang tahun kemarin itu...”

“Anda—” Joshua berhenti, lalu menggeleng. Dia menolak untuk mengikuti tata krama di negara laknat ini. Biarin aja ibunya yang begitu. Joshua nggak perlu, karena dia bakal ninggalin semua ini tahun depan. “—kamu nggak perlu repot-repot. Nggak ada keharusan kamu kasih kado begini.”

Tapi, Tuan Kim nggak kelihatan kaget.

“Anda benar, tapi saya merasa tidak enak...”

“Kenapa?”

“Emm, apakah...harus ada alasan untuk memberi seseorang hadiah ulang tahun...?” Tuan Kim bertanya, nadanya nggak yakin.

“Ya iya dong?”

“Baik. Kalau begitu, saya memberi hadiah karena saya ingin memberi Anda hadiah.”

Senyum Tuan Kim merekah. Joshua memandanginya seolah Alpha itu udah gila.

“Saya kurang tahu apa yang Anda sukai,” dia melanjutkan. “Jadi saya memilih hadiah yang kira-kira akan Anda sukai. Ah, Anda tidak perlu menerima semuanya jika ada yang Anda tidak kehendaki, tapi...bila Anda bisa menerima setidaknya satu, maka saya akan sangat senang sekali...”

Pipi lelaki itu tersipu di depan anak yang, terus terang, sampai detik ini cuma mandangin dia dengan sebelah alis berkerut.

Beberapa saat kemudian, Joshua duduk di sofa yang sama dengan Tuan Kim. Anak itu membuka kotak-kotak hadiahnya. Ibunya memberikan komentar untuk beberapa hadiah yang ada.

“Oh, gelang itu cantik sekali...”

“Kemahalan,” decak Joshua. Kotak beledu merah itu dia sorongkan balik ke Tuan Kim. “Bawa balik ke toko. Kamu nggak usah kasih yang mahal begini. Aku nggak akan terima.”

Makin mahal barang, makin besar utang budi.

Tuan Kim menurut. Dia nggak berkata apapun, membiarkan Joshua membuka semua kadonya. Akhirnya, setelah semua kotak dibuka, Omega itu mengamati sesaat, lalu mengambil salah satu kotak.

“Aku ambil ini.”

Pilihannya adalah sekotak kue keju, berbentuk bundar dan dipenuhi krim kekuningan yang nampak lezat. Di bagian bawahnya nampak bagian kue yang cokelat. Kurang rapi, tapi jadinya lebih otentik buatan tangannya.

“Ah,” wajah Tuan Kim mencerah. “Saya harap Anda suka. Saya memanggangnya sedikit terburu-buru—”

Joshua berkedip.

“Kamu yang buat?”

Alpha itu mengangguk, masih tersenyum ceria. “Saya senang memasak,” akunya. Semua Alpha memang diajari bagaimana memasak agar mereka kelak bisa memastikan Omega mereka makan dengan baik, terutama di saat kehamilan, namun Kim Mingyu menemukan kegiatan itu sendiri begitu menyenangkan. “Semoga sesuai selera Anda.”

”...,” kini, Joshua menatap curiga pada kue itu. Dia kira Tuan Kim membelinya. “...Kamu tanya sama siapa kalo aku suka kue keju?”

“Eh—”

“Kue kesukaanku itu kue keju, terus kamu kebetulan buat kue keju. Kayaknya nggak masuk akal. Tau dari siapa?”

Mereka diam sejenak.

”...,” Tuan Kim menggaruk pipinya yang merona karena malu. “...Saya mungkin bertanya pada toko kue langganan Anda...”

Joshua menghela napas keras-keras.

“Bunga itu,” gerutunya.

“Maaf?” Tuan Kim berkedip bingung.

“Bunga. Kamu kasih aku bunga hydrangea biru. Kamu minta penjaga toko kelontong buat kasih ke aku...”

“Benar, itu saya...Apa—apa Anda tidak menyukai—”

“Bunganya cantik,” potongnya. “Aku juga paham artinya. Tapi, aku nggak paham kenapa kamu titipin ke orang lain dan apa artinya permintaan maaf itu.”

Tuan Kim dan Joshua saling bertatapan.

”...Maaf, saya titipkan karena saya tidak berani mendekati Anda,” aku Alpha itu kemudian. “Anda berlari kabur setelah pesta dansa di rumah Tuan Lee, jadi saya pikir Anda tidak ingin melihat muka saya.”

“Kamu mendadak ngedorong aku!”

“Benar. Bunga itu untuk permintaan maaf saya...akan kejadian itu...”

”...Ah, oke, mungkin karena aku kayak Omega gampangan sih pas itu, jadi wajar aja kamu dorong gitu.”

“Tuan Hong! Bukan itu sebabnya—”

“Cuma pake dansa sekali, ya kan? Cepet banget. Alpha terhormat macam kamu ini pasti jijik sama Omega yang—”

”—tapi karena Anda masih muda!”

...

“Hah?”

“Sepertinya ini salah paham,” Tuan Kim buru-buru menjelaskan. “Saya senang berdansa dengan Anda. Senang sekali. Tapi saya sepertinya mabuk akan rasa senang itu, jadi saya hampir...hampir melakukan hal tidak terpuji pada Anda, dan...saya mendorong Anda agar kita sama-sama tidak menyesal...bukan karena Anda adalah Omega.

Anda masih muda. Bila saya mencium Anda di pesta dansa, orang-orang akan mulai menyebar rumor. Saya tidak peduli apa kata orang akan saya, tapi saya peduli apa kata orang akan Anda.

Maaf, saya...tidak bisa menjelaskan dengan baik...”

Saat Tuan Kim berhenti berbicara dan mengangkat wajahnya, mulut Joshua membuka dan matanya membulat.

“Kamu...waktu itu...mau nyium aku?”

Mata Tuan Kim juga membulat. Mukanya segera merona merah saat menyadari dirinya sudah keceplosan. Hati Joshua melonjak sedikit. Sebab, rasa malu Tuan Kim membuat feromonnya sedikit terlepas dari kekangan. Omega Joshua mendengking lagi, namun anak itu tahan.

“Hei,” Joshua bergeser. Sengaja lebih mendekat lagi. Tuan Kim refleks menjauh sampai dia tersudut di sofa. “Jawab. Kamu waktu itu beneran mau cium aku?”

“S-s-saya—”

“Hmm?”

”—T-tentu saja!” buat ukuran Alpha yang tinggi besar, rasanya komikal ngeliat dia begitu malu kayak gini. “Tentu saja saya ingin mencium Anda, Tuan Hong, bukankah saya sudah katakan?”

Andai aja nggak ada Nyonya Hong mengawasi mereka, tangan Tuan Kim pastilah sudah menangkup pipi Omega dambaannya.

”...Saya belum pernah bertemu Omega seindah Anda...”

Mata yang menyorotkan kejujuran dihiasi semburat merah yang menggemaskan. Entah kenapa, Joshua jadi ikutan malu dibuatnya. Anak itu segera menjauh, memberikan kesempatan buat Tuan Kim menghembuskan napas dan mengipasi wajahnya.

Nyonya Hong menumpangkan tangan pada dagunya, menilai kejadian barusan. Lalu, dia tersenyum. Untuk saat ini, sepertinya dia nggak perlu khawatir. Anaknya itu nampaknya cukup senang, meski nggak diperlihatkan, dan Tuan Kim memegang janjinya.

“Wah, coba lihat, tehnya sudah habis,” ibunya lalu mengangkat kedua cangkir dari meja. “Sebentar ya, saya isikan lagi, Tuan Kim~“

“Nyonya Hong, Anda tidak perlu repot-re—”

“Permisi~“

Blam.

Kini, tertinggal Joshua berdua dengan Tuan Kim.