Part 35
“Mingyu!”
“Oh?”
“Permisi,” Mingyu membungkuk. Topinya ditekan ke dada. “Maaf, apa saya mengganggu Anda berdua?”
Baginda Ratu Ibu Suri tertawa, sementara Yoon Jeonghan melompat dari duduknya dan menyeret calon adik iparnya itu dari ambang pintu. Tuan Raja, yang mengikuti adiknya dari belakang, ikut tertawa sebelum menutup pintu.
Seluruh keluarganya. Lengkap sudah.
Mereka berada di ruang santai pribadi keluarga kerajaan. Cuaca di hari pertama tahun yang baru itu begitu indah. Meski di luar, salju masihlah turun, namun langit tersapu samar biru di antara kelebat putih. Perapian dinyalakan hingga ruangan terasa hangat. Tuan Yoon menyuruh Mingyu duduk di kursi sebelah Ibu Suri.
“Putraku,” Beliau tersenyum. Tangannya terangkat untuk menyapu juntai rambut dari mata Mingyu. “Tidak kusangka kau akan datang lagi secepat ini. Apakah kakakmu akhirnya berbuat yang benar dan memintamu pulang?”
Tuan Raja tertawa lagi. Ia bersandar di bufet dekat jendela sambil melipat kedua lengannya di dada. “Ibunda,” ujarnya dalam nada ringan. “Aku kan selalu mengajaknya pulang, tapi dia yang menolakku terus. Benar-benar keras kepala, anak itu.”
Yoon Jeonghan, alih-alih menaruh perhatian pada obrolan tunangan dan calon ibu mertuanya, malah mengernyitkan alis. Ia berdiri di belakang Mingyu. Hidungnya yang mancung indah bergerak-gerak, sibuk mencium bau yang...tidak familier...
“Kim Mingyu...,” sniff sniff sniff “Kok...baumu...
...beda?”
Sedetik, lalu tangan Mingyu refleks membekap kelenjar feromonnya. Wajahnya menjadi semerah tomat yang tersiram mentari pagi di ladang kala musim panas datang. Tubuhnya maju, berusaha menjauh dari Omega itu.
“T-Tuan Y-Yoon—Ap-apa yang Anda laku—” gelagapan, tapi Tuan Yoon hanya mendecak.
“Hei, di sini cuma ada keluargamu dan aku. Panggil aku dengan namaku,” gerutu sang Omega. “Tuan Yoon. Tuan Yoon. Sejak kapan kau jadi membosankan begini, Mingyu?”
“Mana bisa begitu! Saya tidak berani kurang ajar pada—”
“Sebentar,” Tuan Raja beranjak dari posisinya untuk mendekati mereka. “Apa maksudmu dengan 'beda', Sayang?”
“Coba cium saja, Cheol.”
“Maaf, tapi kenapa saya jadi—ini tidak baik—”
Ah, sayangnya Kim Mingyu kalah jumlah. Kakaknya memegangi kedua pundak sang adik, memajukan wajahnya ke sisi leher Mingyu, yang salah tingkah. Ingin menjauh, tapi mana berani ia lancang mendorong kakaknya, orang dengan kedudukan tertinggi di kerajaan?
Seungcheol memejamkan mata, menghirup dalam-dalam satu kali. Bau khas Mingyu, pertama terpateri dalam benaknya. Meski mereka tidak berhubungan darah secara langsung, jika hidup bersama selama berpuluh tahun, ada bau-bau tertentu yang bisa diasosiasikan sebagai rumah menempel di sekujur tubuh orang tersebut, seperti wangi sabun yang dipakai seluruh anggota keluarga atau minyak rambut yang diusapkan ibu pada kepala anak-anaknya. Semua adalah bau yang Seungcheol kenal betul, tapi...
”...Kau benar,” ia menatap wajah adiknya yang begitu padam ketika ia menjauh. “Ada bau Omega...”
“Oh. Oh!” Jeonghan hampir berteriak senang. “Apakah—apakah kau dengan Hong akhirnya—”
“Kak Han!” makin malu, Mingyu tidak sadar kalau lidahnya kembali ke situasi dimana mereka semua masih begitu kecil dan naif, dan dirinya sedang mati-matian membela diri di hadapan Jeonghan dan kakaknya, yang dengan gemas sengaja mengerjai anak kecil bertaring dengan mata besar yang berkilauan itu. Pipinya sudah begitu terlalap semburat merah. Bahkan ibunya menganggap betapa menggemaskan anaknya itu hingga Beliau tertawa lagi. “Apa yang—S-saya tidak akan berbuat serendah itu pada Tuan Hong—”
“Lho, memangnya kau berpikir apa?” cengiran Jeonghan pun tertoreh di wajah indahnya. “Aku hanya mau bilang kalau kau dan Hong akhirnya berteman hingga baunya menempel begitu.” Wajah Mingyu semakin memerah. “Ah, tapi aku asal sebut namanya karena aku juga tidak tahu pasti. Ternyata benar bau Hong ya~“
“Hei, Sayang, sudah, hentikan,” karena kasihan melihat nasib adiknya, Seungcheol pun menengahi. Meski begitu, ia sendiri tersenyum lebar. “Lihat Mingyu. Sebentar lagi meledak rasanya kalau kau goda terus.”
“Kak...,” menyerah kalah, Mingyu mengerang pasrah.
“Tuan Hong ini,” mendadak, ibunya angkat bicara. Semua mata lalu tertuju padanya. “Apakah Omega yang kau ceritakan padaku kemarin di pesta dansa, Hani?”
“Betul sekali, Ibunda,” jawabnya dengan ceria. “Kemarin aku melihatnya bersama dengan Lee, jadi kupikir Mingyu harus diberitahu. Maaf karena sudah menimbulkan sedikit kerusuhan.”
“Seokmin anak yang baik,” tegas Seungcheol.
Jeonghan memutar bola mata. “Tapi dia Alpha, Cheol, dan dia belum mengikat janji dengan siapapun,” tukas sang Omega. “Aku pikir Mingyu kita tidak akan senang kalau ada Alpha lain mendekati Hong. Bukankah begitu?”
Mingyu hanya bisa menunduk. Keningnya berkerut mengingat kejadian naas kemarin.
”...Saya rasa,” ia bergumam. “Tuan Lee sudah menetapkan hatinya pada seseorang.”
Jeonghan berkedip.
“Oh ya?” rasa keingintahuan Omega satu itu begitu besar. “Siapa?”
“Ksatria pengawalnya.”
Jeonghan bersiul.
“Beta itu?” lalu ia menoleh ke arah Seungcheol. “Apa tidak apa-apa, Cheol?”
“Apanya?” tanya Seungcheol balik.
“Oh, kukira keluarga Lee ingin darah mereka semurni mung—” kemudian, Jeonghan membekap mulutnya. Lupa sesaat, bahwa keluarga Lee adalah keluarga asal Ibu Suri. “M-maafkan aku—”
Beliu malah tersenyum. “Kakak sepupuku sudah tidak ada, semoga arwahnya beristirahat dengan tenang,” ucapnya. “Dan, putraku benar, Seokmin anak yang baik. Anak itu berhak untuk bahagia dalam cara yang ia kehendaki.”
Hati Mingyu menghangat. Kerajaan yang penuh dengan rasa sayang dan kepedulian...ia ingin menghabiskan hidupnya di sini, bersama dengan Omega yang ia kasihi.
”...Ibunda,” Mingyu bergumam. “Kakak. Kak Han. Saya datang ke sini untuk meminta satu hal.”
Ruangan itu pun sunyi. Mereka semua memandanginya, menunggu kalimat berikutnya dari sang Alpha.
“Saya ingin meminta ijin untuk mendekati Tuan Hong.”
Jeonghan menahan napas, tidak sabar ingin bersorak, namun ia tahan karena Mingyu belum selesai bicara. Sementara itu, Seungcheol dan ibunya mendengarkan dengan begitu tenang.
“Saya sudah meminta ijin pada Nyonya Hong. Dan sekarang saya meminta ijin pada Anda sekalian. Saya...saya tahu saya terlalu tua baginya. Tuan Hong masih begitu muda. Banyak Alpha dan Beta lain yang lebih pantas baginya. Tapi...saya...”
Mingyu memandangi telapak tangannya sendiri.
”...saya merasa dialah Omega yang dilahirkan untuk saya.”
Pasangan jiwa. Fenomena yang asing, ketika sepasang Alpha dan Omega mengetahui dalam hati masing-masing bahwa mereka diciptakan untuk satu sama lain.
”...Aku paham perasaan itu.”
Mingyu mengangkat wajah, melihat ke arah kakaknya.
“Aku juga merasa begitu ketika kau membawa Jeonghan bermain dengan kita di halaman pertama kali.”
“Tapi...Kak Han juga merasakannya.”
“Betul,” Jeonghan membenarkannya.
“Tuan Hong tidak. Jadi, mungkin, saya saja yang terlalu berharap,” dengan sedih, Mingyu menambahkan. “Tapi saya sudah menetapkan hati. Melihat Tuan Lee bersama Tuan Hong kemarin, saya...saya tidak mau. Saya tidak mau Tuan Hong menjadi milik orang lain hanya karena saya yang terlalu pengecut dan tidak mencoba.”
“Kalau dia tidak menginginkanmu bagaimana, Mingyu?”
“Cheol!”
“Saya,” susah payah, Mingyu meneguk ludah. “Maka saya akan merelakannya.”
“Yakin?”
“Lebih baik saya ditolak setelah berusaha, daripada menyesal karena tidak berbuat apa-apa.”
Seungcheol mendengus. Kedua Alpha berbagi pandangan untuk beberapa saat, lalu ia mengangguk, “Sebagai kakakmu, dan raja di negara ini, aku berikan padamu restuku untuk mendekati Tuan Joshua Hong. Ingat bahwa dirinya adalah Omega dan kau adalah adikku. Kau harus menjunjung tinggi kehormatannya dan kehormatanmu di atas segala.”
Jantung Mingyu berdebar lebih cepat.
“Kau adalah Alpha terhormat, Kim Mingyu, aku percaya padamu.”
Lalu, Mingyu membungkuk dalam, memberi hormat dan rasa terima kasihnya pada Alpha pemimpin mereka semua.
Ibu Suri meminta Mingyu mengulurkan tangan. Ia menurut, lalu ibunya menangkup tangannya yang besar itu.
“Kau tahu kau tak perlu meminta restuku, Putraku,” senyumnya begitu cantik dan lembut. “Aku selalu mendoakan kebahagiaanmu. Jika Omega ini bisa membahagiakanmu, maka aku justru yang ingin berterima kasih padanya.”
“Ibunda...”
“Dekatilah dirinya dengan kelembutan dan kesopanan yang menjadi ciri khas dirimu, Putraku Sayang. Berbahagialah dengan Omega pilihan hatimu,” ia meremas tangan anaknya. “Dan...bila hatimu tersakiti, datanglah pada kami, keluargamu. Kami selalu ada di sini untukmu.”
Mingyu meneguk ludah lagi, lalu ia mengangguk kecil. Diremasnya balik tangan ibunya.
“Sebenarnya aku tidak paham kenapa kau meminta restuku, Kim Mingyu, karena aku sudah mencomblangi kalian sejak awal~” seloroh Jeonghan dengan ringan. “Kalau kalian menikah, syaratku adalah aku yang menjadi penata dekor pernikahan kalian. Aku akan mengubah aula istana menjadi seindah surga. Itu saja.”
Mingyu tersenyum mendengar itu.
“Terima kasih, Kak Han,” ia berujar. “Terima kasih, Kak. Terima kasih, Ibunda.”
“Jadi, apa yang kau berikan pada Hong kemarin, Mingyu?”
Mingyu mengerjap, “Maksud Anda?”
Jeonghan terkesiap, “...Jangan bilang kau tidak tahu—”
“Tahu apa?”
“Mingyu!” rasanya Jeonghan ingin mengguncang pundak calon adik iparnya. “Kemarin saat pesta dansa, itu hari ulang tahun Hong!”