Part 3: 얘기하자
Goblok.
Makian barusan ditujukan untuk dirinya dan dirinya only. Kalo boleh jujur yah... buat Seokmin juga sih sebenernya, tapi melihat kondisi anak itu saat ini, Jeonghan rada nggak tega. Berkebalikan dari Jeonghan yang masih mematung di posisinya, Seungcheol dan Mingyu buru-buru berlutut, mencoba menyadarkan Seokmin yang mendadak aja pingsan.
DISENYUMIN DIKIT DOANG UDAH PENGSAN—
Ampas.
“Kenapa anak itu??” paduka raja yang baik hati pun nampak cemas. “Baik-baik sajakah dirinya?”
“Jika berkenan, ada kamar yang bisa dipakainya,” sang permaisuri menimpali. “Penjaga, tolong bawa anak itu.”
“Nggak apa, Yang Mulia,” Mingyu dengan mudah menggendong Seokmin dalam pose pengantin. Hasil nge-gym-nya selama ini rupanya berbuah manis. “Saya aja yang bawa. Mm, mungkin bisa tolong bantu arahin?” Agak ragu, diliriknya Seungcheol lalu si penjaga.
“Saya temenin dia,” ikut menatap si penjaga, Seungcheol kemudian menaruh tangannya di bagian bawah punggung Mingyu sebagai gestur menenangkan. “Tolong arahin jalannya.”
Sekejap, penghuni aula utama berkurang separuhnya, menyisakan sang raja, ratu, pangeran dan...Yoon Jeonghan.
Kelinci kecil yang jatuh ke lubang menuju Wonderland.
Menghela napas, Jeonghan seketika paham kalau rencananya telah gagal total. Bukan cuma karena Seokmin pingsan, tetapi juga karena dia nggak sengaja manggil nama Seokmin. Kenceng banget lagi. Pangeran Jisoo pasti nangkep kata apa yang keluar dari mulutnya tadi. Sekarang, kalo Jeonghan tetep maksain mengakui dirinya sebagai Seokmin dan yang pingsan itu Jeonghan, dia bakal dicap tolol kuadrat sama si pangeran. Dan dia nggak mau itu.
Hela napas sekali lagi.
Panik boleh, goblok jangan.
“Kuharap temanmu nggak apa-apa.”
Seuntai kalimat dalam intonasi ringan dan suara lembut. Jeonghan berkedip sebelum mendongak, memandang pemilik suara itu tepat di matanya. Cokelat tua, hampir hitam, menatapnya balik nggak kalah lembut dari suaranya.
“No worries. Dia cuma pingsan dikit ketemu idolnya.”
“Idol?” kernyitan lemah kemudian nampak di antara alis Pangeran Jisoo.
“Humm. Dia naksir Yang Mulia.”
Mendadak saja, Pangeran Jisoo menarik napas.
“Dia naksir Ayah???”
“Ap—”
“OHO?? JADI BEGITU??” sang raja tertawa terbahak-bahak. “AH, BETAPA BERDOSANYA JIWA INI! Permaisuriku, lihatlah! Warga kita bahkan pingsan karena kekagumannya padaku!”
“Wah, wah. Banyak benar dosa Anda ini, Yang Mulia,” sang permaisuri ikut terkikik. “Mungkin sudah saatnya Anda berlibur bersamaku yang lama dan membiarkan putra kita mengambil alih kerajaan.”
“Ibu~” Pangeran Jisoo manyun. Jeonghan agak terpana melihatnya. “Jangan bicara begitu~ Aku belum pantas menggantikan Ayah. Masih perlu banyak belajar satu-dua tahun ini. Betul begitu kan, Yoon?”
“Eh? Yah...”
“See? Yoon juga berpikir begitu. Ayah masih diperlukan di kerajaan kita. Jadi, jangan buru-buru melengserkan Ayah.”
“Iya, iya,” sang permaisuri menghela napas. “Hanya saja, Yang Mulia dan Ibu sudah tua, Nak. Kami sudah lelah lama-lama duduk di singgasana. Sakit pinggang kami dibuatnya.”
“Makanya singgasana ditiadakan dan aula utama dipindah kan? Sofa ini sebagai pengganti.”
“Ssh, shh. Ibu yakin kamu menangkap intinya, Nak.”
Tentu ia menangkapnya. Orangtua yang kelewat tua dibandingkan usianya sendiri (Pangeran Jisoo datang sebagai karunia yang cukup terlambat dan hampir saja gagal lahir ke dunia andai dirinya datang setahun lebih lama), ketidak sabaran para penghuni istana serta warga mereka melihat sang pangeran mengambil alih tampuk kerajaan, serta harapan mereka semua untuk dirinya bersanding dengan seseorang.
Negara ini negara yang cukup kecil. Pun jauh dari mana-mana. Negara yang cocok untuk mereka yang ingin menikmati hidup tenang tanpa banyak kekisruhan politik dan militer dari negara-negara tetangga. Sebagai konsekuensinya, nggak banyak keturunan negara sahabat untuk dijodohkan dengannya. Satu-satunya yang memungkinkan adalah keluarga Xu sebagai sahabat terdekat, tapi penerus terakhir sudah menetapkan pilihan hatinya dan menolak pinangan keluarga Hong. Pangeran Jisoo juga enggan kalau harus dinikahkan dengan sepupunya sendiri, Pangeran Hansol.
Maka, muncullah ide yang disadur dari naskah kuno yang disimpan di perpustakaan kerajaan: undian untuk mencari jodoh bagi penerus kerajaan.
Sebuah metode absurd, but somehow it works.
Pangeran Jisoo memandangi Yoon Jeonghan lagi. Yang dipandang sepertinya nggak sadar kalau dia sedari tadi udah dipanggil namanya. Entah apa niat Yoon Jeonghan datang bersama ketiga temannya seperti itu. Namun, menilik dari alasan kenapa salah satu dari mereka mendadak pingsan…
Pangeran Jisoo mengelus dagu sejenak dan mengernyitkan sebelah alis.
....Ah.
Begitu ternyata.
“Ayah, Ibu. Bolehkah aku berbicara berdua saja dengan calon suamiku?”
Jeonghan terkesiap. Dia baru sadar kalau Pangeran Jisoo telah mengetahui identitasnya. Dipikir-pikir juga, kayaknya marganya disebut-sebut tadi. Ah, shit. Beneran udah runyam ini mah.
Ketika pintu ditutup bagi mereka, Pangeran Jisoo langsung duduk di sofa, tepat berseberangan dengan tunangannya.
“Silakan duduk, Yoon,” diambilnya seset cangkir serta teko yang masih panas. “Kuseduhkan teh.”
Jeonghan ingin menampik, bertanya bukankah itu tugas pelayan, namun bibirnya terlalu berat untuk dibuka. Lagipula, otaknya masih terus berputar mencari cara untuk memutuskan pertunangan satu pihak ini dengan sediplomatis mungkin. Dia yakin Pangeran Jisoo punya pemikiran yang terbuka dan bukan tipe yang suka memaksakan kehendak.
At least, he hopes so.