Part 114

#gyushuaabo

“Suami nyokap lo...masih tinggal di sana.”

“Di rumah gue yang lama...? Belom pindah dari sana?”

Vernon mengangguk.

”...Gitu ya?”

”...Lo beneran mau ke sana?”


“Dia pasti cinta sama Mama.”

Ya, Joshua ingat. Kini, ketika dirinya sudah lebih tenang dan memiliki hubungan romansa yang stabil dengan seorang Alpha yang lembut—yang membuatnya mempertanyakan stereotip Alpha yang diyakininya selama ini—Joshua bisa menelaah malam naas itu dengan lebih objektif.

“Dan Mama pasti cinta juga sama dia...”

Dan ia ingat, di antara rasa takut dan kepanikan akan sentuhan dan kata-kata tak senonoh, ada suatu momen yang luput olehnya sampai detik ini.

Yakni, ketika napas panas terasa di lehernya, siap untuk mengklaim kelenjar feromonnya, Alpha yang tengah menindihnya itu seketika menggigit lengannya sendiri. Bau darah anyir menguar. Air mata deras mengalir. Rintihan dan pemberontakan terus terdengar.

Namun, lehernya bersih tanpa bekas gigitan sama sekali.


Aman dalam pelukan Alphanya, Joshua menangis dan menangis. Di suatu momentum, ia membalikkan badan, membasahi bagian depan jaket Mingyu. Namun, sang Alpha tidak memedulikan hal itu sedikit pun. Dikecupinya kepala sang kekasih. Dibelainya lembut punggung yang telah keluar sebagai pemenang dalam pergelutan yang berlangsung teramat panjang itu.

Sambil memeluk Joshua, Mingyu mengarahkan pandangan pada Alpha di hadapan mereka. Alpha itu saat ini terduduk bersimpuh. Wajahnya kacau. Aliran darah mengucur dari keningnya. Air mata terus menuruni kedua pipi. Ia tidak berani mengangkat wajah untuk melihat mereka berdua, terus saja menatap aspal dan kedua tangannya yang terkepal di atas lutut.

“Tuan...,” Mingyu tidak mengetahui nama pria itu, maka ia tidak memanggilnya. Pun, ia tidak yakin apakah marganya sama dengan Joshua. “Meski dalam keadaan seperti ini, ijinkan saya memperkenalkan diri.”

Joshua terisak.

“Nama saya Kim Mingyu. Saya berniat menikahi Joshua,” nadanya terlantun dengan tenang. Ia memperkenalkan diri, juga meminta ijin untuk meminang sang Omega. Seperti halnya ia meminta ijin pada sang ibunda dahulu kala.

“Seperti yang dikatakan Omega saya, saya pun berterima kasih pada Anda karena tidak menggigit Joshua saat itu. Saya pun Alpha. Saya tahu betapa sulitnya menolak Omega dalam keadaan estrus...”

Gamitan Mingyu mengencang. Secercah keposesifan menggeluti. Matanya berkilat kala ia melanjutkan ucapannya.

”...Tetapi saya yang akan menjaga Joshua mulai sekarang dan selamanya. Tidak akan pernah ada Alpha yang menyakitinya lagi,” sebuah ancaman, jelas dan tegas bagai ombak menghantam karang, agar tidak terlintas lagi di pikiran Alpha itu untuk menyentuh Joshua. Feromonnya pun berkobar, hampir mencekik sang Alpha. “Saya berjanji pada Anda bahwa saya akan membahagiakannya dengan segala yang saya bisa dan punya.”

Lalu, Mingyu sedikit membungkuk sebagai gestur kesopanan.

Sang Alpha tidak bereaksi apapun. Ia tahu bahwa restunya tidak pernah diperlukan. Ia tahu bahwa anak itu tidak perlu memaafkannya. Ia tahu dan menerima seluruh dosa yang telah ia timpakan pada keluarganya sendiri, pada wanita satu-satunya yang ia cintai dan anak lelaki yang telah ia anggap seperti anak sendiri. Dibesarkan tanpa cinta kasih orangtua, ia hanya ingin memiliki keluarganya sendiri di kemudian hari. Beratus kali ia mengutuk kenyataan mengapa ia terlahir sebagai Alpha. Apabila ia Beta, maka kejadian itu takkan pernah ada.

Namun, anak itu...bukan hanya memaafkannya, tetapi juga berterima kasih padanya...

...Untuk apa?

Apa yang perlu diberikan ucapan terima kasih pada Alpha yang pernah berusaha memerkosanya...?

Mengapa?

Maka, sang Alpha menunduk semakin dalam. “Maafkan aku...,” bisikan lirih. Mungkin tidak tersampaikan pada kedua pasangan di hadapannya. Mungkin tidak cukup untuk mengobati luka yang telah ia torehkan di hati dan tubuh si anak.

Tapi...tapi...

“Mama masih cinta sama Papa...”

Seutas kalimat dan, tiba-tiba, ia mendongak. Akhirnya, matanya bertemu dengan mata anak itu dan kekasihnya. Tidak ada benci ataupun jijik di sorot matanya. Anak itu sambil menangis berkata lagi, lebih jelas kali ini.

”...Mama bilang nggak pernah sekalipun dia merasa nggak bahagia sama Papa...”

Oh, Tuhan...

Dalam keheningan, air mata mengalir lagi, jatuh dari pelupuk menuruni pipi sang Alpha.

”...Mama nggak pernah berhenti mencintai Papa...”

Tuhan...

Dan, sekali lagi, pria itu hancur di hadapan mereka. Ia menekan kedua telapaknya ke wajah. Ia meraung dan meminta maaf, kemudian memanggili nama ibu Joshua. Lolongannya menyayat hati. Joshua kembali menyembunyikan wajahnya ke dada Mingyu, tidak tahan mendengarnya. Sang Alpha segera mengelusinya lagi. Jakun Mingyu bergerak naik turun tiap degukan, berusaha menahan diri untuk tidak ikut terenyuh, meski hatinya bagai digurat setiap lolongan keluar dari mulut Alpha tersebut.

Ketika seorang Alpha akhirnya menangis melolong, itu adalah tanda sebuah keputus asaan.


“Nyonya Hong? Anda baik-baik saja?”

“Dokter...Jeon?”

“Jangan bangun dulu. Berbaringlah,” ditekannya kompres kain ke kening wanita itu. “Suhu tubuh Anda sempat meninggi tadi. Apa yang Anda rasakan saat ini, Nyonya?”

”...”

“Nyonya?”

“Rasanya ada sesuatu yang meluap dari dalam dada saya, Dokter,” desahnya. “Seperti tercabik, tapi saya tidak tahu karena apa...”

Hening. Lalu, Dokter Jeon mengambil sapu tangan satin dari sakunya.

“Silakan, Nyonya.”

Tanpa disadari wanita itu, air mata telah mengaliri kedua pipinya.

”...Eh?”

...Sejak kapan ia menangis?

“Suami saya sedang di bawah bersama pelayan Anda, menyiapkan teh herbal racikannya untuk Anda. Saya harap Anda maklum kami menggunakan dapur Anda tanpa ijin sebelumnya.”

Wanita Beta itu mendengar hanya separuhnya. Ia menoleh, menatap langit kelabu pada suatu siang di musim dingin yang gersang. Mengabaikan sapu tangan pada genggaman, Nyonya Hong perlahan memejamkan mata.

Seakan ia merindukan sesuatu, entah apa.