Part 113

#gyushuaabo

PRANG!!

“Nyonya?!” tergopoh-gopoh, sang pelayan menyeberangi koridor menuju ruang duduk dimana Nyonya Hong tengah menikmati teh jam tiganya. Wajah berbintik-bintik itu pucat pasi melihat pecahan cangkir porselen berserakan dekat kaki majikannya. “Ya Tuhan! Nyonya, Anda tidak apa-apa?”

Pertanyaan yang tidak bisa langsung dijawab oleh sang Beta. Pasalnya, perasaan tidak enak meluap dari dalam rongga dadanya. Keresahan. Kegelisahan. Ada sesuatu yang salah di hari itu, siang itu, jam dan detik itu, namun ia tidak mengetahui apa penyebabnya. Ada sesuatu, di dalam, menggelitik serigala yang telah tertidur lama di sanubarinya.

Cangkir yang pecah. Ketidaknyaman yang membuncah, merembes dari tiap pori kulitnya.

“Nyonya...? Nyonya?!”

Nyonya Hong mendadak menutup mulutnya dengan tangan. Keringat dingin mengucur di sisi kening.

“S-saya akan menelepon Tuan Dokter!”


(“Halo, Papa.”)

Hari itu, ia terbangun dengan sedikit rasa nostalgia. Ranjangnya yang kini dingin pernah mengenal hangatnya sebuah cinta. Pernah ada Beta yang terindah menduseli sisi lehernya, mencari perlindungan dan kasih sayang di sana. Wanita tercantik yang pernah ia lihat meski rambut panjangnya yang terhampar di atas seprai putih kusut masai. Meski salju turun dan membekukan seluruh dunia di penghujung bulan Desember, dalam pelukan wanita itu, semua serpihan salju pun luruh menjadi awal musim semi.

Ia menyambut hari dengan haru biru, tersenyum simpul memandangi langit melalui jendela, menyesali suatu kenangan yang takkan pernah kembali selamanya.

Sampai saat ia membuka pintu gerbang rumahnya, berencana membeli beberapa bahan masak untuk makan siang, dan hantu masa lalu datang menabraknya begitu saja bagai truk lepas kendali di turunan. Kunci gerbang yang ia bawa terjatuh, teronggok terlupakan di tumpukan salju, sementara sang empunya menunjukkan seribu satu ekspresi yang terus berubah.

Ia tidak tahu harus berbuat apa, berkata apa, memasang rupa seperti apa. Segala, semua; bersatu padu, bercampur aduk. Kebingungan. Kelegaan. Kerinduan. Ketakutan.

Dan rasa bersalah.

Yang terakhir menghantamnya persis di ulu hati. Asam lambungnya bagai memberontak dan berbalik menaiki esofagus. Panik, ia berbalik begitu cepat. ‘Lari’, kata otaknya. Fight or flight response, sebuah pertahanan diri yang terekam otomatis dalam tubuh manusia ketika dihadapkan oleh lingkungan atau peristiwa yang penuh tekanan. Ia tidak bisa menjalani hal yang sama untuk kedua kalinya. Tidak kuat mentalnya mengalaminya lagi.

Anak itu.

Anak itu tidak seharusnya kembali ke sini, ke tempat di mana rumah adalah saksi bisu kejadian naas yang menimpa keluarga di dalamnya lebih dari satu tahun yang lalu. Anak itu seharusnya sudah hidup tenang, jauh, jauh dari dirinya dan dari serigalanya yang—

“Tunggu!”

Bagai kerbau yang dicucuk hidungnya, sang Alpha berhenti. Ia berhenti, dengan kaki gemetar dan punggung menghadap si anak. Bulir keringat menuruni tengkuknya. Selain anak itu, feromon lain yang lebih kuat mulai menggeluti udara sekitar mereka. Feromon Alpha lain. Reaksi alamiah Alpha akan perubahan pada feromon seorang Omega.

“Aku—”

“Ma—”

Sebelum anak itu sempat berkata apa-apa, ia sudah mendahuluinya dengan bersujud di depan si anak. Si anak menarik napas terkesiap. Ujung hidungnya menyusruk aspal jalanan, tidak peduli apakah luka atau tidak. Seluruh bagian kulitnya bercucuran keringat. Gerigi otaknya macet, tak mampu berpikir apapun. Jantungnya berdentum dalam dada.

“Ma—ma—maaf—ma—”

Terbata-bata. Seluruh tubuhnya gemetar. Ia ingat. Ia ingat lagi. Malam itu. Saat itu. Ia ingat lagi. Air mata menggantung di pelupuk, turun dengan diam-diam sepanjang pipi.

“—maaf—ma—maaf—maaf—”

Bagai kaset rusak. Sesuatu telah rusak dalam dirinya di saat itu, ketika serigalanya telah melesap dan ia kembali menjadi manusia kala membuka mata di rumah sakit, tersadar akan apa yang ia lakukan pada anak itu dan apa akibatnya pada satu-satunya wanita yang ia cintai. Pada satu-satunya keluarga yang ingin ia bangun dengan seluruh harapannya.

“—ma—”

Suaranya terputus. Serak, lalu lenyap. Air mata membanjiri celah kecil antara muka dan aspal di bawahnya. Ia membentur-benturkan perlahan keningnya ke sana. Tidak tahu lagi harus meminta maaf seperti apa. Berkali-kali ia mengulang, membayangkan dirinya memohon ampunan pada dua orang yang telah ia sakiti, namun nasi telah menjadi bubur. Ia hanya bisa menyesal dan menyesal. Hidup bagai rongga kopong setiap menit dan setiap detik.


Mingyu terlalu terkejut untuk bisa mencerna apa yang sedang terjadi di hadapannya. Pria Alpha itu bersujud, membenturkan kepalanya ke aspal sambil terus melayangkan permintaan maaf. Jelas bukan reaksi yang ia harapkan dari seorang Alpha yang telah meninggalkan trauma mendalam pada seorang Omega.

Anomali. Alpha yang tidak umum berada di negara ini.

Di satu sisi, Mingyu merasa iba akan si pria. Bagaimanapun, hatinya yang lembut tidak tega melihat pemandangan mengenaskan seperti itu. Di sisi lain, pria yang sama telah menindih dan membisikkan kata-kata kotor ke telinga kekasihnya. Menyentuhnya; tangan nista pada kulit perawan sang Omega. Mengingat kisah itu lagi, darah dalam nadinya mulai memanas, meski ia menahan diri demi Omeganya.

Demi Joshua.

Karena Joshua lah yang harus memutuskan jalan mana yang akan ia ambil saat ini.

Maka, sebagai Alphanya, Mingyu mengeratkan genggaman pada tangan Joshua, dalam keheningan memberitahu Omega itu bahwa ia ada di sini bersamanya. Kemanapun Joshua ingin melangkah, ia akan menemaninya sampai titik darah penghabisan.

Sesuai janjinya pada sang Omega.


Tangan Mingyu membalas genggamannya, menyadarkan Joshua bahwa ia tidak lagi sendirian. Ia tidak lagi hanya bisa berlindung di bawah ketiak ibunya ataupun Vernon. Ia ada di sini, berdiri di hadapan Alpha yang meringkuk di aspal berselimutkan salju, bersama kekasihnya di sisi.

Betapa lucu karma itu bekerja.

Betapa naas.

Joshua melepas tangan Mingyu dan berjalan tenang. Parasnya iba. Pria itu dalam ingatannya besar dan tinggi. Pria di hadapannya nampak rapuh dan kecil. Seperti ibunya. Dua insan yang perlahan terkikis oleh waktu. Alpha dan Beta yang pernah terikat dengan cincin di jari manis dan sumpah setia selamanya.

Langkah Joshua terhenti. Napas berembus. Syal hijau sengaja dirapatkan. Tangan yang menghilang ke dalam saku mantel yang tebal. Ujung hidung Joshua memerah digerogoti cuaca.

“Waktu itu—”

Haa...

Terkepul uap putih.

“—Papa nggak gigit aku.”

Bola mata Mingyu melebar. Sebuah pemahaman yang terlambat.

“Walau...walau Papa nyerang aku, maksa aku....walau...walau Papa...bilang semua itu...semua hinaan itu...”

Nyeri, terasa di sudut hati Kim Mingyu. Ia menyaksikan bagaimana bahu kekasihnya bergetar. Bagaimana suara Joshua melemah, menjadi getir oleh emosi. Bagaimana ia berusaha keras untuk berdiri di atas kakinya sendiri saat ini, meski dengan susah payah.

”...tapi Papa nggak gigit aku. Papa nggak klaim aku.”

Bagaimana kekasihnya, Omeganya, Joshuanya, berusaha mengumpulkan kepingan dirinya dengan begitu berani persis di depan iblis dari masa lalunya.

”...Papa nggak ambil masa depanku sama Alphaku...”

Bagai helaan. Joshua kemudian menunduk. Ia sudah di ujung tanduk. Alpha itu terus saja membungkuk. Ia menangis tersedu-sedu. Pun, setetes, dua tetes bulir tangis terlepas dari mata sang Omega.

“Terima kasih...”

Karena aku masih bisa bersama Mingyu secara utuh tanpa kurang suatu apapun...

“Terima ka—”

Joshua tercekat. Kata-kata tidak lagi mau keluar. Mingyu, menyadari itu, lantas maju dan memeluk kekasihnya dari belakang. Salah satu lengan melingkari separuh wajah bagian bawah Joshua dan satunya lagi menemukan pinggang sang Omega. Joshua refleks merenggut lengan jaket Mingyu, mencengkeramnya bagai jangkar terakhir di dalam hidup. Wangi teh Darjeeling dilepaskan dengan bebas, menyelimuti sang Omega dalam kehangatan yang nyaman.

”...Sudah, ssh, ssh,” bisik Mingyu. Ditenangkannya Joshua yang menangis deras dalam pelukannya. “Anda hebat sekali...ssh, ssh, ssh, ssh...”

Betapa menakjubkannya Omega kekasihnya itu. Memaafkan bukanlah hal yang mudah, namun Joshua melewatinya dengan baik sekali. Mingyu bangga akan Omeganya.

Dan sekarang, sejak saat ini, ia akan membantu Joshua mengumpulkan kebahagiaan, serpih demi serpih, sampai pundi-pundi mereka penuh dengannya. Sampai Joshua hanya mengenal tawa dan senyuman manis senantiasa terpateri di wajahnya. Sepanjang hidupnya.