Part 111

#gyushuaabo

Tidak seperti biasanya, pagi itu Joshua lebih banyak diam. Meski cemas akan keadaan Omeganya sejak semalam, Mingyu tidak ingin mengoreknya lebih jauh lagi. Bila Joshua ingin bercerita, maka ia akan bercerita tanpa sungkan. Dinamika mereka selalu seperti itu.

Namun, sebagai seorang Alpha, pun tidak mudah baginya untuk menahan kegelisahan yang terus bergumul di dalam hati. Tidurnya tanpa lelap memikirkan kebungkaman Omeganya, baik di perjalanan pulang kemarin ataupun saat ini, ketika Joshua hanya memainkan pancake hangat di piringnya tanpa secuil pun memasuki mulut. Garpu dan pisau Mingyu kemudian berhenti memotong ham dingin di piring, berakhir ditelantarkan begitu saja karena pemiliknya mendesah perlahan.

“Sayang...”

Joshua tidak terburu-buru mengangkat wajahnya untuk menatap Mingyu. Sorot matanya tenang, hampir-hampir apatis, berkebalikan dengan Alphanya yang tak mampu menyembunyikan rasa cemas yang membuncah melalui jendela hatinya.

“Apa ada yang bisa saya bantu...?”

“Bantu?” Joshua malah menelengkan kepala, seolah bingung akan maksud Mingyu.

”...Apakah dugaan saya salah?” sang Alpha meneruskan. “Bila tidak ada sesuatu yang menjadi beban pikiran Anda, lalu kenapa Anda tidak makan sesuap pun?”

Seakan baru tersadar, Joshua menunduk, melihat sarapannya masih utuh, dan bergumam, “...Oh.”

Helaan napas, lagi-lagi, meluncur dari celah bibir sang Alpha. Joshua menusuk dua potongan kecil pancake sekaligus, dioleskannya sedikit mentega (yang sudah mencair di suhu ruangan kini), kemudian dilahapnya sekaligus. Untuk beberapa saat, Mingyu memperhatikan Joshua makan dalam keheningan, tak peduli kesibukan di restoran hotel pagi itu mengitari mereka bagai musik latar yang monoton.

“Besok,” Mingyu tiba-tiba berucap, membuat Joshua hampir tersedak. “Ulang tahun Anda. Apa yang Anda inginkan untuk ulang tahun Anda tahun ini?”

Pertanyaan yang dimaksudkan sang Alpha untuk meringankan suasana (“Kue keju! Buket bunga! Aku melihat gelang yang cantik sekali kemarin—”) malah mengakibatkan efek yang berbeda 180 derajat. Alih-alih berbinar, anak itu mengerutkan alis dalam-dalam.

”...Sayang?”

“Mingyu.”

“Ya?”

“Hari ini kamu ke mana?”

Kerjapan mata. Pertanyaan yang aneh. Bukankah sudah jelas? Mingyu akan mengikuti kemana pun Omeganya pergi. Sesuai janjinya pada dirinya sendiri, juga pada kakaknya, bahwa ia tidak akan melepas sedetik pun matanya dari Joshua.

Kakaknya juga meminta Mingyu untuk awas terhadap suasana sosial dan politik di negeri ini, namun, sejauh mata memandang, semua nampak baik-baik saja. Tidak ada kekisruhan signifikan sebagai dampak melemahnya raja Alpha mereka, mungkin karena dikendalikan oleh tangan kanannya selama sang raja abstain. Pun percakapannya di rumah keluarga Chwe berujung kesimpulan bahwa, benar, cukup banyak yang meragukan kesembuhan sang raja, tapi belum ada yang berani menyatakan dengan gamblang sebuah rencana kudeta. Setidaknya, itulah yang ia tangkap dari penjelasan berputar-putar ayah Vernon karena pria itu tidak ingin dicap calon pemberontak.

Meski begitu, Mingyu menyadari satu-dua hal ketika memandangi suasana kota selama perjalanan: bahwa nasib Omega di negara ini tidak berbeda dari terakhir ia tinggalkan. Masih saja mereka diseret tali kekang, masih dianggap lebih rendah dari binatang. Darah Mingyu bergejolak panas tiap kali menyaksikan kesemena-menaan terhadap Omega di depan hidungnya, namun ia tahan dirinya mati-matian demi Omega yang ada di sisinya. Ia hanya berharap Joshua tidak melihat apa yang ia lihat.

Joshua hanya boleh melihat taman bunga yang mekar indah. Melihat langit biru yang cerah dan matahari yang bersinar bahagia. Semua yang cantik. Semua yang baik.

Dunia yang bisa membuatnya selalu tersenyum...

“Mingyu? Kok kamu bengong?”

Sang Alpha berdeham. “Tidak. Eh, maksud saya, saya tidak ada rencana apapun. Saya akan pergi kemanapun Anda kehendaki,” senyumannya merekah lembut. Sayangnya, senyuman itu tidak terefleksi balik di wajah kekasihnya.

“Kalo gitu,” suara Joshua terdengar tenang—terlalu tenang. Giliran Mingyu yang mengerutkan kening dibuatnya. “Hari ini temenin aku. Seharian. Aku mau pergi ke suatu tempat hari ini. Aku harus ke sana.”

Walau Mingyu tidak paham apa-apa, melihat kebulatan tekad Joshua, tak terlintas sedikit pun pemikiran untuk menolak permintaan tersebut. Maka, sang Alpha hanya bisa mengangguk menyetujuinya.