Part 104

#gyushuaabo

Gugur daun terakhir melayang tersapu angin kering bulan Desember. Mantel-mantel berat dikeluarkan dari kotak tempatnya tersimpan dan berpindah ke bahu orang-orang yang lalu lalang di jalan. Sup kacang polong panas dan harum kacang kenari panggang mulai mengisi area toko, membuat yang tergesa-gesa sekalipun berhenti sejenak untuk menghangatkan perut dari udara dingin yang menggigit tiap jengkal kulit mereka.

Dunia di musim dingin bagai lukisan kosong yang kesepian.

Joshua melewati masa estrusnya ketika cuaca di luar jendela kamarnya seperti itu. Anak itu menimbun dirinya sendiri dengan pakaian Mingyu, membohongi Omeganya kalau Alphanya ada di situ bersamanya. Dalam satu hari, ibunya dua kali membuka kunci kamarnya untuk memastikan anaknya tidak mati akibat dehidrasi. Namun, berbeda dari estrus sebelumnya, estrus kali ini lebih jinak, lebih mudah dikendalikan. Di hari kelima, kabut hasrat dalam kepalanya telah menguap, suhu tubuhnya mulai turun ke normal, dan ia merasa lapar sekali. Begitu ia turun dari kamar di sore itu, ia memenuhi pipinya dengan hidangan lezat yang ibunya persiapkan untuknya sampai ia menghela napas puas.

Minggu ketiga Desember, lewat seminggu setelah masa estrus Joshua selesai, Mingyu akhirnya bertandang ke rumahnya.

“Tuan Kim,” Nyonya Hong lah yang membukakan pintu.

“Nyonya,” sang Alpha mendekap topinya ke dada dan menundukkan kepala dengan hormat. Kerah mantelnya ia tegakkan untuk menghalau dinginnya angin. “Bagaimana keadaan Joshua? Apakah aman baginya bila saya masuk?”

“Oh, silakan, silakan!” dibukanya pintu dengan lebar.

“Kalau begitu, permi—”

Sebentar.”

Lengan Nyonya Hong mendadak terjulur, menghalangi sang Alpha untuk melewati ambang pintu. Mingyu terkejut, tapi refleks berhenti seketika itu juga. Matanya mengedip-ngedip penuh tanda tanya.

“Ya, Nyonya?”

“Saya dengar dari putra saya bahwa Anda akan pergi menemaninya.”

Sentakan napas terdengar.

“Apakah betul begitu, Tuan Kim?”

Tatapan menyelidik. Mingyu menemukan dirinya kembali ke saat ia diinterogasi pertama kali oleh wanita itu, kembali ke kondisi gugup dan sebulir keringat dingin turun dari sisi keningnya.

“B-betul, Nyonya,” akunya. “Begitu mendengar permintaan Joshua, saya tidak bisa begitu saja melepasnya.”

Joshua, muda belia dan dalam kondisi primanya. Joshua, yang belum diklaim Alpha manapun di lehernya. Omega yang berharga dan akan berkeliaran di negara yang memperlakukan mereka bagai debu di ujung sepatu. Kim Mingyu pasti gila bila tidak menjaga tunangannya dari jamahan Alpha lain di sana.

Nyonya Hong mendesah berat. Tampak jelas ia pun mempertanyakan keputusan putranya itu. “Sungguh, ini membingungkan bagi saya,” keluh sang wanita Beta. “Padahal saya lihat dia bahagia di sini. Tidak ada yang baik dari kepulangannya ke sana. Terkadang, saya tidak paham apa yang ada dalam pemikiran anak itu...”

Mingyu merenung. Rupanya bukan hanya dirinya yang heran akan keputusan Joshua.


(“Ap—Kenap—A-Anda akan kembali selamanya ke sana mendadak begini...?”)

(“Oh. Enggak kok. Cuma sebentar aja. Ada...sesuatu yang perlu aku kelarin di sana.”)

(“Tapi—Anda—Di sana berbahaya—”)

(Mm. Aku tau. Makanya, kamu mau kan nemenin aku?“)


Kedua alis sang Alpha mengerut.

“Saya setuju, Nyonya, saya pun tak paham,” ucapnya. “Namun, bila itu kehendak Joshua, maka yang bisa saya lakukan hanyalah menjaganya dari apapun yang bisa menyakitinya.”

Nyonya Hong diam. Lalu, ia memandangi calon menantunya itu dengan dagu agak terangkat, menegaskan kuasa dan keseriusannya dalam setiap janji yang terucap dari mulut sang Alpha.

“Dan apakah itu termasuk dari Anda, Tuan Kim?”

Mingyu menatap balik sama tegasnya. Tidak gentar ketika menjawab, “Ya, Nyonya Hong, termasuk dari saya sendiri.”

”...Baik. Tolong jaga dia, Tuan, kembalikan dia tanpa kurang apapun pada saya.”

Kini, Mingyu tersenyum.

“Baik, Nyonya—”

“MIIIINNNNGGGYYUUUUU~!!!”

Yang namanya dipanggil menoleh bertepatan dengan tubuh yang melompat dari tiga anak tangga terbawah. Bola mata sang Alpha melebar, sedangkan Nyonya Hong spontan menutup mulut dengan kedua tangannya.

BLUGH!!

“JOSHUA!” teriak Nyonya Hong. Sang Omega tidak menghiraukan teriakan itu, malah mendusel-dusel sisi leher Alphanya. “ASTAGA, NAK! APA-APAAN KAMU?!”

“Joshua, ya Tuhan...,” kali ini, Mingyu setuju. Tubuhnya yang besar jatuh tertiban, terkapar mengenaskan di lantai kayu rumah keluarga Hong. Tangannya menggamit bagian belakang pinggang sang Omega dalam usahanya menolong. Napas agak memburu karena keterkejutan. “Tolong jangan melakukan hal seperti tadi lagi. Itu berbahaya. Jantung saya hampir saja copot.”

Bukannya bertaubat, sang Omega malah manyun (˘・_・˘)

“Mingyu nggak kangen aku...?” (˘・_・˘)

“Bukan begitu...,” lelah. “Saya hanya tidak ingin Anda terluka...”

“Nggak akan luka, kan kamu nahan aku.”

“Sayang...”

“Shua! Kamu ini!” tiba-tiba, ibunya menjewer telinganya.

“ADEDEDEDEH—!!”

“Nggak usah pake alesan kangen, kangen! Jangan loncat dari tangga begitu! Kebetulan Tuan Kim bisa nangkep kamu. Kalo enggak, gimana?!”

“SAKIT, MAH!!”

“DENGER NGGAK??!”

“IYA, DENGER KOK!! LEPASIN AH!!”

Saat telinganya dilepas, Joshua langsung merangkak mencari perlindungan ke balik tubuh besar kekasihnya.

“Kamu ngumpet ke Alpha kamu juga nggak ngaruh! Awas kamu ya, berbuat kayak gitu lagi! Anak makin gede bukannya makin dewasa, malah kayak anak kecil mulu—”

Sambil misuh-misuh, Nyonya Hong berderap pergi. Ia masih harus membenahi pakaian musim panas dan musim gugur untuk diganti ke pakaian musim dingin dan musim semi di kloset bajunya. Belum lagi menyiapkan kue dan hidangan untuk dibagikan ke para tetangga. Dirinya sibuk sekali hingga tak ada waktu memarahi putranya! Biarkan saja Alphanya yang bertanggung jawab untuk itu.

Begitu Nyonya Hong berlalu, Mingyu menghela napas. Joshua menunduk, sengaja memainkan ujung jari-jemarinya agar tidak perlu menatap balik ke Alphanya.

“Sayang, ibu Anda benar. Melompat dari tangga seperti tadi itu berbahaya sekali,” ujar Mingyu padanya.

“Tapi aku kangen...”

“Anda kan bisa turun tangga dengan normal,” ia menyapu poni yang jatuh ke wajah kekasihnya dan diselipkannya kembali ke belakang telinga. “Saya tidak akan kemana-mana. Tidak perlu terburu-buru begitu.”

“Mm...,” sang Omega melirik ke atas dari balik bulu matanya dengan gemas. “Maafin aku ya?”

“Asalkan Anda tidak mengulangi—”

“Janji,” potongnya.

Kim Mingyu pun tertawa. Ia memajukan wajah dan mengecup bibir kekasihnya. Joshua pun memperpanjang ciuman mereka dengan memeluk Alphanya. Mereka berciuman hingga feromon mereka menyelimuti keduanya, hingga rasa rindu mereka lenyap tak berbekas.

Ketika akhirnya Mingyu menyadari bahwa mereka masih terduduk di lantai, sang Alpha mengangkat Omeganya ke dalam gendongan. Joshua memekik, namun kemudian tertawa kencang. Mereka berpindah ke sofa ruang keluarga dan, di sana, berciuman lagi, memenuhi ruangan tersebut dengan wangi kue Natal dan teh Darjeeling.

“Kamu jadi nemenin aku?”

Mingyu mengecup bibir bawah sang Omega yang memerah. “Takkan saya biarkan Anda pergi sendirian ke sana,” bisiknya ke bibir itu.

“Tapi nggak apa-apa kan? Kakak kamu?”

“Saya memberitahunya melalui surat. Bila memang tak memungkinkan, Kakak pasti sudah menulis balik pada saya. Keabsenan balasan itu saya artikan sebagai ketiadaan masalah.”

“Mm...,” Joshua mengangguk-angguk. Dia menempelkan pipinya ke kelenjar feromon Mingyu, menghirup sebanyak yang ia bisa. “Eh, tapi aku belum beli tiket...”

“Oh, saya sudah menelepon agen,” Alphanya melanjutkan. “Dan saya sudah memesan dua kamar di kelas terbaik mereka. Hari Senin minggu depan, kapal akan berangkat dari pelabuhan tepat jam delapan pagi. Saya akan menjemput Anda dua jam sebelumnya.” Mingyu mengelus lengan kekasihnya. “Penginapan di negara Anda pun sudah saya pesankan.”

“Oh ya? Kamu bisa?” Joshua menatap Mingyu.

Sang Alpha mengangguk, “Saya beberapa kali ke negara Anda, jadi saya punya tempat yang sering saya gunakan untuk penginapan sementara.”

“Oh iya ya...,” benar. Mingyu pernah mengatakannya. “Di mana?”

“Savoy.”

Bused.”

Mingyu tertawa lagi.

“Mahal banget?? Beneran nggak apa nih di sana??”

“Tidak apa,” sang Alpha menenangkannya. “Saya kenal manajer hotelnya. Tuan Cha dengan senang hati menyiapkan dua kamar terbaiknya untuk kita.”

“Oh...,” Joshua membuka mulut lagi. “Tapi aku nggak punya uang buat bayar—”

“Saya sudah membayarnya.”

“Mingyu!”

“Sayang, jangan dipikirkan hal-hal seperti itu,” dikecupnya pipi Joshua dengan lembut. “Saya tidak tahu Anda kembali karena apa, tapi setidaknya, yang bisa saya lakukan adalah memastikan Anda aman di sana. Savoy hanya mempekerjakan Beta dan mereka memiliki keamanan paling ketat. Tamu mereka pun bukan sembarang orang. Saya hanya ingin menjamin keselamatan Anda.”

Sampai rencana kakaknya dan Tuan Kwon tercapai.

“Apalah arti sedikit uang jika itu untuk memastikan Anda tidur dengan nyaman setiap malam...?”

Joshua tidak menjawab. Ia hanya menarik Mingyu kembali ke pelukan dan ciumannya. Kembali mencurahkan isi hati yang penuh rasa terima kasih pada Alphanya dengan cara yang menurutnya paling tepat saat itu.

Ia mencintainya. Ia mencintainya.

(“—orang yang tepat bisa bikin kamu nggak nyesel udah ngasih itu semua—”)

Ia ingin memberikannya pada Alpha ini.