Part 102

#gyushuaabo

Begitu dia memasuki lorong rumah, nampak ibunya duduk di kursi di depan perapian yang mati. Bulan November merupakan peralihan musim gugur ke musim dingin. Belum saatnya membakar kayu sebagai sumber kehangatan, namun mereka sudah harus menyetok beberapa untuk musim dingin bulan depan. Joshua juga harus menukar artikel pakaian Mingyu yang sudah hilang bau feromonnya ke yang lebih baru, karena dia akan membutuhkannya saat memasuki masa estrusnya nanti.

Sambil mempertimbangkan hal-hal tersebut, si anak berjalan perlahan mendekati ibunya dalam diam.

“Shua,” ibunya mendongak dari buku yang dia baca. “Baru pulang jam segini, Nak?”

“Tadi diajak makan sama Myungho, sama Dokter,” jelasnya.

“Ooh,” ibunya hendak kembali membaca, tapi anak itu melanjutkan.

“Mah.”

Mendengar itu, ibunya menoleh. Melihat keseriusan di paras putra semata wayangnya itu, dia berkedip satu kali. Tali pembatas buku lalu diselipkannya dan, dengan segera, benda itu tersingkir ke nakas sebelah kursi.

“Ya, Nak?”

Tangan-tangan terambil. Jari-jemari terkait. Elusan menenangkan oleh telapak tangan ibunya yang kapalan membuat si anak serta merta jatuh terduduk di sisi kaki. Ia menyenderkan kepalanya di paha ibunya, memejamkan mata dan mendengkur senang ketika ibunya menyusuri kulit kepalanya dengan kuku-kukunya.

“Ma...aku tuh kepikiran,” gumamnya. “Aku bilang ke Mingyu kalo aku nggak mau dia nahan lagi Alphanya gara-gara aku, jadi aku minta dia buat lepasin Alphanya pas estrus nanti. Omegaku juga...dia mau ketemu Alpha Mingyu...”

Ibunya nggak berkomentar, terus saja mengelusi kepala putranya.

“Tapi Dokter Jeon...Myungho juga...bilang kalo itu bakalan sakit banget. Mereka bilang kalo aku jangan nekat minta Mingyu lepasin Alphanya di malam pertama kita. Soalnya...aku kan masih...”

Joshua nggak perlu mengatakannya. Ibunya tentu sudah paham.

“Aku...aku mau kasih dia segalanya, tapi aku juga nggak mau kalo sakit gitu...”

Ibunya dalam hati berpikir, 'ah, betapa cepat waktu berlalu.’ Bayi yang dulu dikandungnya, kini sudah akan menjadi milik orang lain. Anak yang dulu begitu mungil dan rapuh, kini memikirkan bagaimana caranya membahagiakan Alpha yang dia sayangi.

“Kamu tau nggak? Kalo sama orang yang tepat, Alpha sekalipun, walopun sakit, kamu bakal tetep bahagia?”

Joshua mendongak sedikit, memandang ibunya bingung. Sakit kok bahagia?

“Joshua. Bercinta untuk pertama kali pasti sakit, soalnya ada masuk benda asing ke badan kamu. Pasti aneh. Nggak nyaman,” ibunya menangkup pipi anaknya. “Tapi, orang yang tepat bisa bikin kamu nggak nyesel udah ngasih itu semua dan malah buat kamu jadi bahagia setelahnya.”

Joshua berkedip beberapa kali.

“Masalah kamar itu urusan kalian berdua nanti sebagai pasangan suami. Ada baiknya kamu bahas soal ini sama Alpha kamu, Nak, bahkan sebelum kalian nikah, biar kalian sama-sama tau seperti apa kehidupan kamar kalian nanti.

Soal ngelepas Alpha...Mama cuma bisa bilang kalo dalem masa estrus, emang Alpha tuh jadi...beda...jadi lebih buas...lebih...”

Ibunya berhenti. Parasnya pun nggak nyaman. Joshua tahu benar kenapa ibunya jadi seperti itu.

“Mah...”

“Maaf, Sayang, harusnya Mama enggak bawa-bawa dia lagi—”

“Mah...nggak apa kok,” diambilnya tangan ibunya untuk digenggam. Hangat dan menenangkan. “Aku udah nggak apa-apa. Mingyu...pandanganku soal Alpha udah lumayan berubah karena dia. Mingyu yang bikin aku bisa percaya sama Alpha lagi...”

Ibunya kemudian tersenyum.

“Kamu cinta sama Tuan Kim, Nak?”

Dengan tegas, Joshua mengangguk, “Aku cinta sama dia.”

Kecupan, di kening dan di kelopak mata.

“Anakku. Biarpun dalam masa estrus, Alpha nggak akan kehilangan sifat awalnya dan rasa cintanya pada kita. Kalo dia berubah drastis, artinya bukan dia yang berubah, tapi itulah sifat aslinya yang selama ini dia pendam.

Masa estrus Alpha yang Mama alamin dulu...nggak ada satupun yang bikin Mama nggak bahagia...”

Joshua ikut tersenyum.

“Dia pasti cinta sama Mama.”

Bulir air mata jatuh ke pipi ibunya.

“Dan Mama pasti cinta juga sama dia...”

Tetes demi tetes, sampai akhirnya Joshua memeluk ibunya. Giliran anak itu yang mengelus ibunya, memberikan ketenangan pada punggung yang kecil dan rapuh itu. Dulu, ibunya tampak begitu hebat dan kuat. Orang yang selalu melindungi Joshua dari apapun yang bisa menyakitinya.

Namun,

sejak kapan ibunya jadi nampak sekecil ini?

“Maafin Mama, Shua, harusnya Mama nggak— Tapi, tapi, Mama—”

“Iya, Ma,” gumam si anak dengan lembut di telinga ibunya. “Aku paham. Mama masih cinta sama dia. Mama selalu cinta sama dia. Aku paham sekarang perasaan Mama.”

“Maafin Mama—”

Anak itu menggeleng. Pipinya ditempelkan ke sisi kepala ibunya.

“Maafin Shua, Ma. Demi aku, Mama juga menderita. Maafin aku...”

Ibunya lalu mendorong bahu Joshua, membuat mereka saling bertatapan. Mata yang telah basah bertemu mata yang memerah karena menahan tangis.

“Mama akan selalu milih kamu di atas segalanya, Nak,” ucapnya.

“Aku juga,” jawab Joshua. “Mama lebih penting buatku daripada siapapun. Bahkan lebih dari Mingyu. Mama jangan nangis lagi ya? Aku bahagia jadi anak Mama. Abis ini pun, sebagai suami Mingyu, aku bakal bahagia juga.

Jadi, Mama janji ya? Mama juga harus bahagia. Jangan nangis lagi.”

Tentunya, mendengar itu, ibunya menangis lebih deras hingga si anak tertawa dan memeluk ibunya lagi, begitu erat.