Part 1: 미쳤어
Beberapa detik kemudian, handphonenya mulai berbunyi. Masih terpana, Jeonghan dan keluarganya tetap lihat-lihatan, mata membelalak dan mulut terbuka. Ibunya menutup mulut dengan tangan, sedangkan adiknya mencengkeram kedua pundak Jeonghan.
Ketika handphonenya berdering untuk yang ke lima kalinya, barulah dia sadar dan mengangkatnya.
(“HAN?? WTF??”)
Itu suara Seungcheol.
(“Bang Han!! Gile looo!! Selamat yaaa besok married. WKWKWK!!”)
Dan Mingyu. Nggak perlu heran kalau dua orang itu yang pertama nelpon Jeonghan.
(“Ada Seok in line—wait,”) Jeonghan mendengar beberapa bunyi ketukan jari sebelum suara Seungcheol kembali. (“He's on.”)
(“BANGKEEEE!! KOK LO TEGA AMBIL CRUSH GUEE, BANG???”)
(“Seok. In his defense, bukan dia yang ngerebut crush lo itu—”)
(“ITU HARUSNYA GUE, ANJAYY! HARUSNYA GUEEE!! NAPA GAK SAMA GUE AJAAA!! BANG HAN BAHKAN GA SUKA SAMA DIAA!!! AAAAAA!!!”)
(“Seok—”) tetiba bunyi decakan menghentikan ucapan Seungcheol lagi. Lalu, suara beberapa ketukan jari. (“Halo.”)
(“BANG HANI!! GILA, TEMEN GUE JADI DARAH BIRU DADAKAN! LU HARUS UNDANG GUE POKOKNYA KE PARTY- PARTY SANA YAK!”)
Seungkwan.
(“BANG, GUE CUMA BECANDA LHO TADI, TAPI KALO LO MAU KASIH GUE KASTIL, BOLEH LHO BANG?!”)
Chan.
(“Ngarang lo, Channie,”) kekehan yang terakhir itu datang dari Wonwoo. (“Bang Han, selamat ya. Selamat menempuh hidup baru.”)
Jeonghan sedari tadi tetap diam. Nggak tau harus memproses apa dan gimana. Keluarga dan teman-temannya pada heboh, tapi dia cuma bisa bengong ngang-ngong-ngang-ngong aja. Wajar. Siapa yang nggak bakal kayak gitu kalau tiba-tiba BESOK DISURUH DATENG KE ISTANA BUAT DIKAWININ SAMA PANGERAN NEGERI ITU, WTF??!!
Ni pasti mimpi nih. Nggak, nggak mungkin ini semua nyata. Jeonghan pasti lagi tidur. Bener. Jeonghan pasti lagi tidur dan mimpi. Pasti. Mana mimpinya jenis yang paling absurd seantero alam bawah sadar dia lagi. Mimpi kawin nggak tuh.
Mengindahkan semua kegaduhan dari sekelilingnya, Jeonghan perlahan berpaling ke adik perempuannya.
“Soobin-ah.”
“Oh.”
“Cubit Abang.”
”...Oh?”
“Gampar. Tampar. Apa kek. Cepetan!”
Meski bingung, tapi adiknya itu paham juga sih kenapa Jeonghan rikues kayak gitu. Tanpa tedeng aling-aling, diangkatnya tangan dan ditamparnya pipi abangnya itu kuat-kuat.
“ANJ—Awawawawawaw—”
Senat-senut. Pipinya lantas memerah kentara. Jeonghan otomatis mengelusi pipi yang tertampar itu. Sakit njing.
Which only means one thing.
Bukan mimpi.
Jeonghan beneran dijodohin sama Pangeran Jisoo lewat LOTERE...
Jelek bener. Nangis.
(“Bang?? Lo kenapa??”) Mingyu, si khawatiran, meraup handphone dari kasur, membuat Seungcheol harus bergeser lebih dekat lagi padanya agar tidak ketinggalan berita. (“Lo nggak pa-pa kan??”)
“Eng...enggak...aww,” diusap-usapnya pipi itu. “Tadi gue—eh—minta Soobin gampar gue. Buat mastiin aja.”
Mingyu manggut-manggut. Seungkwan lalu menimpali Jeonghan.
(“Nggak mungkin lah ini mimpi kalo yang tau lo bakal merit tuh satu negara, Bang.”)
“Ya kan, kali aja gue lagi ngayal gitu...”
(“Ngapain lu ngayalin nikah sama crush gue??”)
(”Aissh, Bang Seok! Diem ah!“) Seungkwan mendecak. (“Terus lu gimana?”)
“Gimana apanya?”
(“Yah... your feelings? Apa kek gitu??“)
“Surreal sih,” akunya. Jeonghan lalu menghela napas. “Guys, gue nggak tau harus ngomong apa. Lo bayangin ajalah kalo lo jadi gue, gimana...”
(“KALO GUE JADI LO, GUE DATENG KE ISTANA SEKARANG JUGA DAN BERLUTUT DI DEPAN CALON SUAMI GUE KALO GUE BAKAL BAHAGIAIN HIDUP DIA SAMPE GUE MATI—”)
(“Kyeom-ah, Bang Han juga, kalo dia bisa, bakal nyuruh elo aja yang dateng ke istana,”) Wonwoo menyelak sambil ketawa. (“Ya kan, Bang?”)
Bagai terdengar lonceng surga dan gerbang emas itu tengah dibukakan baginya.
(“...Bang?”)
“WONU CINTAKU, BUAH HATIKU, MEONGKU, KESAYANGANKU—”
(“Udah ada yang punya ya! Hands off!”)
“—YOU'RE A GENIUS!” blatantly ignoring protesan Chan, Jeonghan menciumi handphonenya seolah sedang menciumi pipi Wonwoo. “THAT'S IT! Seokmin-ah, lo yang ke sana! Lo pura-pura jadi gue!”
Seokmin diem. Seungkwan diem. Mingyu menghela napas. Seungheol menarik napas. Wonwoo dan Chan saling bertatapan kayak baru nyaksiin otak teman mereka akhirnya konslet.
(”Mm, Bang, gue tuh cuma becanda...“)
(“Han. Pikir bener-bener. Nggak mungkin pemerintah nggak punya database penduduk. Sekali ketik nama lo di sistem, bakal keluar foto dan—”)
“That's even better!” sangkalnya. “Kalo dia search dan tau Seok bukan gue, dia pasti nangkep kalo gue nggak mau nikah sama dia!” Gila, kekadang Jeonghan takjub sama jalan pemikiran dia sendiri!
Suara sentakan napas mendadak muncul bagai sebuah kepemahaman yang datang terlambat.
(“Maksud lo...LO NUMBALIN GUE, GITU??!“)
“Hah?? Enggak, Seok—”
(“Bener tuh. Bang Seok bisa ditangkep terus dipenjara karena manipulasi identitas,”) Chan mengelus dagunya.
(“Mana mukanya modelan penjahat kalo lagi bucin ke pangeran...”)
(“EH, KAMPRET, KWAN!”)
(“Gue setuju sih, Bang,”) Mingyu juga angkat bicara. (“Bahaya kalo cuma Seok aja yang ke istana.”)
“YAUDAH! OKE FINE! GUE SAMA SEOK BESOK KE ISTANA!”
Bentakan Jeonghan membungkam mereka.
“Seok ngaku jadi gue. Kalo ada apa-apa, gue yang tanggung jawab! Puas lo semua?! Aissh! Aaahhh! BANGSAADD! NAPA GUE SIH YANG DIPILIH?? AARRGGHH!!“
Mereka semua cuma diam, membiarkan Jeonghan meluapkan frustrasinya. Memaklumi sepenuh hati. Emang siapa yang bakal seneng (kecuali, granted, Seokmin) kalo mendadak disuruh nikah sama orang yang nggak dikenal? Kita kan nggak tau gimana sifat aslinya! Bagus kalo cuma mentok-mentok cerai and stops there. Gimana kalo tetau mati dibunuh karena suaminya rupanya psikopat??
(Hati orang kita nggak ada yang tau, guys, waspadalah.)
(“Oke. Han, oke. Lo tenang dulu. Lo makan, mandi, tidur—idk, do your usual shits. Besok, lo sama Seok gue jemput ya. Istana agak jauh dari sini and considering satu negara tau nama lengkap dan tanggal lahir lo, satu-dua dari mereka pasti udah nge-google lo juga. Apalagi, IG lo aktif.”)
Jeonghan mengusrek rambutnya sampai berantakan. Kemudian, dia menghela napas berat.
(“Safer kalo gue jemput lu bedua. Seok, lo ke rumah Han besok ya. Jam 9 gue angkut.”)
(“Gue nggak yakin, Bang...”)
(“Gue juga enggak, Seok,”) balas Seungcheol. (“Fingers crossed aja kalo si Jisoo-Jisoo itu nggak keberatan tuker suami dari Han ke elo.”)
(”Hng. Aminin dulu aja dah.“)
Dan, dengan harapan penuh kegalauan, mereka pun mengucapkan salam perpisahan dan memutuskan conference call malam itu bersama pemikiran kusut di kepala masing-masing.