Ch 1.3: The Tiger's Den
“Masuklah, masuk! Jangan sungkan!”
Kelewat semangat, si macan itu; Minghao semakin mengerutkan alis karenanya. Tentu ia menaruh curiga semenjak kumpulan mata para macan membelalak dengan rasa penasaran tinggi ketika dirinya turun dari kereta kuda yang sengaja dikirim oleh tetua mereka (perlakuan yang, ia yakin, diberikan atas permintaan Jisoo), namun ia tak bisa bertindak atau berkata apapun untuk menentangnya.
Xu Minghao, seekor kelinci herbivora, menginjakkan kakinya secara sukarela ke tengah sarang para macan.
Itu adalah langkah bunuh diri yang agak sinting, jika ia boleh jujur.
Xu Minghao tidak sudi mati konyol, maka ia diam saja dan menapak masuk pintu kediaman megah keluarga Kwon. Rumah dari kayu itu begitu besar, membentang dari utara ke selatan dengan jendela-jendela yang menghadap barat dan timur. Halamannya begitu luas dengan tembok memutari seluruh area, menandakan batas kepemilikan dan melindungi taman beserta kolam yang indah di dalamnya. Kumpulan ikan hias berwarna-warni terlihat di dalam kolam. Terdengar bunyi bambu yang mengetuk sebuah batu besar setiap kali air telah memenuhi corongnya. Lampu-lampu taman terbuat dari batu yang dipahat beserta jalan setapak dari kerikil kecil berwarna putih gading.
Sekali pandang saja siapapun akan tahu betapa makmurnya klan macan. Minghao tidak menganggap materi itu penting, tapi ada secercah sudut dalam hatinya yang merasa lega, mengetahui kakak sepupunya hidup dengan hidangan bergizi dan tubuhnya berbalutkan kain kualitas terbaik. Setidaknya, ia harap bajunya sekarang jauh lebih hangat daripada lembaran kain tipis dan compang-camping yang Jisoo sebut sebagai baju ketika mereka masih tinggal bersama di hutan itu.
…Nggak. Apalah baju hangat dan makanan lezat, kalo perlakuan si macan itu ternyata buruk pada—
“Haohao!”
—pemikirannya sontak terhenti.
Dunia bagai berhenti di jam, menit dan detik itu juga. Minghao berdiri kaku, mata membulat dan alis terangkat, saat dipandangnya sosok yang ia rindukan setiap kelopak bunga terjalin menjadi mahkota di kala senggang. Setiap malam bermandikan cahaya bulan dan ia membuka mata hanya untuk menemukan keheningan. Setiap pagi ditemani nyanyian burung tanpa sapaan “selamat pagi” dilontarkan padanya, serta setiap petang saat surya tenggelam bersama angin yang berhembus dingin dan tak ada pelukan hangat pada tubuhnya.
“………Kak Shu…ji…?”
“Oh, Hao—”
“Shua, tunggu—!”
“S-Sayang! Jangan berlari seperti itu! Ingat anak kita dalam perutmu—”
Sia-sia belaka. Sang kelinci tidak memedulikan pekik dombanya maupun kecemasan macannya. Ia bahkan menjadikan bayinya prioritas kedua. Sekarang, saat ini, hanya satu hal yang menjadi fokus sang kelinci.
Adiknya. Hao-nya.
Ketika keduanya akhirnya berpelukan, masing-masing bagai menemukan rumahnya kembali. Kerinduan, luruh dalam pelukan erat dan linangan air mata. Jisoo menangis dan menangis, entah karena hormon kehamilan atau karena semua yang selama ini telah ditahannya dalam hati dengan gagah berani akhirnya tumpah keluar. Minghao pun tidak lebih baik keadaannya dari sang kakak sepupu. Sambil memeluk balik, kelinci itu menghirup dalam-dalam aroma Jisoo. Meski jelas ada yang berbeda—bau domba dan macan telah menempel padanya—namun tak ayal, itu adalah aroma kakaknya yang familier. Bau yang telah hilang selamanya dari pondok kecil di dalam hutan itu.
“Adikku… Oh, Haohao kecilku…,” di sela isakan, Jisoo bergumam lirih sambil menciumi pipi dan kening kelinci yang lebih muda tersebut. Diangkatnya sedikit dagu Minghao agar ia bisa memandang wajahnya.
“Kak Shuji… Aku kangen Kakak…,” Minghao berdeguk. Matanya merah dan pipinya telah basah oleh air mata. “Kangen banget…”
“Kakak juga, Sayang…,” kecupan-kecupan kecil barulah berhenti ketika Jisoo mendusel hidung Minghao dengan hidungnya sendiri. Telinga mereka hampir saling mengait karena kedekatan itu. “Adikku semata wayang…”
Boo Seungkwan dan Kwon Soonyoung hanya memandangi mereka dari pinggir, tak tega untuk menyela kedua saudara yang tengah melepas rindu tersebut. Mereka bertatapan sejenak sebelum saling tersenyum. Seungkwan menyenderkan kepalanya ke pundak suaminya. Di saat yang bersamaan, lengan Soonyoung juga merangkul pinggulnya dengan hati-hati. Ekor sang macan berdesir di lantai. Dengkuran rendahnya terdengar di pangkal tenggorokan, penuh oleh rasa senang.
“Dia terlihat gugup seharian,” aku sang domba. “Bahkan lebih gugup dari hari pernikahan kita.”
Sang macan pun terkekeh. “Daripada gugup, kurasa dia lebih ingin menendangku di hari itu dan menikahi dirimu saja,” kelakar, yang membuatnya mendapat sebuah cubitan protes di pipi dari suaminya. “Aw, aw, aw—”
“Tidak lucu, Kwon,” kernyitan alis. “Kau tahu betul kalau kami berdua memilihmu—”
“Tapi di hari pernikahan kita, kalian mau tak mau harus menikahiku,” potongnya. Boo Seungkwan pun terdiam, sebab suaminya tidak salah. Menyadari itu, Soonyoung tersenyum lembut. Diambilnya tangan Seungkwan untuk dikecup bagian punggungnya. “Aku sangat senang saat kalian pada akhirnya memutuskan untuk menerimaku sebagai suami. Terima kasih, Sayang…”
Rona merah menjalar cantik di pipi sang domba. Apakah mungkin seseorang jatuh cinta pada orang yang sama, lagi dan lagi? Suaminya yang tampan dan lembut, yang mencintai mereka berdua tanpa ketimpangan. Yang bayinya kini mereka kandung di dalam perut secara bersamaan…
Seungkwan sudah bahagia ketika mengetahui bahwa Jisoo juga mencintainya. Kelinci yang ia cintai sepenuh hati ternyata membalas perasaan yang telah ia pendam bertahun-tahun lamanya. Namun, ia tak pernah sedikit pun berharap bahwa akan hadir pihak ketiga yang akan membagi cintanya bersama mereka dan melengkapi kebahagiaan mereka secara utuh.
Kwon Soonyoung adalah anomali yang Boo Seungkwan dan Hong Jisoo syukuri dalam setiap tarikan napas mereka.
Mereka menunggu hingga tangis kedua kelinci itu reda sebelum Soonyoung kini berganti memeluk Jisoo, menenangkan emosi yang sempat membumbung dan mengingatkannya akan efeknya pada sang bayi, dan Seungkwan menyambut sang kelinci termuda ke dalam pelukannya sendiri, menekankan kerinduannya sebab ia pun telah mengenal Minghao sejak ia masih balita. Tumbuh sebagai sahabat dekat Jisoo dan Jeonghan, Seungkwan bisa dibilang adalah tetangga bagi keluarga kelinci itu. Ia tahu semua yang telah terjadi dalam keluarga itu—kelaparan dan pengasingan, pernikahan paksa Jeonghan ke klan serigala, keadaannya kini berdasarkan rumor yang beredar di kota, kecemasan Jisoo tanpa henti akan pernikahan paksanya sendiri dan nasib adik terkecilnya bila ditinggalkan nanti…
Boo Seungkwan ada di sana selama itu semua terjadi, menemani Jisoo melewati satu demi satu masalah yang muncul. Selalu menggenggam tangannya; dulu, sekarang dan nanti—bersama Soonyoung, bertiga kini—sampai akhir hayat mereka.
Setelah melepas rindu, mereka akhirnya masuk dan mulai memperkenalkan Minghao pada setiap bagian rumah serta penghuninya selain Jisoo, Soonyoung dan Seungkwan. Di luar dugaan Minghao, ia tidak diperlakukan layaknya pelayan klan macan atau sejenis—Minghao justru mendapat pelayan pribadinya sendiri. Ruangan yang akan digunakannya berupa paviliun kecil (tapi tetap lebih luas dari pondoknya ataupun bayangan Minghao) yang terletak paling jauh dari rumah utama tempat Soonyoung dan keluarganya bernaung, bahkan agak menyempil di sudut, tapi tetap mendapatkan siraman cahaya mentari. Ada taman terbentang yang memisahkan kedua bangunan, lengkap dengan jembatan kayu di atas kolam ikan. Yang membuatnya semakin terkejut adalah fakta bahwa ia bisa bebas keluar masuk melalui gerbang yang terletak dekat paviliun itu. Gerbang itu tidak dijaga siapapun dan, ketika ia bertanya kemanakah jalan itu akan membawanya, Kwon Soonyoung menyengir lebar.
“Itu hutan kecil properti keluarga Kwon. Kakakmu kerap menggunakannya untuk berkebun, menanam wortel dan merangkai bunga,” diselipkannya juntai rambut Jisoo ke belakang telinga. “Dan, sekarang, hutan itu menjadi milikmu selama tinggal di sini.”
Minghao tersentak, “T-tapi, aku nggak—”
“Haohao,” Jisoo menyela. “Dengan perut ini, aku tidak bisa mengurus ladang wortel lagi. Kwannie pun sedang dalam kondisi serupa. Aku akan sangat senang jika kau bisa menjaganya untukku.”
Ah, tentu ia tidak bisa membantah permintaan kakaknya tersayang. Alih-alih, kelinci muda itu merengut, memandang sinis pada si macan dan menggeram, “Makanya lain kali, kalo kamu mau menghamili suamimu, satu-satu!”
Ucapan yang membuat Kwon Soonyoung tergelak lepas, Jisoo membuka mulut dan Seungkwan melebarkan bola mata, sebelum sang kelinci dan domba memerah pipinya. Mereka mengobrol lagi untuk beberapa saat, merunut hal-hal sepele seperti sarapan dan makan malam biasa di jam berapa dan di bangunan mana, atau ikan apa yang paling indah warnanya di kolam yang mana.
“Baiklah. Jadi seperti itu. Jika ada pertanyaan lagi, Jihoonie akan membantumu,” sang hybrid koala menundukkan kepala ketika namanya disebut Soonyoung. “Kami mengharapkan kehadiranmu di perjamuan malam nanti di gedung utama. Klan karnivora akan datang untuk diperkenalkan padamu, maka bersiaplah.”
“Aku akan mengantarkan kain indah yang kupilih untukmu, Haohao,” ucap Jisoo.
“Dan aku akan membawa jepit manis yang baru minggu lalu kubeli dari pedagang perhiasan dan kurasa sangat cocok untukmu,” susul Seungkwan.
Mereka bertiga pergi dengan bahagia, tak sadar sama sekali bagaimana Minghao mendadak keringat dingin, telinganya menjuntai kuyu dan ia meneguk ludah saat kalimat itu ringan dilontarkan si macan tanpa beban.
(“Klan karnivora akan datang untuk diperkenalkan padamu—“)
Semakin nyata nasibnya terpampang di depan mata. Minghao meraup tangannya sendiri yang mendadak gemetaran sambil membatin berulang kali bahwa ia akan baik-baik saja, bahwa ia bisa menghadapi semua yang akan terjadi dan bahwa ia akan buktikan pada seluruh klan karnivora biadab itu kalau ia bukanlah kelinci lemah yang bisa diintimidasi seenak perut mereka.
Ia akan tunjukkan pada mereka dan seluruh dunia siapa sebenarnya Xu Minghao dari klan kelinci.