Ch 1.2: Time To Think
Bertindak gegabah adalah akar dari segala permasalahan di dunia. Xu Minghao meyakininya dengan sepenuh hati. Maka dari itu, ia meminta kesediaan Kwon Soonyoung untuk memberinya waktu. Waktu untuk mencerna. Waktu untuk berpikir. Waktu untuk mengambil keputusan. Macan itu segera menyetujui, sebab tak ada alasan baginya untuk tidak mengabulkan apa yang adik iparnya itu pinta. Menunggu barang satu-dua malam takkan merugikan pihak mana pun. Ia bisa pulang dengan membawa kabar baik bagi Jisoo dan menenangkan kepala panas Minghao di saat yang bersamaan, sekaligus menyiapkan ruangan bila kelinci termuda itu, pada akhirnya, menerima tawaran klan karnivora padanya.
Setelah menyatakan bahwa dirinya akan kembali tiga hari lagi, Kwon Soonyoung pun pamit tanpa banyak embel-embel.
Merangkai kelopak bunga menjadi mahkota sendirian, hanya ditemani cercah mentari dan cericip burung kecil yang sesekali mengetuk-ngetuk kepalanya dengan paruh mereka, adalah salah satu kegiatan kegemarannya melewati waktu. Tanpa ditemani siapa-siapa di tengah hutan luas itu, tentu tidak lah banyak pilihan kegiatan baginya untuk menghabiskan detik demi detik.
Tiap pagi, ia menanti malam. Tiap malam, ia merindukan pagi.
Namun, ada yang berbeda kali ini. Hatinya penuh dengan gundah gulana. Bahkan memilin tangkai-tangkai bunga tidak jua menenangkannya. Kwon Soonyoung memintanya untuk tinggal di kediaman klan macan. Seluruh sinyal bahaya dalam tubuh sang kelinci meraung tak terkendali. Tinggal di wilayah karnivora! Bahkan bila Xu Minghao telah kehilangan akal sehatnya, ia tidak sudi mati konyol dengan mengorbankan diri masuk ke sarang macan seperti itu begitu saja.
Namun, ah, separuh dari hatinya ingin sekali bertemu dengan kakak sepupunya. Ingin sekali lagi memeluk Jisoo, menghidu harum khas salah satu kakak kesayangannya itu. Telah bertahun ia tidak lagi bisa mencium bau siapa pun selain dirinya sendiri di pondok kecil mereka. Barang-barang Jeonghan dan Jisoo dibawa semuanya oleh klan suami mereka masing-masing tanpa meninggalkan apapun untuk Minghao kenang dalam sepinya.
Kangen…kangen banget…
Sekali lagi. Sekali lagi saja, jika ia bisa merengkuh Jisoo dalam lengan-lengannya seperti ini…
Kata macan itu, kakaknya tengah mengandung sehingga tak bisa datang menemui Minghao. Apakah perutnya memang sudah sebesar itu? Seperti apa Jisoo dengan perut berisikan bayi? Minghao ingin menaruh tangannya di perut Jisoo. Ia ingin merasakan sentakan nyawa di dalam sana, mengetahui bahwa setengah dari darah yang mengalir di nadi makhluk mungil itu adalah darah kakaknya. Darah keluarga Minghao.
Apakah ia akan terlahir sebagai macan? Ataukah sebagai kelinci? Mengingat amat jarang bayi kelinci bisa terlahir dari peraduan karnivora dengan klan mereka, maka Minghao hampir yakin kalau bayi yang akan lahir nanti adalah keturunan macan. Tapi hal itu tidak membuatnya jengah, pun tidak menurunkan harapannya. Sebab, amat jarang bukan berarti tidak pernah. Siapa yang tahu? Mungkin ketika Jisoo melahirkan, akan ada seekor bayi kelinci menggemaskan dalam gendongan kakaknya.
Oh, betapa Minghao mendamba berada di sana, bersama Jeonghan dan Jisoo dan bayi-bayi mereka…
Sang kelinci termuda lalu menghela napas. Ia diberi kesempatan, kini, untuk memeluk Jisoo lagi dan menanti kehadiran keponakan kecilnya, namun dengan bayaran yang begitu besar. Menyerahkan dirinya ke tangan klan karnivora adalah harga yang terlalu mahal bagi Minghao. Pada akhirnya, manakah yang lebih penting: kakaknya atau kebebasan diri?
…Ugh, kepalanya pusing. Mahkota bunga yang ia ikat telah luluh lantak, kembali bertaburan di sekitar kakinya. Seekor kelinci berbulu cokelat melompat-lompat mendekati Minghao, kemudian duduk santai di sisinya. Tangan Minghao secara alamiah mengelusi kelinci tersebut, membuat moncong makhluk sejenisnya itu berkedut senang tanpa henti.
“Aku harus gimana…?” keluhnya, meski tak berharap kelinci itu bisa memberikannya solusi.
Dibilang kebebasan akan diterimanya kalau ia menolak pun…tidak benar juga. Pasalnya, Kwon Soonyoung telah menyatakan bahwa mereka akan melepas perlindungannya dari Minghao dan hutan tempatnya bernaung bila ia menolak tawaran tersebut. Klan karnivora lain yang tidak tergabung dalam sekutu Kwon akan dapat dengan mudah menjarah dan merusak hutan rumahnya ini, memakan semua kelinci dan hewan lain yang telah menjadi temannya selama lima belas tahun belakangan. Mungkin, ia pun akan berakhir di dalam perut karnivora itu…
Tapi, apa yang bisa dipegang dari ucapan seekor macan? Bisa saja Kwon Soonyoung berbohong dengan lihainya pada Minghao. Bisa saja Kwon Soonyoung menggadai nama kakaknya agar Minghao percaya dan jatuh ke dalam perangkapnya. Bisa saja Kwon Soonyoung telah memangsa kakaknya dan, sekarang, tengah berusaha memangsa adiknya juga. Bisa saja—
—Tidak. Berpikir terlalu jauh akan hal yang absurd tidak akan membawa hasil apa-apa. Bila Jisoo telah dimangsa suaminya, maka burung gagak akan berkoak kencang membawa kabar itu langsung pada Minghao. Semilir angin akan membawa aroma berkabung yang menyengat, mengetahui bahwa darah seekor klan kelinci lagi-lagi tumpah membasahi tanahnya. Minghao akan tahu, bagaimanapun caranya, karena darah selalu lebih kental daripada air.
Jisoo masih hidup. Setidaknya, ia yakin akan hal itu.
Terlebih lagi, janji yang disebut Kwon Soonyoung—bahwa Minghao akan bebas dan tetap dilindungi jika tak ada satu pun klan karnivora yang ia jadikan suami—adalah ketukan paku terakhir pada peti matinya. Minghao merasa ia bisa meraih akhir yang sempurna itu: tidak menikahi siapa pun dari mereka, kembali ke pondoknya di hutan ini dengan aman dan tentram, lalu hidup tenang hingga akhir hayatnya. Apabila ia, entah bagaimana, bertemu kelinci lain (meski ia seharusnya adalah kelinci terakhir di dunia), mungkin ia akan membangun rumah tangga bersamanya. Bila tidak pun, tidak apa. Yang pasti, Minghao hanya ingin hidup dengan damai. Tidak perlu gelisah diboyong ke rumah karnivora asing yang memanfaatkan rahimnya untuk melangsungkan garis keturunan mereka.
Sebuah akhir cerita yang indah.
Kelinci cokelat yang ia elus sedari tadi telah memejamkan mata, terbuai oleh kenyamanan yang berasal dari feromon manis Minghao. Jantungnya berdegup agak kencang oleh harapan, oleh kemungkinan bahwa ia bisa melewati semua ini, mengalahkan semua karnivora itu dan meraih mimpi indahnya sendiri. Mungkin juga—jika Minghao boleh berkhayal lebih lanjut—ia bisa mengajak Jeonghan dan Jisoo untuk meninggalkan suami-suami mereka dan tinggal bersamanya lagi.
Dunia pun kembali seperti sedia kala: mereka bertiga, hidup bahagia di hutan ini selamanya.
Senyum merekah di wajah kelinci termuda. Ah, betapa naifnya ia… Ia tidak awas akan rencana kaum rubah yang licik. Tidak pernah mendengar desisan lidah bercabang klan ular yang sanggup membuat perpecahan tak berkesudahan. Tidak mengerti mengapa kaum beruang ditakuti oleh sesama karnivora atau mengapa kaum serigala disegani karena mereka tim pemburu yang handal. Ia bahkan tidak curiga kenapa Kwon Soonyoung tahu rasa daging kelinci, menandakan karnivora itu pernah mencicipinya. Xu Minghao tidak menduga sedikit pun bahwa di kumpulan seperti itu lah dirinya akan dilempar tanpa pertahanan. Tanpa tameng apa pun untuk tubuh dan hatinya.
Dan kumpulan itu lah yang akan berlomba untuk merebut hati sang kelinci muda yang belum pernah mengenal dunia.
Ah, tapi, lihatlah ia. Begitu cantik tersenyum, bangga akan rencananya. Siapa lah aku hendak menghancurkan harapan makhluk secantik itu?
Xu Minghao, sampai kapan pun, paling cantik ketika tersenyum.