Ch 1.0: Beginning
Hari itu adalah hari yang tidak biasa, bahkan bagi para klan macan. Bagaimana tidak? Ketika seluruh perwakilan klan karnivora terkuat berkumpul di rumah tetua mereka.
Ah, harus dimulai dari mana cerita ini?
Baiklah. Mungkin seperti manusia, kan kumulai dari cuaca.
Hari itu cerah dengan terik sinar mentari siang bolong memunculkan peluh di kening para tamu. Kereta mewah yang membawa mereka dari wilayah masing-masing berjejer dengan rapi di halaman depan rumah tetua. Selama beristirahat, kuda-kuda mereka diberi rumput dan air setelah menempuh perjalanan jauh. Di depan gerbang megah, warga bertelinga bulat kecil dan berekor panjang belang-belang saling berbisik satu sama lain, membicarakan jalannya rapat para perwakilan klan karnivora dimana mereka tidak diperkenankan hadir. Mereka hanya bisa menunggu pembawa berita membacakan keputusan yang diambil nanti.
Di dalam, di bawah keteduhan atap rumah sang tetua yang tinggi, mereka semua duduk di meja masing-masing yang dibentuk menjadi lingkaran, alih-alih singgasana yang biasa digunakan untuk menyambut tamunya. Tidak ada yang rendah, tidak ada yang tinggi; pun tidak ada oposisi. Mereka adalah setara, baik keturunan felidae maupun canidae (dan lainnya).
Sang tetua, Kwon Soonyoung, berdeham.
“Ah...selamat datang semua! Senang melihat kalian sehat-sehat saja. Ya, ya, ya...,” sang macan tersenyum memamerkan geliginya. Tidak berubah, ia, masih Kwon muda yang dulu, yang sempat membuat resah hati tetua terdahulu karena tidak jua mencari pengantin untuk meneruskan garis darah. Sekarang, setelah mangkat, tetua terdahulu menjalani hari-hari damai bersama istri dan anak-anaknya yang lain.
(Dan, sebentar lagi, dengan kedua cucunya.)
Tak ada yang berbicara, membiarkan tuan rumah menyelesaikan sambutan.
“Jadi!” sang macan menepuk meja. Piala emasnya menumpahkan sedikit sari anggur ke taplak putih (yang mengundang kerutan kening dari seseorang di sebelah kirinya). “Silakan nikmati hidangan dan mari kita bicarakan tujuan utama pertemuan ini. Itu saja sambutan dariku. Sisanya mungkin...
...dari suamiku?”
Soonyoung menoleh pada orang di sisi kanannya, yang menoleh balik padanya. Orang itu mengangguk. Kemudian, dengan perlahan dan dibantu Soonyoung yang sangat hati-hati, ia pun berdiri dari duduknya. Herbivora yang mengepalai jalannya rapat para karnivora bagai menyalahi siklus kehidupan. Namun, selain sang serigala yang menyembunyikan keresahannya, para tamu lain tidak terlalu mempermasalahkan hal sesepele itu. Bagaimanapun, evolusi membawa mereka menuju klan yang berakal serta maju, bukan lagi sekadar binatang yang bergerak atas dasar insting semata.
Kaum rubah menguap di balik tangkupan tangannya. Ia memang mudah sekali bosan. Sedangkan kaum beruang dalam diam memotong daging panggangnya. Mereka tak dikenal sebagai kaum yang suka berbicara.
Mengindahkan semua itu dan berdiri di hadapan mereka semua, kelinci bernama Hong Jisoo dengan perutnya yang membuncit kemudian memulai rapat.
“Selamat datang,” sahutnya. Tidak getir ataupun goyah oleh tatapan para karnivora padanya. “Seperti yang suami saya katakan, kita langsung saja ke topik utama tanpa perlu membuang waktu lebih banyak lagi.
Pagi ini, tepat ketika embun pertama menitik di rerumputan, dia menginjak usia ke-15. Usia yang sama ketika Kwon Soonyoung dari klan macan terikat oleh saya.”
Ia sengaja mengambil jeda untuk mengangkat tatapannya ke salah satu sosok di sana.
“Usia yang sama ketika kakak saya, Yoon Jeonghan, terikat oleh klan serigala.”
Tatapnya tajam dan dingin. Dengan berani, ia menantang salah satu puncak rantai makanan. Pun tidak menggerakkan seutas urat saat yang ditatap memamerkan taringnya dengan pongah, mengancam tanpa kata-kata agar sang kelinci kembali ke tempat semestinya ia berada: sebagai buruan sang karnivora.
Boo Seungkwan, yang tadinya duduk di sisi kiri tetua, telah ikut berdiri dan menghampiri Jisoo. Ia menenangkan kelinci itu, mengingatkan padanya bahwa sekarang bukan lah saat yang tepat untuk prahara. Sementara Jisoo ditenangkan Seungkwan, para hadirin bisa melihat dengan jelas bagaimana perut kedua herbivora tersebut begitu besar.
Dua suami. Dua bayi.
“Klan macan sungguh lah makmur,” itu adalah desisan keturunan reptilia. Yang termuda di antara mereka semua. “Dengan kelinci dan domba terikat pada Anda, keturunan penerus sudah dipastikan bukan masalah lagi.” Desisannya bercampur dengan tawa mengejek. “Andai kaum serigala memiliki secuil saja keberuntungan Anda.”
Terpelatuk.
BRAAKK!!
Tetiba saja, meja di depan perwakilan klan serigala ditendang paksa. Derai piring dan gelas yang pecah terdengar riuh memantuli dinding-dinding ruangan. Makanan pun berhamburan ke lantai. Dari balik meja, sang serigala tertua menarik kakinya untuk ditumpangkan ke lutut satunya. Meski ia berlagak duduk tenang, taringnya mencuat dan kuku-kuku tajamnya siap mencabuti satu demi satu sisik sang ular.
“Adikku adalah kesalahan kaum kami yang paling memalukan,” decaknya seolah setuju dengan sang ular. “Kini kelincinya semakin tua dan belum satu bayi pun lahir dari mereka. Sebuah penyia-nyiaan rahim yang subur. Seharusnya aku lah yang terikat dengan kelinci itu.”
Ia kembali menatap tajam pada Jisoo.
“Bila itu aku, akan kubiakkan satu serigala setiap tahun dari kelinci cantik itu sampai dia tidak bisa melahirkan lagi.”
Berkobar oleh amarah, gamitan tangan Jisoo pada Seungkwan mengencang tanpa disadari, membuat suaminya merintih kesakitan. Soonyoung, mengetahui dengan pasti dendam apa yang dipendam Jisoo pada kaum serigala, kemudian berdiri di depan kedua suaminya, menjadi tameng bagi mereka.
“Choi, aku meminta maaf untuk suamiku. Dan Lee, aku harap kau menjaga lidah bercabangmu itu,” sang tetua tersenyum, meski senyum itu tidak meraih kedua matanya. Macan adalah binatang yang murka dalam ketenangan sampai taraf tertentu. Sang ular mendesis. Sang serigala mengangkat bahu sambil lalu, tidak menerima ataupun menyanggah permintaan maaf barusan. Harga diri serigala terkadang terlalu tinggi untuk kebaikan mereka sendiri.
Tetua lalu berbalik. Alisnya mengernyit menatap Jisoo yang malah membuang muka, hanya Seungkwan yang takut-takut membalas tatapan suaminya. Ah...dombanya yang berhati lembut...begitu kontras terhadap kelincinya yang keras kepala...
Menghela napas, Kwon Soonyoung berbalik sekali lagi, menghadap para hadirin dan mengambil alih pembicaraan.
“Baiklah, kita kembali ke topik utama. Tahun ini adalah tahun di mana dia akan memasuki masa kedewasaan. Sesuai tradisi, pihak yang sebelumnya berhasil menikahi keturunan klan tersebut akan menjadi tuan rumah selanjutnya. Maka, klan macan lah yang akan menyelenggarakan pertandingan ini.”
“Tapi.”
Serentak, semua mata tertuju pada Jisoo.
“Akan keistimewaan kali ini, saya ingin agar dia tidak ditinggalkan dalam kegelapan. Mungkin ini adalah pertandingan Anda sekalian yang terakhir,” kata yang meninggalkan sepat pada lidahnya setelah diucapkan, seakan mereka adalah trofi tanpa nyawa untuk diperebutkan. “Karena itu, saya meminta agar dia mengetahui penuh apa yang tengah terjadi dan memiliki hak untuk menerima atau menolak Anda. Saya mengajukan metode baru yang berbeda kali ini.”
Pernyataan barusan menimbulkan percikan pada masing-masing karnivora. Tertantang, lebih tepatnya. Selama ini, mereka bergulat di antara mereka sendiri. Klan-klan karnivora terkuat disabung bak ayam dalam turnamen. Klan pemenang berhak mendatangi dan memboyong hadiah mereka ke rumahnya untuk dinikahi.
Sekarang, sepertinya akan ada hal yang lebih menarik dari sebelumnya.
“Saya mengajukan Anda sekalian mencoba mengambil hatinya. Tanpa kekerasan. Tanpa paksaan,” dalam benak, Jisoo berulang kali meminta maaf pada satu-satunya sosok yang ia jaga dengan seluruh jiwa sejak ia belia. “Saya ingin Anda sekalian memberinya pilihan. Tidak seperti saya. Tidak seperti kakak saya...”
Kwon Soonyoung dan Boo Seungkwan menggamit tangan suami mereka.
“Meski saya, pada akhirnya, memilih suami-suami saya...,” ia meneruskan sambil menggamit balik tangan-tangan itu. “...tapi saya ingin memberikan privilese itu padanya. Bila dia harus memberikan hidupnya pada klan Anda, maka biarkan dia memberinya atas dasar cinta.
Saya mohon berikan kebahagiaan padanya. Biarkan dia bahagia karena telah memilih untuk menikahi Anda.
Pada adik saya.
Kelinci terakhir di dunia.
Xu Minghao.”