85.
Pagi itu, ia turun dari kamar tidur, masih mengantuk. Namun, saat kakinya menjejak anak tangga terbawah, kantuk pun sirna, langsung tergantikan senyuman pasal melihat siapa yang ada di sana menyambutnya.
“Pagi, Sayangnya Mama,” ibunya tengah duduk di kursi goyang yang ditaruh di ruang keluarga, menghadap ke kebun. Pintu kaca yang dipasang sebagai pembatas telah dibuka lebar, memasukkan udara pagi yang segar nan cerah ke seluruh rumah.
Minghao menimang bayi kembarnya. Yang perempuan duduk dengan tenang di paha ibunya, tangan mungilnya merenggut pakaian yang Minghao kenakan. Yang laki-laki sedang disusui dari botol. Nafsu makannya seperti ayahnya.
Adik tersenyum lebar. Kemarin, saat ibunya turun dari taksi di sore hari, ia lekas melompat dari tempatnya duduk, berlari menyambut ibunya dengan pelukan erat.
“Mama, Mama,” tangisnya sesengukan. “Mama, maafin Adek, Mah, maafin Adek. Adek nggak sengaja. Si Kembar...Adek nggak sengaja...maafin Adek, Mah...”
Minghao menepuk-nepuk punggung anak perempuannya. Ia menciumi wajah anak itu, dari kening ke kelopak mata, ujung hidung serta pipinya. Kemudian, ia menjauh, menangkup wajah anak itu sambil menyeka tangis dengan ibu jarinya, mengagumi betapa cantik anak gadisnya itu. Betapa beruntungnya ia dan Mingyu, dikaruniai anak-anak yang indah, baik di luar maupun di dalamnya mereka.
“Iya, Sayang, maafin Mama ya. Maafin Mama sama Papa ninggalin kalian kelamaan. Terima kasih ya, Sayang, kamu udah jagain adek-adek kamu selama ini. Maafin Mama...,” bisiknya menenangkan, membuat air mata anaknya makin deras dan pelukannya makin erat. Minghao mengecup puncak kepala anak itu, lalu menghela napas. “Terima kasih, Sayang...”
Adik mendekati ibunya di kursi goyang. “Sini, Ma, aku gendong satu,” tawarnya. Sebentar lagi, sekolahnya akan kembali masuk. Karena itu, ia ingin membantu ibunya di sedikit waktu yang tersisa.
“Sama Kakak yuk? Digendong sama Kakak?” Minghao bertanya pada anak kembarnya yang perempuan dengan lembut, tetapi anak itu merengek. Anak itu ingin bersama ibunya. “Kayaknya masih kangen sama Mama. Nggak apa-apa, Sayang, biar Mama aja.” Minghao tersenyum pada anak gadisnya.
Anak itu mengangguk paham. Ia sendiri masih ingin dekat dengan ibunya. Kemarin, ibunya bilang kalau ayahnya akan pulang di akhir bulan bersama kakaknya. Meski Adik juga kangen ayahnya, untuk saat ini, ibunya saja sudah cukup.
“Kalo gitu, Adek yang masak hari ini?”
Minghao terkejut. “Lho, kamu bisa masak? Sejak kapan??” tanyanya.
“Hehe, dikit, Mah. Adek diajarin Chan. Kalo masak aer sama bikin mi instan sih Adek udah jago lah. Tapi kemarin-kemarin, Adek diajarin bikin nasi goreng. Kata Chan enak kok. Mama mau?” tawar si anak.
“Mau dong,” senyum ibunya lebar. “Mama mau cobain masakan anak Mama.”
“Yaudah. Bentar ya, Mah,” sebelum berbalik ke dapur, Adik mencium pipi ibunya penuh sayang. Minghao tertawa saat anak kembarnya melihat itu dan mereka berdua langsung mencium pipi ibunya secara bersamaaan.
--
“Baby sitter?”
Agak siangan, ia meminta Mas Seokmin mengantarnya berbelanja. Beberapa keperluan si kembar sudah mau habis, seperti bedak dan susu batita. Mereka sedang di mobil yang disupiri Seokmin menuju supermarket terdekat.
“Mm,” Minghao mengangguk. “Bentar lagi Adek sama Kakak masuk sekolah. Takutnya aku perlu nemenin Mingyu kayak kemarin lagi. Tadinya kupikir karena aku nggak kerja lagi, bisa lah, tapi gegara kemarin...aku takut bakal kejadian lagi...”
“Mas bisa bantu kok kalo Hao mau?” Seokmin mengganti gigi. “Toh kalo anak-anak sekolah kan Mas ada jadwal anter-jemputnya. Di luar jam itu ya Mas kosong.”
“Jangan lah, Mas, nanti makin repot dong...”
“Nggak lah, Hao,” tawa lelaki itu. “Sekalian Mas belajar ngurus anak bayi.”
Hening sedetik.
”.....Mas?”
“Hmm?”
“Mas,” Minghao tersenyum. Wajahnya mendadak mencerah. “Mas, masa sih—”
Seokmin tertawa lagi. “Nggak, nggak,” kilahnya. “Hmm..belum...mungkin, lebih tepatnya?”
Mata Minghao berbinar mendengar itu, sementara Seokmin berdeham dengan pipi merona merah.