77.

#gyuhaoparentssequel

Begitu sambungan telepon dimatikan, Chan langsung mengambil kendali. Sebagai satu-satunya lelaki di rumah itu saat ini, ia merasa tanggung jawab ada di pundaknya. Keluarga Kim, meski kaya raya, tidak mempekerjakan asisten selain supir pribadi mereka, Pak Seokmin, yang baru akan masuk kerja lusa. Rumah berlantai dua itu hanya didiami anak perempuannya dan sepasang anak kembar. Biasanya semua berjalan lancar. Meski banyak mengomel, namun Adik selalu menjaga dan mengawasi adik kembarnya dengan baik.

Hari itu, mereka lalai. Chan juga merasa bertanggung jawab karena separuh kesalahan ada padanya. Tapi, yah, nasi sudah menjadi bubur. Ia mengguncangkan kedua bahu gadis itu untuk menyadarkannya.

“Jangan nangis. Hei. Hei. Ayo kita cari. Aku cari di lantai atas, kamu di bawah. Hei,” jemari Chan sibuk menyeka pipi basah kekasihnya, sebelum ia kecup keningnya. “Kita pasti nemuin mereka. Jangan cemas. Ya?”

Sesengukan, gadis itu mengangguk. Mereka pun berpencar. Gadis itu mencari seluruh sudut dan ruang. Tak ada yang luput dari penglihatan, bahkan tempat-tempat absurd seperti keranjang pakaian kotor, tumpukan dus belanja online yang belum dibereskan, sampai bagian dalam vas. Chan sendiri menjelajah lantai dua. Ia membuka semua kamar mandi dan lemari pakaian. Ia bahkan mengangkat busa sofa seolah-olah kedua anak itu remote control yang terselip. Saat Chan sudah menduga mereka harus mengambil senter dan mencari di halaman depan dan.belakang, ia membuka kamar orangtua gadis itu dan, di sana lah, ia menemukannya.

Dipanggilnya gadis itu, yang tergopoh-gopoh berlari. Pasal melihat dua anak usia setahun meringkuk di kasur dan selimut orangtuanya, tertidur lelap, Adik menangis sejadinya, tak sengaja membangunkan kedua anak itu.

“Pah, pah.”

“Mah.”

Adik jatuh terduduk. Kedua lengannya meraup kedua anak itu, menangis dan menangis, sambil memeluk mereka. Melihat kakak perempuannya menangis, kedua anak itu pun ikutan menangis.

“Paaaaah...uuu...pahhhh...uuu...”

“Jangan ngagetin Kakak lagi, Ya Tuhan...jangan nangis, Sayang, jangan nangis...”

“Mamaaaaaahhh maaahhhhh...”

“Ssh, ssh, kalian kangen ya? Kalian kangen Papa Mama ya jadi kalian kabur ke sini? Kakak juga kangen, Dek. Sabar ya? Kita sabar ya? Papa Mama lagi sama Kakak, Dek.”

“Huaaaa...huaaaa..paaappppaaaaahhh...”

“Mamaaahhh...ueee...”

“Aduh kalian jangan nangis terus, nanti Kakak ikutan nangis lagi nih...”

Chan mengernyit memperhatikan itu semua sebelum memilih nomor Kakak di kontaknya.