60.
Keesokan harinya, sekitar jam makan siang, ayahnya datang ke restoran. Kakak tidak bertanya kemana ibunya, pun tidak bertanya kemana Joshua. Ayahnya menyelesaikan pekerjaan Joshua di dapur dengan sangat profesional. Tak ada pesanan yang salah maupun terlambat, meski ia hanya sendirian memasak untuk pesanan restoran yang ramai. Ia bahkan masih sempat merancang menu baru yang telah ia pilih dari perjalanannya ke Hungaria dan Austria.
Vernon ijin setengah hari setelah jam makan siang dengan alasan ingin menemani Seungkwan ke dokter. Ia cemas karena pagi ini, Seungkwan nampak kurang sehat. Yena menyuruhnya untuk menjaga ibunya dengan baik dan, melangkahi Kakak, dia mengusir Vernon dari restoran secara harfiah. Kakak cuma bisa tersenyum timpang, membiarkan saja kali ini.
Suatu waktu di sore hari yang sepi tamu, rupanya ibunya datang. Ia baru tahu ketika melangkah menuju dapur dan menemukan ayah dan ibunya berdiri merapat satu sama lain. Sepertinya ayahnya tengah menguji coba menu masakan yang baru. Ia diam di ambang pintu, memandang sosok mereka dari belakang. Ayahnya menyendok masakan dan menyuapi ibunya. Ibunya berkata sesuatu dengan wajah gembira, yang otomatis membuat ayahnya ikut tersenyum. Ayahnya mencium bibir ibunya, satu kali. Lalu, dua. Lalu, berkali-kali, sampai pada akhirnya ibunya mendorong ayahnya menjauh, mengingatkan mereka akan kompor yang masih menyala dan, terburu-buru, berusaha menyelamatkan masakannya. Ibunya membantu sambil tertawa.
“Manajer?” itu Yena. Kakak menaruh telunjuk di depan mulut, menyuruh gadis itu diam. Ia mendorong punggung Yena menjauh dari dapur. Tamu terakhir yang duduk lama di samping jendela rupanya sudah pergi. Mereka hanya berdua di restoran yang kosong itu, ditemani alunan lagu klasik tanpa lirik yang diputar ibunya sebelum masuk ke dapur tadi.
“Papa sama Mama manajer mesra ya,” gadis itu tersenyum.
“Mm,” dengan bangga, Kakak mengakui. “Mereka selalu gitu. Mesra. Saling sayang. Padahal tahun depan udah 20 tahun nikah.”
“Joshua kemana, Manajer?”
Kakak hanya mengangkat bahu. “Dia wa sih, katanya hari ini ijin sakit dan nggak tau kapan bisa balik kerja,” jelasnya.
“Waduh?”
“Tapi dia bakal balik.”
Yena menelengkan kepala. Sebuah gestur menanyakan bagaimana dia bisa tahu. Kakak menjawabnya dengan anggukan mantap.
“Dia bakal balik,” entah kenapa dia begitu yakin akan hal ini. Pak Seokmin sudah pulang ke Indonesia tadi pagi. Kakak menerima wa dari lelaki itu. Chat yang menyatakan terima kasih, Bapak pulang hari ini, maaf kalau mengganggu dan sebuah pesan:
'Tolong jaga Joshua.'
Hanya itu. Tapi dari sebuah kalimat itu, ia tahu kalau Joshua tidak akan lari kemanapun. Ia tidak tahu ada masalah apa kemarin tapi ia bisa menebaknya. Ia tidak mau memaksa Joshua cerita dan hanya bisa menunggu sampai anak itu kembali bekerja, bukan untuk menginterogasinya, tetapi untuk menjaganya.
“Yena.”
“Ya?”
“Menurut lo, gue bisa jagain orang nggak?”
Gadis itu berkedip. Mata mereka saling tatap. Kakak menunggu dengan sabar apapun yang akan keluar dari bibir gadis itu. Tanpa sadar, ia sudah menatap bibir Yena terlalu lama dari standar kesopanan. Dibuangnya muka, beralih memandangi tangan di celana jinsnya sendiri.
“Yena sih ngerasa Manajer selalu jagain Yena,” ucapan itu datang dengan ringan ke telinga Kakak. “Yena tau kok, nggak semua yang Yena ajakin, Manajer suka. Tapi, Manajer nggak pernah sekalipun marah beneran ke Yena. Mungkin Yena harusnya minta maaf ya karena selalu maksa Manajer. Maafin Yena ya?”
Kakak segera mendongak, menggeleng. Namun, semua penyanggahan hilang saat gadis itu mendadak menangkup kedua pipinya.
“Manajer,” Yena berkata dengan sungguh-sungguh. “Manajer orang yang baik. Yena emang baru kerja di sini, tapi Yena seneng kerja di sini. Orang-orangnya baik. Kerja di sini adalah pengalaman berharga yang enggak akan Yena lupain selamanya.”
Gadis itu tersenyum manis.
“Terima kasih ya, Manajer. Manajer emang bos paling oke.”
Kakak menggigit bibir bawahnya. Ia pribadi tidak merasa telah melakukan apapun. Faktanya malah ia sudah dibantu oleh mereka semua. Ia hanya bisa merepotkan saja, merepotkan orangtuanya, merepotkan pegawainya, tamunya, bahkan gadis itu pun...
“Gue enggak—”
Senyuman Choi Yena hanya semakin lebar saat dilihatnya sebulir air mata turun di pipi manajernya.
“Terima kasih, Manajer, terima kasih banyak...”
Dan, entah kapan, ia sudah tenggelam dalam kehangatan pelukan gadis itu. Di sana lah ia menemukan apa yang sudah ia pikirkan selama setahun mengambil cuti. Satu bulan lagi, tahun ajaran baru di sekolahnya akan dimulai dan Kakak sudah tahu ia mau mengarahkan jalannya ke mana.
Orangtuanya akan berada di sini selama dua minggu. Di penghujung dua minggu itu, ia akan memberitahu keputusannya pada mereka, yang sudah menunggu dengan sabar untuknya.
Malam itu, Kakak mengirim wa pribadi ke Joshua. Sebuah pesan balasan akan ijin sakitnya yang tertunda:
'Noted. We're all here for you, Josh. Please don't forget that.'