59.
Dua botol kecil sake kemudian, Lee Seokmin sudah lebih rileks, sudah lebih longgar untuk bercerita mengenai dirinya dan anak yang lebih muda 36 tahun darinya itu. Minghao dan Mingyu, keduanya sengaja tidak minum terlalu banyak, mendengarkan dalam diam. Di sekeliling mereka, orang-orang ramai mengobrol. Dentingan gelas muncul cukup sering. Para pelayan sibuk menerima pesanan camilan dan keluar-masuk dapur untuk membawakan sake dan bir. Izakaya itu ramai di penghujung minggu.
Mereka sejujurnya lebih memilih anggur daripada sake dan tempat minum yang tenang dengan seorang sommelier profesional daripada izakaya yang berisik, namun mereka tahu Seokmin lebih menyukai rasa sake dan suasana seperti ini, maka dengan sengaja mereka memboyongnya ke sini.
“Mas ngajak dia balik ke Indo sama Mas,” mulainya. “Mas pikir dia bakal seneng. I mean, he has no one, you know? Tinggal sendirian. Kuliah drop out. Yang dia punya cuma kerjaan di restoran itu dan paruh waktu di tempat lain. Dia bahkan nggak punya temen.” Kekehan keluar dari mulutnya. Pelan dan miris. Ia teringat lagi bagaimana santainya Joshua menceritakan itu semua, seolah anak itu sudah terbiasa kesepian.
...Karena itulah.
Karena itulah, Seokmin mengajaknya ikut pergi. Ia tidak mau Joshua kesepian lagi. Tidak mau bangun tanpa melihat wajah Joshua di sisinya lagi. Tapi, anak itu benar. Mereka bukan siapa-siapa. Tak ada relasi yang mengaitkan mereka. Hanya berbagi hangat tubuh satu sama lain. Seokmin pun mengakui, meski ia yakin ia ingin hidup bersama Joshua, tapi, apakah perasaan itu cinta, ia tidak tahu pasti.
”...Tapi, Mas salah. Rupanya dia nggak ngeliat Mas kayak gitu. Jujur, Mas juga nggak tau perasaan Mas sendiri. Nggak yakin apa. Tapi, kalo ngeliat dia senyum, denger dia ketawa, rasanya..rasanya bener. Rasanya, emang harusnya tuh kayak gini. Kayak semua ini. Mas cuma pingin...,” ditatapnya telapak tangannya sendiri. “....cuma nggak mau dia ngerasa kesepian lagi..cuma itu...”
“Mas...,” Minghao menangkup tangan Seokmin yang satunya lagi di meja.
“Rasanya...rasanya aneh. Mas nggak pernah ngalamin begini, nggak pernah kebingungan kayak gini. Mas pikir dia cuma iseng aja tidur sama Mas di hari pertama kita ketemu. Mas juga cuma iseng aja ladenin dia. Just like...casual sex, another hook up? Yang besok paginya tinggal bye bye and gone forever,” saat ini, yang ada adalah Lee Seokmin, salah satu sosok yang penting bagi Mingyu dan Minghao, bukan Lee Seokmin sang supir keluarga yang mengabdi sejak ia berusia 20, masih naif dan penuh harap akan cinta dan masa depan. Tanpa ia ketahui ia akan melewati 36 tahun dalam kesendirian, pulang ke rumah yang kosong setelah bekerja seharian dan menghabiskan akhir pekan dengan tidur atau memutari kota tanpa tujuan. Semua yang pernah singgah dalam hidupnya, menjanjikan bunga indah di taman, hanya berakhir dengan kepergian, meninggalkan sekuntum lagi bunga yang layu sebelum sempat berkembang.
Dan, ketika Seokmin berbalik, memandangi begitu banyak bunga yang layu di dalam tamannya, ia pun yakin kalau, dalam hidupnya yang ini, tak ada manusia yang diciptakan untuk dirinya seorang. Ia akan mati sendirian, sama seperti ketika ia lahir ke dunia sesaat sebelum ibunya meregang nyawa.
Ia yakin orang itu tidak akan pernah datang.
Tetesan.
Tetesan demi tetesan jatuh ke permukaan meja. Seokmin menunduk, namun itu tak cukup untuk menyembunyikan tangisannya dari kedua orang yang telah mengenalnya cukup lama untuk tidak berbicara apapun selain memeluknya, mencoba menghibur tanpa kata. Minghao melingkarkan lengan di leher Seokmin, sementara Mingyu mengelusi punggungnya.
“Anak itu masih muda. Dia masih muda. Masih 20, ya Tuhan...,” sesengukan. “Nggak seharusnya dia terbiasa kesepian begitu. Nggak seharusnya—”
Tidak seharusnya dia menemukan Joshua, yang juga tidak memiliki siapapun atau apapun di dunia ini, dan terpikat padanya. Keposesifan yang aneh membelit Seokmin, seolah ia tak pernah puas akan anak itu. Ia takut, pada awalnya. Semua ini terasa asing. Ia tidak paham. Ia tidak mengerti kenapa dirinya jadi aneh begini. Dan, meski ia sesungguhnya tahu takkan berakhir baik, ia tetap menemui Joshua, mengajaknya kencan, menciumnya, bercinta dengannya, bahkan mengajaknya pulang bersamanya ke Indonesia.
“Mas nggak ngerti...nggak paham...kenapa...anak semuda itu nggak seharusnya sama Mas, tapi Mas mau dia...mungkin Mas udah gila...”
“Mas,” itu Mingyu. Ia merangkul pundak Seokmin dan menyenderkan kepalanya ke kepala Seokmin, sementara Minghao masih memeluk leher lelaki itu. “Jujur, nih, gue dari umur 10 ngeliat Mas mulu. Gue pikir, nih orang ceria banget. Pasti idupnya penuh sama hal-hal bahagia. Tapi, rupanya gue salah.”
Seokmin menggigit bibir bawahnya.
“Lo yang gue kenal adalah orang yang dingin, Mas. Lo pernah nanya ke gue kenapa gue mati-matian ngejer Wonu dulu dan lo ketawa. Lo bilang gue masih naif dan bocah. Pas gue ceritain lo soal Hao, lo juga cuma senyum, seolah kejadian Wonu ninggalin gue bakal keulang lagi sama Hao. Lo segitu enggak percayanya sama cinta ya, Mas, segitu enggak taunya sama perasaan itu?” Mingyu terkekeh. Ia ingat ia marah besar, meski kemudian Seokmin menjelaskan padanya kalau cinta saja tidak akan cukup. Tidak akan pernah cukup. “Dan liat lo sekarang, Mas. Lo kena karma.”
Dielusnya kepala Seokmin dengan lembut.
“Lo jatuh cinta sama anak itu, Mas.”
...Cinta? Jadi cinta itu perasaan yang begini? Ini yang namanya cinta...?
“Mingyu,” suaminya memperingatkan. “Mas Seok, kalo bener yang dibilang Gyu, berarti emang Mas baru kali ini tau rasa cinta ya? Aku emang nggak kenal Mas lama, baru pas aku nikah sama Mingyu aku kenal sama Mas, tapi, selama waktu singkat itu, Mas udah baik banget sama aku. Aku pun berharap Mas nemu siapapun yang bisa buat Mas bahagia.”
Minghao tersenyum, teringat saat Seokmin menyupirinya sendirian tanpa Mingyu setelah mengetahui bahwa pernikahan itu hanya kebohongan belaka. Seokmin dengan tulus memohon agar Minghao tidak menyakiti Mingyu dan agar mereka berdua berbahagia, berdua ataupun masing-masing di jalannya.
“Menurut aku, kalo emang Mas masih baru sama perasaan ini, mungkin ada baiknya Mas sama Joshua pisah dulu.”
“Hao.”
“Kayak kita dulu, Gyu, inget nggak?” tentu saja Mingyu ingat ketika ia meninggalkan Minghao untuk berpikir. “Satu-satunya nasehat yang bisa aku kasih ke Mas Seok, sama kayak aku kasih ke Kakak: semua itu waktu yang bakal jawab, Mas.”
”....Jadi, mendingan Mas pulang dan balik gitu aja ke kehidupan Mas sebelum ketemu Joshua?” kekeh Seokmin terdengar miris. “Kayak anak itu nggak pernah ada dari awal?”
“Justru itu,” Minghao memotongnya. “Justru orang kayak Mas harus ngerasain itu dulu. Biar Mas tau, apa Mas beneran mau Joshua ato in the heat of the moment aja.” Mata hitam Minghao berkilat. “Kalo emang Mas kemakan karma, just bare yourself fully.”
Mingyu diam-diam menelan ludah, paham bahwa Minghao rupanya agak terluka akan fakta yang ia sebut tadi, dimana Seokmin bilang kalau Minghao akan meninggalkan Mingyu seperti Wonwoo. Seokmin sendiri mengerutkan alis, masih tidak yakin apakah ia harus pergi begitu saja dari Joshua, meninggalkannya seorang diri..
...kesepian lagi...
“Tapi,” lalu, senyuman lebar merekah di wajah Xu Minghao. Ditangkupnya pipi Seokmin agar lelaki itu mendongak menatapnya. “Mas harus bilang semua yang Mas pendem ke Joshua.”
Bola mata Seokmin membulat.
“Semua. Semua yang ada di hati Mas. Keluarin semua ke dia, kayak apa yang Mas baru aja lakuin ke kita. Mas harus bilang semua.”
”...Kenapa?”
“Ya kan, masa yang mikir cuma Mas aja? Joshua juga lah,” kekehnya lugas. “Bilang ke dia, Mas. Don't left him in the dark. Don't go without him knowing why. Kalo kalian harus menderita, kenapa enggak berdua aja biar adil?”
...
“Nih, Mas,” Mingyu menyelipkan secarik kertas yang ia minta ke pelayan ke tangan Seokmin. “Alamat apartemen Joshua.” Kedipan sebelah mata kemudian. “Dia nggak jauh dari sini kok, jadi Mas bakal keburu ngejer pesawat. Yah...asal nggak tetiba horny aja.”
Alih-alih tersinggung, Seokmin tertawa.
“Trims...kalian.”
“Good luck, Mas Seok.”
“Ciee balik kayak anak muda nih, ngejer kekasih hati~“
Begitu Seokmin pergi, Minghao menghela napas. “Sok ngatain Mas Seok, padahal kamu sendiri juga, udah bangkot masih aja,” keluhnya. “Itu tadi apa, gelut sama takdir lah.”
Mingyu tertawa, dirangkulnya Minghao dengan santai. “Ya emang aslinya gitu gimana dong? Even if the whole world is against us, I will still make you mine, Hao...” Ia beranjak untuk berbisik ke telinga suaminya, membuat Minghao seketika memerah.
Mingyu menjilat bibirnya sendiri.
“Mau coba Love Hotel? Kamarnya menarik lho,” digigitnya telinga Minghao. “Dua blok dari sini banyak. Kita tinggal pilih.”
Yah, just like what people said, when in Rome, do as the Romans do :p