58.
“Hao??”
“Kwannie???”
Pelukan ibunya terlepas. Detik kemudian, pelukan itu pindah dari Kakak ke sosok yang dipanggil 'Kwannie' itu. Mereka berpelukan erat melepas rindu. Keduanya memasang senyuman yang paling lebar dan tulus. Mata Minghao pun berbinar-binar.
“Lo kemana aja, Hao, anjiirr anjirr gue kangen banget sama loooo!”
“Lo yang kemana aja! Abis lulus, lo langsung cabut ke Amrik!” kekeh Minghao. “Kok lo bisa ada di sini sih? Kok bisa kita ketemuan di sini??”
“Lo yang kok bisa ada di sini! Gue udah tinggal di Tokyo 10 tahun, njing! Aahhh gila, gilaaa, jauh banget gue ketemuan sama lo di sini hahahah!!”
Peluknya lagi. Minghao menepuk-nepuk punggung sahabatnya masa kuliah yang lebih muda setahun itu. Tidak lama, pelukan kedua orang itu pun terlepas.
“Gimana kabar lo, Hao? Sehat kan?? Lo tinggal di sini juga sekarang??”
“Sehat, sehat,” Minghao tertawa sambil mengusap tangis haru dari sudut mata sahabatnya. “Gue baruuuu aja buka resto di sini sih, ada kali baru sebulan. Dan, enggak, gue tetep tinggal di Indo kok. Kebetulan aja laki gue—” Ucapannya berhenti, karena dia baru sadar kalau belum memperkenalkan Seungkwan ke Mingyu (meski ia yakin Seungkwan sudah sangat tahu siapa Kim Mingyu, seperti seluruh isi kampus).
“Ah...Pah, sini aku kenalin,” diulurkannya lengan dan Mingyu refleks menyambut. Lengannya sendiri kini melingkari pinggang Minghao, sementara suaminya itu memeluk sisi tubuhnya. “Gyu, ini Boo Seungkwan. Temen deket aku pas kita kuliah dulu. Kwannie, ini suami gue, Kim Mingyu.” Minghao diam sejenak sebelum melanjutkan sambil meringis. “Gue yakin sih lo udah kenal banget dia.”
“Menurut lo??” Seungkwan mendelik.
“Halo, gue Mingyu,” ia tersenyum, lalu menjabat tangan Seungkwan. “Tapi aneh deh, Hao nggak pernah cerita kalo dia punya temen deket pas kuliah?”
“Wah...wah, Kim Mingyu jabat tangan gue...,” Seungkwan bergumam sendiri. “Hehe hehe, iya nih, nggak tau tuh si Hao emang dasar, hehe...”
“Heh. Elu yang cabut sehari setelah lulusan ya. Gue mau kenalin juga percuma, lu nya nggak ada.”
“Aisssh bacot,” ia mendesis gemas. “Btw, gue mau nanya satu hal sih, tapi nggak tau pantes apa nggak?” Seungkwan mendongak menatap Kim Mingyu.
“Ya?”
“Kok bisa sih lo sama si Hao? Bukannya lo ngejer-ngejer Kak Wonwoo ya, sampe nanyain ke Hao?” tidak ada nada negatif di sana, murni rasa ingin tahu. “Asli, gue pikir lo bakal kawin sama Kak Wonwoo lho. Satu kampus mikirnya gitu juga.”
Kim Mingyu terkekeh. Rangkulannya di pinggang Minghao mengencang, membuat lelaki itu makin jatuh ke pelukannya. “Yah...,” selorohnya santai. “Gimana ya, kalo emang ternyata jodoh gue justru orang yang gue interogasi dulu, masa gue mau nyalahin takdir sih? Lagian...”
Mingyu menoleh, kemudian tersenyum lembut memandangi Minghao.
”...kalopun Hao bukan jodoh gue, gue bakal ajak takdir gelut demi dapetin dia...”
Yang, tentu saja, membuat pipi Minghao dan semua orang yang menonton mereka bersemu.
“P-pah, apaan sih—” Minghao mendorong Mingyu agar ia lepas dari pelukannya. Berdeham dua kali untuk meredakan debaran jantungnya yang sempat berpacu, Minghao kembali menumpahkan fokus ke Seungkwan.
“Anyway, Kwannie, sini gue anter ke meja—”
“Ah, Bos, biar gue aja,” itu Vernon. Ia merangkul pundak Seungkwan. “Hari ini nggak terlalu rame, so...ijin pacaran sambil maksi bentar nggak apa ya?” Ringisnya tersungging, kontras terhadap Seungkwan yang langsung malu-malu.
“Iiih, enak aja! Saya juga ijin, Bos! Mau duduk bertiga sama Mama! Pergi kamu, Vernonie, jangan monopoli Mama!” yang itu Choi Yena, protes tiba-tiba.
“Mama? Pacar?” bola mata Minghao melebar.
Giliran Seungkwan yang menjelaskan dengan ragu-ragu. “Ah...iya, Yena anak gue dari pernikahan pertama gue, Hao,” ia membiarkan Yena dan Vernon berlomba lari ke meja dekat jendela, berusaha mengklaim tempat duduk di sebelah Seungkwan nantinya.
“Oh...”
”...Nggak lancar sih. Laki gue ninggalin gue pas Yena masih kecil. Pergi gitu aja sama selingkuhannya. Terus gue pindah ke Jepang. Nikah lagi sama rekan kerja gue di sini. Tapi yah, gue nggak tau ada yang salah kali ya sama gue. Istri gue terus minta cerai. Dan yah, akhirnya gue balik sama Yena lagi berdua aja. Sampe gue ketemu Vernon dua tahun lalu.”
Minghao menggenggam kedua tangan Seungkwan, mendengarkan ceritanya dengan atentif.
“Pasti aneh ya, gue udah umur segini tapi malah pacaran sama anak kuliah, haha...”
“Nggak kok, Kwan,” diremasnya tangan sang sahabat. “But does he make you happy?”
“…Yeah,” Seungkwan menghela napas, tanpa beban. “He makes me happy. The happiest I've ever been.”
“Then isn't that fine?” Minghao tersenyum lembut. “Gue kenal orang-orang yang pas usia kuliah malah jauh lebih dewasa pemikirannya dari yang udah dewasa and one of them is you.” Dibelainya tangan itu. “You helped me a lot back then. You're a really kind man, Kwannie. My lovely best friend. So if anyone has the right to be happy, then that'll be you...”
Diam-diam, sebulir tangis menuruni pipi Seungkwan dan Minghao segera mengusapnya dengan ibu jari.
”...Lagian, kayaknya kita bakal sering ketemu abis ini.”
“Eh?”
Minghao meringis. “Resto ini punya gue sama Mingyu,” jelasnya. “Berhubung Vernon sama Yena kerja di sini, lo juga harus dateng sering-sering ya.”
“Punya lo? Berarti lo bakal netap di sini?”
“Oh, enggak sih,” gelengan kepala. “Anak perempuan gue sendirian di Indo. Nggak mungkin gue tinggalin. Tapi gue bakal ada di sini kira-kira dua mingguan buat planning menu season berikutnya dan...buat anak laki gue nentuin jawabannya.”
Minghao menoleh ke sosok yang ia sebutkan, diikuti Seungkwan. Sosok yang tinggi dan ramping, dengan rambut menjuntai berantakan ke segala arah seperti biasa. Anak lelaki itu misuh-misuh ketika dipanggil Yena untuk memesan, tapi tetap saja menuliskan pesanan Yena dan Vernon. Di satu momen, Yena tertawa dan anak sulungnya itu menggetok kepala si gadis perlahan dengan buku memonya.
“Itu anak kalian? Mirip elo ya?”
”.....”
“Hao?”
“Kwannie. Moga-moga semua lancar dan kita jadi besan ya?” senyuman lebar.
“Ha?”
Perlu lima detik buat Seungkwan menyadari apa maksud sahabatnya itu.
“Hah???”
Sementara itu, Kim Mingyu menggulung lengan kemejanya. Ia sudah tidak sabar untuk merombak menu restoran dari hasil perjalanan mereka ke Hungaria dan Austria. Musim berikutnya adalah musim gugur. Musim untuk buku, makanan enak, dan juga cinta. Ia sudah bisa membayangkan masakan apa saja yang akan mereka sajikan ketika langkahnya terhenti. Di dapur, ada dua orang yang sedang berpelukan erat. Joshua, di balik punggung lebar itu, melihatnya, lalu mendorong lelaki yang tengah memeluknya itu.
”! Bos Kim?! Kok di sini?! Kapan pulang?”
“Harusnya saya yang tanya itu, Joshua, kenapa ada orang luar yang masuk dapur—”
“Mingyu...”
Mulut Kim Mingyu membuka dalam keterkejutan.
”...Mas Seok???” sebentar, memang sih Hao bilang Mas Seok sempat ke sini untuk memeriksa keadaan Kakak, tapi tidak ia sangka...dengan Joshua?? Bukannya Mas Seok lebih tua darinya?? “Kalian—how—”
“Dia udah mau pergi kok, Bos Kim,” Joshua menyela. “Dia bakal pulang malem ini. Dan kita nggak ada apa-apa. Ya kan?”
Anak itu menoleh, tersenyum paksa. Seokmin mengernyitkan alis. Ditangkupnya pipi Joshua dan, sama sekali tidak mengindahkan keberadaan Mingyu, bibirnya melumat bibir Joshua.
“Mmh?!”
Joshua melirik takut ke arah Mingyu yang menonton semua, tercengang bukan kepalang. Lidah Seokmin masuk dan mencoba mendominasinya, membuatnya hampir melemas dalam pelukan lelaki itu dan mengikuti segala keinginannya, namun Joshua lebih kuat. Didorongnya Seokmin sekuat tenaga hingga ciuman mereka terlepas.
“FUCK!” bentaknya. “JUST FUCKING GO, OKAY?? I WON'T COME WITH YOU. I HAVE LIFE HERE. IT'S JUST A FUCKING FLING!”
“Joshua—”
“GET THE FUCK OFF, LEE SEOKMIN, WE'RE DONE HERE!” dengan satu kalimat itu, Joshua berderap keluar dapur. Terdengar teriakan Minghao memanggilnya. Sepertinya anak itu kabur entah kemana.
Dia meninggalkan Mingyu dengan Seokmin di dapur. Untungnya toko sedang memasuki jam-jam sepi. Seokmin mengusap bibirnya dengan punggung tangan, tampak sangat terluka.
“Pah! Pah, kok Joshua pulang—” Minghao menyeruak memasuki dapur. “—oh. Mas Seok? Mas Seok kok ada di sini?”
“Halo, Hao,” Seokmin tersenyum lembut, lalu menatap Mingyu. “Sori, Gyu. Gue bantuin deh di sini.”
“Mas,” Mingyu menyela. “Minum bareng yok, mau nggak? Udah lama kita nggak ngobrol.”
“Tapi Mas pulang malem ini...”
“Nggak pa-pa, masih ada waktu,” ia lalu melanjutkan. “Hao, hari ini kita tutup cepet aja yok. Aku mau nongkrong sama Mas Seok.”
“Ikut.”
“Hao?”
“Mau ikut,” suaminya mengernyit menggemaskan. Matanya serius, mengunci tatap dengan Seokmin. “Tadi Joshua nangis, Mas.”
Sentakan napas terdengar.
“Aku juga mau denger soal ini dari Mas.”