40.
Jawabannya datang dalam bentuk seperti ini:
“Permisi! Mau pesen.”
Wonwoo menoleh, kemudian langsung meraih notes dan bolpoin. Dengan senyum komersil hasil latihan manajernya, dia siap mencatat pesanan.
“Ya, Mbak?”
“Emm, yang spesial di sini apa ya?”
Yak, poin ke lima dalam manual restoran. “Semuanya enak sih, Mbak, tapi yang favorit di kita tuh—” anak itu menaikkan kacamatanya sebelum menjelaskan satu-persatu. Gadis itu mengangguk-angguk, helai rambut pendeknya bergoyang tiap anggukan.
“Kalo gitu aku pesen yang ini—”
“Baik.”
”—dua, yang ini satu, yang ini dan ini, terus ini, ini, juga ini. Dua ya yang ini.”
Wonwoo berhenti mencatat untuk memandangi gadis itu. Yang membalas kernyitan dahinya adalah senyuman lebar nan jenaka.
“Buat takeaway, Mbak?”
Gelengan kepala, “Nggak, makan di sini kok.”
“Mm, nanti dateng temennya?”
“Nggak. Aku sendiri kok.”
Makin dalam kernyitan dahi Wonwoo. Makin lebarlah senyuman gadis itu.
“Sori ya, Mbak, tapi kalo cuma buat difoto terus nggak dimakan—”
“Oh! Enggak kok, enggak! Aku makan!” kibasan tangan buru-buru. “Makan kok! Aku abisin!”
“Bener ya, Mbak? Nanti makanannya nangis kalo nggak dimakan soalnya. Sayang kan, mubazir,” dahinya masih mengernyit, masih tidak percaya.
“Iya, bener kok. Janji!” gadis itu tersenyum lagi, tapi kali ini mengangkat kelingking kanannya ke depan wajah Wonwoo. “Janji kok. Aku nggak akan nyisain makanannya.”
Ragu-ragu, Wonwoo memandang wajah gadis itu lalu ke kelingkingnya. Dia ingat dia berpikir, 'Cewek aneh', saat mengaitkan kelingking mereka berdua.
Satu jam kemudian, dia bertepuk tangan. Matanya berbinar, persis seperti pengunjung dan staff lain di restoran itu. Si gadis telah menyelesaikan piring terakhirnya dan tersenyum pada semuanya. Kamera disangga tripod di depannya kemudian dia matikan setelah memberi salam terakhir. Gadis itu lalu membungkuk ke semua audiens di sana dan berjalan mendekati Wonwoo.
“Bener kan, Mas, aku nggak sisain makanannya?” 😊
Wonwoo, masih takjub, akhirnya ikut tersenyum. Tersipu.