32.

#gyuhaoparentssequel

“Mah.”

“Hmm?”

“Menurut kamu, kenapa ya Kakak sampe ngambeg gitu?”

Minghao menghela napas. “Aku juga nggak tau, Pah,” bukunya ia tutup lalu pinggirkan ke nakas. Besok, mereka harus jalan sedari pagi untuk mendatangi sebuah restoran di desa kecil, cukup jauh dari pusat kota tempat mereka menginap. “Kata Mas Seok sih dia mau buat kita bangga kalo dia bisa manage resto itu.”

Otomatis, Mingyu mengerutkan alis.

“Tapi kita selalu bangga sama anak-anak...?”

“Mmm...itu juga yang aku bilang ke Mas Seok,” gumamnya. Minghao mematikan lampu kamar hotel mereka, lalu menghidupkan lampu baca kecil sebagai penerangan. Cahaya kuning lembut pun bersinar. Ia berbalik menghadap Mingyu, lalu menaikkan selimut ke atas bahu mereka berdua. “Nggak tau deh. Kita biarin aja dulu, Pah, sambil kita pantau.”

“Mmm...”

Hening. Minghao sudah memejamkan mata, berusaha tidur. Mingyu masih memerhatikan wajah suaminya, meraup gurat wajah yang tercetak oleh bertahun-tahun perjuangan hidup. Usia mereka berdua 46 kini, dan Minghao masih seindah ketika ia melihatnya berdiri di belakang konter kedai kopi, tersenyum dan menyapanya, Kim Mingyu, usia 18 jurusan Arsitektur.

“Mah...”

“Hmm?”

“Kamu cantik.”

....Pfft.

A giggle, high and adorable one. “Apaan sih, Pah?” meski begitu, Minghao tersenyum lebar, amat manis di mata suaminya. Entah sudah keberapa kali Kim Mingyu jatuh cinta, lagi dan lagi, pada orang yang sama. Bahkan empat anak kemudian, cintanya tidak pernah berubah.

“Beneran. Kamu cantik.”

“Gombal.”

“Kalo gombal tapi jujur, nggak apa kan?”

“Mana ada gombal jujur, Pah.”

“Ada,” ngotot. “Kamu cantik, Mah.”

Mingyu maju. Wajah mereka kini semakin dekat hingga ia bisa menghirup udara bersama. Minghao menyamankan diri dengan menaruh tangannya di pinggul suaminya. Sementara tangan Mingyu mengelus pipi Minghao.

“Kamu masih inget, Hao, pas kita ketemu dulu?”

Lagi, kekehan kecil.

“Masih. Dateng-dateng salting ngenalin diri, terus nodong aku soal Wonu,” decakan. “At least kalo dateng-dateng salting tuh ngajak kenalan gitu, masa buat minta info soal lelaki lain sih?”

“Emang kalo aku ngajak kenalan kamu pas itu, kamu mau?”

“Ya enggak lah.”

“Kan??”

“Abisan kamu jelek kucel pas dateng itu, mana bau keringet.”

Mingyu shock. “Aku abis maen bola?? Dan aku jelek?? Xu Minghao??” he feels really betrayed.

“Candaaa,” diunyelnya pipi Mingyu, gemas. “Ganteng kok. Gantengnya aku. Suaminya aku.”

Mmuah. Mmuah. Mmuah.

Tiap kata diselingi kecupan di bibir. Kim Mingyu yang tadinya mencibir ngambek, pun berubah menjadi kuluman senang. Dikecupnya balik bibir itu.

“Kamu juga gantengnya aku,” ciuman. “Suaminya aku.”

“Bucin.”

“Emang. Proud of it.”

Mereka tertawa bersama. Banyak orang yang bilang betapa berbedanya pasangan suami itu. Yang satu jutek dan tegas. Yang lainnya seperti anak anjing kebesaran badan. Adalah keajaiban, kata mereka, kalau Mingyu dan Minghao masih mesra hingga 19 tahun usia pernikahan mereka. Panutan mereka. Couple goals.

Namun, banyak orang tidak tahu, semua usaha yang mereka lakukan untuk saling berkompromi di awal pernikahan. Mereka bukan sahabat lama lalu menikah. Bukan pula dua orang yang jatuh cinta begitu dalam dan memutuskan untuk mengikat benang merah mereka selamanya. Mingyu dan Minghao hanya pernah satu kali mengobrol semasa kuliah, yaitu ketika Mingyu menanyakan soal kakak tingkat mereka untuk amunisi PDKT. Mereka sama sekali tidak ada kontak sebelum bertemu lagi secara tidak sengaja 8 tahun kemudian. Mereka berteman selama setahun, kedua orang asing yang menemukan kesamaan di hobi fotografi dan fashion. Ketika mereka menikah pun, tidak ada landasan cinta ataupun impian muluk-muluk selain suntikan dana untuk mencegah kepailitan.

Ya. Pernikahan mereka cukup berat diterjang badai di awal-awal. Mereka bertengkar hampir setiap hari, semata karena Mingyu makan terlalu berisik, atau Minghao menyetel piringan hitam terlalu kencang. Tidak ada pernikahan yang mudah. Semua punya cobaan dan ceritanya masing-masing. Mereka bahkan sempat mendatangi konsultan pernikahan karena sudah mulai merasa membenci satu sama lain. Sepulang mereka dari sana, Mingyu mengepak koper kecil, pergi meninggalkan Minghao untuk berpikir sendirian selama seminggu lebih.

Pun Minghao memanfaatkan momen itu untuk merenungkan banyak hal. Renungan yang membawa ingatannya akan segala kebaikan suaminya selama ini. Segala masakan lezat yang dibuat untuknya, segala pijatan pada tengkuk ketika ia pulang kelelahan akibat bekerja terlalu keras, teh hangat dimasukkan batang serai saat Minghao batuk-batuk, juga sapaan serta senyuman ceria yang menyambutnya tiap ia melihat wajahnya, seakan Mingyu selalu menanti kedatangannya. Minghao tersenyum. Semua perhatian kecil yang selama ini luput disadarinya. He took his husband for granted.

Maka, ketika Mingyu pulang ke rumah, ia langsung berlari dan memeluknya, erat, penuh bisikan permintaan maaf dan terima kasih. Ia ingat Mingyu melakukan hal yang sama. Ingat bagaimana lelaki itu mengecup kepalanya penuh sayang. Mungkin, saat itulah, Minghao merasakan desir aneh dalam dada. Desir yang lembut, menghangatkan seluruh tubuhnya. Mungkin, saat itulah, ia jatuh cinta pada suaminya, Kim Mingyu.

Dan sejak saat itu, mereka berdua sepakat untuk saling terbuka. Saling berkompromi. Mereka sadar sepenuhnya kalau rumah tangga dibangun oleh dua orang yang saling bekerjasama. Tanggung jawab yang mereka pikul adalah tanggung jawab bersama. Mereka pun bergantian memasak, mengurus rumah, dan, nantinya, mengurus anak-anak mereka. Ketika salah satu tidak bisa melakukan satu tugas, yang lain sigap menggantikannya. Tentu, tidak mulus, jalan mereka juga bercabang dan berkelok-kelok, namun, somehow, they made it this far. The two of them.

”....Mingyu?”

“Yes?”

“Kapan kamu jatuh cinta sama aku?”

Mingyu mengernyit, mencoba mengingat-ingat. Menarik ingatan 20 tahun yang lalu jelas tidak mudah. “Lupa?” akunya. “Aku juga nggak tau persisnya kapan, tapi aku inget ngefoto kamu yang lagi ambil foto. You look so majestic, like an art came to life. Like, I want to keep you, being mine.”

Minghao mendecak. Tidak suka disetarakan dengan objek mati seperti itu. “Oh? Jadi aku cuma simbol posesif kamu aja, gitu? Trophy husband buat dipamerin?” sedikit terluka akan ucapan Mingyu.

“Bukan gitu,” menyadari salah paham itu, Mingyu mendusel sisi wajah Minghao. Ia menarik suaminya ke dalam pelukan. “Itu cuma salah satu momen kok. Aku nggak ingat kapan aku jatuh cinta sama kamu, tapi kamu masuk ke dalem sini.” Tangan Minghao dia bawa ke dadanya, tepat di atas jantung. “Kamu masuk, merasuk, dan tinggal di sini. Juga di kepalaku.”

Mingyu tersenyum lembut. Dari sorot mata semata, seluruh dunia tahu bagaimana ia begitu jatuh cinta, sayang bukan kepalang, pada lelaki yang pantulannya terefleksi di matanya saat ini.

“Kakak pernah nanya ke aku, apa aku sayang sama kamu,” lanjutnya. “Terus kujawab, jujur, aku nggak tau. Aku nggak bisa bilang aku sayang sama kamu, Hao, soalnya kamu udah jadi satu sama kulitku, dalam darahku. Oksigen buatku. 'Sayang' udah nggak bisa ngejelasin seberapa butuhnya aku sama kamu.”

Perlahan, rona merah menjalari pipi Minghao. Ia menunduk, tersenyum malu-malu, membuat jantung Mingyu berdebar kian cepat. Manis sekali. Suaminya. Kekasih hatinya.

Sempurna. Sempurna. Xu Minghao.

Oh Tuhan, bagaimana bisa manusia mencinta sampai di luar kapasitasnya...? Mingyu pasti sebuah anomali dalam ciptaan-Mu.

Disentuhnya rahang Minghao agar suaminya menatap matanya.

“Kamu segalaku, Hao. Sahabatku. Suamiku. Ibu dari anak-anakku. I love you. I love you so damn much it's impossible to define my feelings for you with words. In this lifetime...in our next...I'm so glad I can be yours as you are mine. I'm thankful everyday, to life, to God, that I met you and fell in love with you, and have beautiful kids with you, living everyday as if I am in a long beautiful dream...”

Setetes tangis turun diam-diam, bergulir di pipi Minghao. Mata Mingyu memerah. Sarat akan emosi.

“Thank you for coming into my life, Hao. Thank you....”

“Stupid...,” Minghao tak kuasa lagi menahan. Ia memeluk suaminya begitu erat. Mereka berpelukan di tempat tidur, menangis perlahan. Minghao menyeka air matanya, sementara air mata Mingyu menetes ke sisi leher Minghao. “It should be my line, xīngān...”

Lalu, mereka tertawa bersama. Tawa dan tangis bercampur baur. 19 tahun, tahun depan 20, bukanlah jalan yang singkat. Tak ada pernikahan yang terbilang sempurna, pun pernikahan Mingyu dan Minghao. Hanya dengan kemauan kedua pasangan untuk saling berkompromi dan bekerja sama lah, mereka bisa mencapai kebahagiaan saat ini dan nanti, ketika mereka sudah tua dan letih, dan menghabiskan waktu dengan duduk di beranda rumah mereka, menatap dunia terus berputar, di bawah sinar matahari senja yang indah, menanti saatnya mereka menutup mata selamanya.

Berdua, tersenyum, dan saling berpegangan tangan.