28.

#gyuhaoparents

“Mah...”

“Ya, Sayang?”

“Mamah sayang sama Kakak kan? Sayang sama Adek kan?”

Hati Minghao seakan hancur mendengarnya. Meski anak lelakinya sudah menginjak kelas 2 SMP, ia membiarkan anaknya bermanja dalam pelukannya. Mereka bersandar di sofa ruang keluarga, separuh berbaring bersama. Anaknya memeluk ibunya tidak mau lepas, persis seperti saat ia masih kecil dan terpisah secara tidak sengaja di pusat perbelanjaan. Anak itu menangis semalaman sampai Mingyu membiarkannya tidur di antara mereka.

Tentunya tidak mungkin untuk tidur bersama orangtuanya di usia segini, namun anak lelakinya bersikeras untuk memonopoli ibunya selama mungkin.

“Kenapa Kakak nanya begitu? Adek bilang apa ke Kakak...?”

Sebuah gelengan cepat. Tidak ada informasi mengenai sumber masalah ini baik dari anak lelaki maupun anak gadisnya. Sungguh, Minghao penasaran, tapi ia tahu lebih baik daripada memaksa mengorek cerita dari kelabilan dua anak remaja. Bila mereka ingin cerita, maka mereka akan cerita. Kesimpulan itu yang ia dapat selama membangun rumah tangga bersama Mingyu.

”...Mamah sayang kita kan?”

“Ya Tuhan, Nak...,” ditariknya napas. Didekapnya tubuh kurus tinggi yang jelas berasal dari gen keluarga Xu. “Nak. Anak Mama. Anak laki Mama. Anak sulung Mama. Kamu dan Adek itu harta Mama sama Papa, Nak. Semua yang Mama sama Papa lakuin, itu semua buat kalian...”

”......”

“Kakak jangan mikir aneh-aneh ya, Kak, kalo ada yang dipendem, cerita ke Mama, ke Papa. Mama tau, Mama sama Papa sibuk terus akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti Mama sama Papa nggak sayang kalian, Nak...”

”.......ng,” anggukan kecil, anak itu menggamit ibunya dalam cengkeraman putus asa, seolah satu-satunya hal yang bisa ia pegang adalah ucapan ibunya barusan.

Xu Minghao mengecup kening anaknya, lalu ubun-ubunnya dengan rambut hitam yang senantiasa berantakan. Dielusnya lembut punggung anak itu tanpa henti. Anak itu menangis. Di dekapnya, anak itu menangis. Mirip ayahnya yang mudah sekali menangis.

“Bentar ya, Sayang, Mama ambilin tissue di kamar Mama...”

Meski enggan, pelukan pun terlepas. Minghao memasuki kamar tidur yang ia bagi dengan Mingyu. Boks tissue ada di atas meja rias. Ia mengambil seboks-boksnya karena, menilik bagaimana buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka anak lelakinya itu pasti akan terus menangis sampai air matanya benar-benar kering.

Ia sudah hendak keluar, ketika dilihatnya surat itu. Amplopnya putih bersih. Ada namanya tergores di sana dalam tinta hitam dengan rapi. Semalam ia tidak sempat menyadari keberadaan benda tersebut karena terlalu letih dan harus berangkat kerja pagi-pagi sekali. Diambilnya amplop itu, lalu ia keluar, kembali ke ruang tengah.

Minghao membantu anak lelakinya menyeka tangis yang jatuh di pipinya. Ketika sudah cukup kering, ia mencium kedua pipi anak itu dan memeluk balik saat anaknya itu memeluknya. Berada dekat begini, bersentuhan begini, adalah hal yang paling ia senangi. Ia merasa aman berada dalam pelukan, merasa semua baik-baik saja.

Beberapa saat kemudian, pelukan memudar menjadi rangkulan sebelah lengan. Balik lagi ke posisi duduk bersandar separuh berbaring. Anaknya di satu lengan, surat di lengan lain. Xu Minghao membuka amplop tersebut disaksikan anak lelakinya.

Ia membaca beberapa detik, lalu, mendadak, beranjak ke posisi duduk. Rangkulan mau tak mau terlepas. Bola mata membaca isi surat dengan seksama. Fokusnya penuh ke sana, tidak menghiraukan anaknya yang kini menatapnya penuh tanda tanya.

Kemudian, perlahan, bibir merekahkan senyuman. Lebar. Tulus. Makin bertanya-tanya lah anak lelakinya, apa yang ibunya baca sampai membuatnya begitu bahagia?

“Mah...?” dipanggilnya, ragu.

Minghao belum sadar.

“Mah? Mamah?” kali ini, dicoba lebih frontal. Lengan ibunya ia guncangkan. “Mamah baca apa sih? Mah? Itu surat dari siapa?”

“Oh!” seketika itu, ia tersadar. Seketika itu juga, wajah ibunya merona merah. “B-bukan apa-apa. Ini...ini cuma surat dari, mm, t-temen lama Mama...”

Anak lelakinya memicingkan mata. Tidak percaya.

“Nggak...nggak penting kok, ahaha...,” ibunya mengipasi wajahnya sendiri. Meski begitu, senyumnya tidak kunjung tanggal. Dipandangnya lagi surat itu, lalu dibekapnya di dada. “Mmm, Mama taro surat ini dulu ya. Kalo Papa udah turun sama Adek, nanti kita makan ya?”

“Tapi, Ma—”

Tergesa-gesa, Xu Minghao bangkit. Arah pandang anaknya terus mengikuti ibunya.

”—Kakak udah makan.”

Dan ia bersumpah kalau, tepat sebelum pintu kamarnya menutup, ibunya mengecup surat itu penuh sayang.