27.

#gyuhaoparents

“Adek, ini Papa, Nak.”

Tidak ada jawaban. Hening, seakan tak ada kehidupan di dalam sana. Kim Mingyu berdiam diri sejenak. Dengan sengaja, ditempelkannya telinga ke pintu, mencoba mendengarkan sesuatu, apa pun.

Harapnya terkabul. Ada suara gesekan, juga langkah kaki ringan. Diam-diam, ditariknya napas perlahan. Lega, bahwa anak gadisnya tidak pingsan atau dalam kondisi mengenaskan lainnya.

”.....”

Minghao pasti sudah memanggil anak itu terus-menerus. Berarti cara tersebut tidak efektif. Kim Mingyu merenung, memikirkan apa kiranya penyebab semua ini, karena sampai kemarin, anak gadisnya nampak baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda pertengkaran dengan kakaknya maupun dengan ibunya.

('Adek benci sama papa') ('Adek benci sama mama') ('Nggak usah pulang sekalian')

....Dadanya sakit. Ia baru tahu kalau sepotong kalimat dari darah dagingnya sudah cukup untuk dapat membunuhnya.

”....Adek, Papa sama Mama minta maaf ya kalo bikin Adek marah,” tidak lagi ia mengetuk, karena suara ketukan terus-terusan bisa berakibat negatif. Ia hanya berbicara kepada anak gadisnya dari balik pintu. “Papa sama Mama lagi sibuk, Nak. Papa ada proyek baru. Mama juga lagi ekspansi perusahaannya. Nanti kalo sudah gol, mungkin Mama bakal minta tolong kalian jadi model lagi, kayak biasa.”

Kemudian, Mingyu menjelaskan semuanya.

“Papa sama Om Wonu lagi ngerjain satu proyek yang menarik. Papa diminta desain taman dalam rumah kaca raksasa buat proyek kementerian pariwisata, kayak di Singapura itu lho, Dek. Nanti Papa bakal isi rumah kaca itu sama bunga-bunga yang Adek suka. Adek suka bunga, kan?”

Masih tidak ada jawaban.

“Nanti di bagian tengah, di pusatnya, ada air mancur sama bangku-bangku. Papa lagi pertimbangin apa mau ada satu bagian yang diisi macem-macem burung, tapi ini masih tahap diskusi. Nanti, biar nggak dirusak, bunga-bunganya kita taroin pengaman di sekelilingnya, jadi yang mau selfie cuma boleh dari jalan setapaknya aja.

Papa juga mau ada sejenis lorong gitu diisi tanaman rambat, tapi—”

”—jangan tanaman rambat, Pa, nanti ada uletnya.”

Sedetik, Mingyu diam, namun dengan cepat mencair menjadi senyuman. “Oh iya ya. Enaknya jadi gimana dong, Dek?” tanyanya. Ia menyenderkan kepala ke pintu, yakin bahwa anaknya juga ada di situ, persis di depan pintu di sisi lainnya.

“Papa bikin aja kawat-kawat dibentuk apa kek, hewan kek, yang lucu-lucu, terus tanaman rambatnya ditumbuhin di situ. Kalo buat lorong, mendingan Papa buat jadi banyak lampu kayak lampu Tumblr gitu, Pa, terus di bagian dalam lorong dibuat jadi tempat selfie.”

“Bener juga ya. Adek pinter deh. Nanti Papa coba diskusiin sama Om Wonu ya.”

Lalu, hening.

“Adek...,” nadanya lembut sekali. “Maafin Papa sama Mama ya? Maaf kalo Papa sama Mama ada buat salah, buat Adek kesel, tanpa sadar. Papa mohon kalo Papa ato Mama ada salah, Adek bilang ke Papa ato Mama. Kasih tau dimana salahnya.

Papa sama Mama baru kali ini jadi orangtua, Nak. Masih belajar. Masih banyak yang Papa sama Mama nggak tau. Nggak ada buku manual, nggak ada pedoman jadi orangtua yang baik itu harus gimana. Makanya, Papa sama Mama pasti bikin salah banyak banget ke kalian.

Maafin Papa sama Mama ya? Papa sama Mama janji bakal coba lebih baik lagi jadi orangtua yang bisa Adek sayangin, yang bisa Adek banggain...”

Cklek!

Mendadak saja, pintu dibuka lebar dan anaknya, anak bungsunya, anak gadis semata wayangnya menyusruk masuk ke dalam pelukan ayahnya. Ayahnya yang tinggi besar dengan pelukannya yang hangat. Baju bagian depan Kim Mingyu basah oleh air mata. Ia pun tak kuasa menahan tangis, mulai menangis sambil memeluk balik anak gadisnya.

“Maafin Papa ya, Nak....maaf....,” sesengukan.

Demi anaknya, apa yang tidak akan ia berikan. Bila jantung harus ditukar, ia akan menukarnya tanpa pikir dua kali. Tidak apa-apa, asalkan anaknya mengangguk menerima permintaan maaf dan pelukannya, seperti sekarang ini.


*) inspired by Reply 1988